Menghambur-Hamburkan Harta

 

Oleh Abdurrahman Ibad, Takhasus

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan di dalam kitab-Nya yang mulia, beberapa ayat yang menyebutkan tentang mubazir dan menghambur-hamburkan harta, larangan dari keduanya, pujian bagi orang-orang yang lurus dan tidak berlebihan dalam tingkah lakunya, baik dalam hal makan, minum dan seluruh gaya hidup mereka. Tidak ada kata pemborosan dan mubazir, tidak ada sifat kikir lagi bakhil, tidak berlebihan, juga tidak bermudah-mudahan.

 

Tepat Dalam Bersikap

Demikianlah, Allah Ta’ala mensyariatkan untuk adil dan tepat dalam segala urusan. Di antaranya Allah melarang dari sikap melampaui batas. Ya, setiap hamba dilarang dari hal demikian sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (An-Nisa’: 171)

Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Hati-hati kalian dari sikap ghuluw dalam urusan agama, karena hal yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam beragama.(HR. Ibnu Majah 3029 dan Ahmad 1/215)

 

Pada ayat di atas, larangan yang Allah Ta’ala tujukan kepada mereka juga larangan bagi kita. Sikap bermudah-mudahan dan menganggap remeh adalah sikap yang terlarang, bahkan wajib bagi kita untuk menunaikan berbagai kewajiban, meninggalkan segala bentuk keharaman dan bersegera dalam setiap kebaikan tanpa ada sikap ekstrim dan bermudah-mudahan.

Sikap ghuluw adalah menambah dari yang disyariatkan. Seperti orang yang tidak merasa cukup dengan tata cara wudu yang syar’i, bahkan dia menambah dan boros dalam menggunakan air, dia tidak merasa puas dengan membasuh tangan dan kaki tiga kali, namun dia menambah lebih dari itu, maka ini adalah sikap ghuluw dari yang telah ditentukan syariat. Demikian juga pada azan, iqamat, puasa dan seterusnya.

Maka menambah di dalam syariat disebut ghuluw (ekstrim), ifrath (melampui batas) dan bid’ah. Adapun lalai dalam perkara shalat dengan kurang sempurnanya dia dalam pelaksanaan shalat tersebut disebut tafriith (bermudah-mudahan).

 

Adapun tafriith dalam ibadah puasa, yaitu; dia tidak menjaga puasanya dari kemaksiatan, seperti ghibah, namimah, ucapan yang jelek dan perbuatan yang buruk ketika dia berpuasa. Inilah bentuk lalai dalam ibadah puasa.

Adapun bentuk sikap berlebihan dalam puasa adalah perbuatan dia tidak mau berbicara atau tidak mau berinteraksi dengan orang lain, maka ini adalah ghuluw.

Demikian juga dalam urusah nafkah, tidak ada sikap melampaui batas dan membuang-buang harta, juga tidak ada sikap kikir dan pelit. Namun kita bersikap pertengahan di antara keduanya, dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Sebagaimana perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan Kami telah menjadikan kalian (wahai umat Islam), sebagai umat yang adil dan pertengahan.”       (Al-Baqarah: 143)

 

Ciri Khas Agama Islam

Syariat Islam datang dengan sikap pertengahan dalam seluruh urusan. Tidak ghuluw dan tidak bermudah-mudahan, juga tidak terlalu ekstrim. Allah Ta’ala berkata:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, serta jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (Al-A’raf: 31)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengambil perhiasan karena padanya terdapat hal-hal yang dapat menutup aurat dan juga terdapat keindahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا

“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah sebagai perhiasan.” (Al-A’raf: 26)

 

“Ar-Riisy” adalah pakaian yang digunakan untuk memperindah penampilan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bagi kita segala sesuatu yang dapat menutupi aurat kita, yaitu pakaian yang menutupi aurat. Allah Azza wa Jalla juga menciptakan bagi kita yang lebih dari itu, yaitu; pakaian-pakaian yang bagus dan itulah yang disebut riyaasy, agar para hamba-Nya dapat berhias diri. Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ

“Dan pakaian takwa itulah yang terbaik.” (Al-A’raf: 26)

 

Pakaian ketakwaan adalah beriman kepada Allah Jalla wa ‘Ala, adapun takwa kepada Allah adalah dengan mentaati-Nya dan, mengikuti hal-hal yang diridai oleh-Nya, serta menahan diri dari larangan-Nya, inilah pakaian yang teragung dan inilah pakaian ketakwaan.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا

“Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan.” (Al-A’raf: 31)

 

Allah Ta’ala memerintahkan untuk makan dan minum, sebab keduanya adalah  salah satu penyebab terjaganya kesehatan, keselamatan dan tegaknya tubuh seseorang. Karena, meninggalkan makan dan minum akan mengantarkan kepada kematian dan hal tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan wajib makan dan minum sesuai kadar yang dengannya akan terjaga kesehatan seseorang, sehingga dia menjadi pertengahan dalam perkara tersebut dan dapat menjaga kesehatan serta keadaannya menjadi normal.

