PERJALANAN PENUH MAKNA KE DESA UJUNG ALANG (bagian kedua)
Sedikit profil pulau Nusakambangan yang terkenal ke seluruh plosok Negri.
Perjalanan menuju Ujung Alang alamnya masih asri dan alami sehingga masih banyak satwa liar. Kera liar terkadang sesekali terlihat di pinggir sungai. Jalur menuju Ujung Alang hanya ada satu, yaitu melewati sungai segara anakan yang terbentang dari ujung timur nusakambangan sampai ujung barat nusakambangan. Aliran sungai segara anakan nampak tenang dari permukaan, padahal di dalamnya terdapat arus sungai yang deras ,sehingga kami harus berhati-hati untuk melewatinya.
Sepanjang perjalanan kami di suguhi pemandangan indah ciri khas kampung laut, yaitu pohon Mangrove (tumbuh subur di sepanjang aliran sungai). Hal tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Alhamdulilah cuaca juga cerah.
Dalam perjalanan ke Ujung Alang kami saling bercengkrama satu sama lain. Ada ikhwan yang menjadi reporter dadakan. Ada juga ikhwan yang bercerita dengan Nahkoda. Tidak lupa di sini kami akan menceritakan kisah yang di sampaikan Bapak Nahkoda, mari kita ikuti kisahnya.
Pak Parno, nama nahkoda yang membawa kami. Warga asli Kampung laut. Berumur kurang lebih 40 tahun. Lahir dan besar di kampung laut. Sejak kecil sudah terbiasa bolak balik dari kampung laut ke cilacap melewati aliran sungai. Beliau mengatakan dahulu waktu masih kecil untuk sampai kampung laut dari Cilacap memerlukan waktu 3-4 jam menggunakan perahu tradisional yang di kayuh. Tetapi sekarang Alhamdulilah cukup 1,5 jam saja dengan Compreng atau perahu bermesin boot. Compreng yang kami naiki milik Pak Parno. Akan tetapi uang yang di gunakan membeli compreng (sekitar 40 juta) adalah hasil pinjaman ke bank. Kasihan memang mendengarnya. Pak Parno juga rutin menyisihkan uang hasil kerja kerasnya untuk stor ke bank mencicil pinjamannya (minimal 1 juta perbulan + bunga).
Pak Parno memiliki 4 anak, anak pertama sudah berkeluarga, yang ke dua sekolah di SMK, yang ke tiga sekolah di Al-IRSYAD.
“ketika di tanya kenapa di sekolahkan ke al-irsyad pak?,
” beliau menjawab “supaya anak saya bisa sedikit belajar agama”,
“kenapa nda di pondokan saja pak?”,
“nggih mas kalau tau informasi pondok, insyaalloh anak saya tak masukan pondok, cuma karena nda tau akhirnya saya sekolahkan di situ, saya peduli pendidikan agama anak saya”.
Dari jawaban pak Parno bisa kami simpulan bahwa informasi tentang pondok masih minim di kampung laut. Sedangkan anak yang ke empat masih di bangku sekolah dasar. Dari beliau kami juga mendapatkan informasi bahwa dulu untuk belajar ngaji itu susah, harus nunggu sampai 2 minggu, karena ustadz yang bertugas hanya 2 minggu sekali datang, akan tetapi sekarang sudah mending ketimbang dulu. Beliau mengatakan mayoritas penduduk kampung laut itu muslim akan tetapi muslim seperti kebanyakan, yang tidak memahami agam Islam dengan baik, Sehingga mudah sekali untuk di pengaruhi pindah agama.
Beliau juga berkisah kalau dari dulu berbagai agama sempat masuk ke kampung laut seperti Kristen & Hindu, tidak sedikit masyarakat kampung laut yang berpindah agama (Murtad), di karenakan pemahaman Agama Islam yang kurang baik. Sehingga mudah bagi para misionaris untuk memikat hati masyarakat kampung laut & di jadikan pengikutnya. Salah satu cara yang di lakukan misionaris untuk memikat hati masyarakat ialah dengan membagikan sembako dan memberikan sejumlah uang. (Allohumusta’an sampai seperti itu para misionaris melancarakan serangnya). Itu dahulu, Alhamdulilah sekarang banyak warga masyarakat yang sadar bahwa mereka telah memilih jalan yang salah sehingga mereka kembali untuk memeluk Agama islam (Bertaubat) Walhamdulilah. Itulah profil singkat dan sepenggal kisah dari Pa Parno.