Maka janganlah dia terlalu berlebihan sehingga hal ini akan menjadikan dia kekenyangan, tertimpa berbagai penyakit dan gangguan fisik yang bermacam-macam. Jangan juga dia terlalu sedikit makan atau minum sehingga akan bermudarat pada kesehatannya. Akan tetapi antara kedua hal tersebut, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:

وَلا تُسْرِفُوا

“Dan janganlah berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

 

Adapun dari hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَا مَلَأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu yang lebih buruk daripada perutnya sendiri, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tulang sulbinya, kalau tidak bisa, maka sepertiga perutnya untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk nafas.” (HR. Tirmidzi no. 2380 dan Ibnu Majah no.3349)

 

Hadits yang sahih ini menunjukkan bahwasannya berlebihan dalam makan adalah perkara yang tidak disarankan. Bahkan ini perkara yang berbahaya. Cukuplah anak Adam itu makan beberapa suap, sekedar yang dapat menjaga kesehatan dan menegakkan tulang sulbinya, memakan makanan yang mencukupinya di pagi hari maupun sore hari, dan di waktu-waktu lain yang dibutuhkan untuk makan dan minum di saat itu.Kalau dia ingin untuk menambah porsi makan, maka jangan terlalu berlebihan.

Sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga lagi untuk nafas dan  santai, untuk membaca, bertahlil, kegiatan kerja bakti, berbincang dengan orang lain dan yang lainnya.

 

Efek Buruk Israf

Adapun israf, jika pada makanan akan mengantarkan kepada kekenyangan, pada pakaian akan mengantarkan kepada penghamburan dan tidak serius dalam menjaganya. Adapun pada perkataan akan mengantarkan kepada ucapan yang tidak berujung baik atau kepada pembicaraan yang dilarang oleh Allah Ta’ala.

 

Boros, Pola Hidup Yang Buruk

Berlebihan dalam segala sesuatu termasuk kejelekan hidup. Seorang mukmin ia selalu tepat dalam seluruh urusannya, begitu juga wanita mukminah, ia selalu pertengahan dalam seluruh urusannya. Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang rendahnya kedudukan orang-orang yang mubazir dalam perkataan-Nya:

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemborosan itu adalah kawan setan dan setan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)

 

Mubazir itu menyi-nyiakan harta, dia tidak menjaga hartanya, padahal harta itu memiliki harga yang mahal, harta yang baik merupakan sebaik-baik penolong bagi orang saleh, di mana ia menginfakkannya di jalan Allah Jalla wa ‘Ala.

Maka yang wajib adalah menjaga harta dan tidak membuang-buangnya. Oleh karena itu, datang ancaman keras dalam masalah persaksian dusta. Karena, hal ini mengandung pengambilan harta orang lain tanpa hak, menumpahkan darah orang lain tanpa alasan yang benar dan menjatuhkan kehormatan sesama tanpa hak. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّوْرِ أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ

“Maukah saya beritakan kepada kalian tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar? Maka kami jawab, ‘tentu wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: berbuat syirik kepada Allah Ta’ala dan mendurhakai orang tua –beliau ketika itu sedang bersandar, tiba-tiba langsung duduk seraya berkata: “Hati-hatilah kalian dari ucapan bohong, waspadalah kalian dari persaksian palsu-.” (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulangnya, karena persaksian palsu kerusakannya sangat besar dan akibatnya sangat berbahaya. Dengannya berbagai harta dapat dirampas tanpa hak, nyawa-nyawa akan melayang dan kehormatan-kehormatan akan tercoreng tanpa alasan yang logis. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dari hal tersebut.

Telah datang di dalam kitabullah yang mulia dalil yang menunjukkan peringatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam surat al-Hajj:

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

“Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Al-Hajj: 30)

 

Tahdzir dari Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan dari mubazir, yaitu; mengeluarkan harta dengan cara yang tidak dibenarkan syariat, seperti menyumbang harta untuk menzalimi orang, mengeluarkan harta dengan tujuan mencelakai orang lain atau untuk menzalimi diri sendiri, seperti mengeluarkan uang untuk mabuk-mabukan, rokok, zina dan maksiat-maksiat lainnya, seperti judi, riba dan yang semisal itu.

Demikianlah, membuang-buang harta dan menyalurkannya tanpa hak itu disebut mubazir. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut orang-orang yang boros sebagai kawan setan. Sebab mereka serupa dengan setan dalam hal bermain-main, menyia-nyiakan dan maksiat.

 

Epilog

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari berbagai sikap yang tercela dan menetapkan kita di atas sifat yang dipenuhi berbagai kemuliaan. Amiin.

 

Referensi: Majmu’ fatawa dan maqalat Syaikh Bin Baz 4/105

 

 

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.