Prinsip nan Sangat Berharga, Saat Fitnah Melanda

Oleh Umar Abdul Aziz Ponorogo, Takhasus
Rasanya tak heran jika kita menyaksikan berbagai macam kemaksiatan merajalela di tengah umat manusia. Kejahilan merebak, praktik kesyirikan marak, kebidahan tersebar, pengetahuan umat terhadap ilmu agama semakin dangkal, amalnya pun minim.
Demikianlah keadaan zaman ini, berbagai fitnah datang silih berganti layaknya gelombang ombak yang saling menghantam. Tak sedikit korban yang terbawa arus dan tergelincir bersama derasnya gelombang fitnah. Beginilah realitas fitnah yang sangat dahsyat dan amat mengerikan.
Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ»
“Tidaklah datang sebuah zaman kepada kalian kecuali zaman setelahnya jauh lebih jelek daripada sebelumnya sampai kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (HR. al-Bukhari no. 1382)
Berikut ada 2 prinsip yang sangat berharga bagi siapa yang menginginkan keselamatan dari fitnah yang senantiasa terus datang silih berganti.
Belajar Ilmu Agama
Sungguh tiada jalan keselamatan bagi seseorang dari dahsyatnya fitnah syubhat dan fitnah syahwat selain dengan mempelajari ilmu agama. Oleh karena itu belajar ilmu agama adalah sebuah kewajiban sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Belajar ilmu agama adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim (dan muslimah).” (HR. Ibnu Majah no. 224)
Dengan belajar ilmu agama disertai keikhlasan dan kesungguhan, seseorang akan dapat membedakan antara kebaikan dan kejelekan, bisa memilih manakah kebenaran yang harus dibela dan diperjuangkan serta manakah kebatilan yang harus ditinggalkan.
Al-Imam Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama karena dengan mempelajarinya akan menyelamatkan kalian dari syubhatnya orang-orang yang ragu lagi bimbang, serta syubhat ahlul batil akan tersingkap.” (Hilyah Thalibul Ilmi hlm. 123)
Belajar Agama, Membuat Kita Mulia
Oleh karena itu, marilah mempelajari ilmu agama dengan penuh semangat serta mengerahkan segala daya dan upaya untuk menggapainya. Ketahuilah, bukanlah kekayaan yang membuat kita berwibawa, bukan pula kedudukan dan sanjungan manusia yang membuat kita mulia. Namun hanyalah karena ilmu dan takwa kita menjadi berwibawa dan mulia.
Sebagaimana perkataan seorang penyair,
وَذَاتُ الْفَتَى وَاللهِ بِالْعِلْمِ وَالتُّقَى … إِذَا لَمْ يَكُونَا لا اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ
Demi Allah, nilai seseorang terletak pada ilmu dan takwa…
Tanpa ilmu dan takwa maka ia tidak memiliki harga diri…
Memang belajar ilmu agama tak mudah, pasti membutuhkan perjuangan dan pengorbanan tuk menggapainya, butuh kesungguhan dan keseriusan untuk memahaminya, bahkan butuh keikhlasan dan kesabaran dalam merealisasikannya.
Namun ketahuilah, di balik itu semua ada sebuah balasan yang telah Allah Taala janjikan untuk para hamba-Nya,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka mempelajari ilmu agama maka Allah akan mudahkan bagi dirinya jalan menuju surga.” (HR. Ibnu Majah no. 223)
Syair Tuk Penuntut Ilmu
Kawan, sadarlah bahwa umat Islam di berbagai pelosok negeri membutuhkan seorang dai yang dapat membimbing serta mengarahkan mereka kepada jalan kebenaran, maka siapa lagi kalau bukan kita sebagai seorang penuntut ilmu?
Apakah kita rida jika umat Islam dibimbing oleh orang-orang jahil lagi dungu? Sungguh kita tidak akan rida. Lalu apa yang telah kita persiapkan untuk kebaikan umat Islam?
Maka tiada kata santai dan berleha-leha. Jadikanlah masa lalu sebagai bahan evaluasi serta koreksi untuk masa depan, adapun sekarang adalah sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri. Esok adalah sebuah harapan, semoga bisa saling berbagai ilmu dan amal kebajikan.
Cobalah kita renungi ucapan seorang penyair,
أَيا طالِبَ العِلْمِ قُمْ لَا تنَمْ … فَإِنَّ الَّزمَانَ اِنقَضَى وَانْصَرَمْ
فَكُنْ مَا حَيِيتَ ضَنِينًا بِهِ … فَضُنُّكَ بِالْوَقْتِ عَيْنُ الْكَرَم
وَبَادِرْ شَبَابَكَ مِن قَبلِ أَن … يَقطَعَ عَزْمَكَ سَيْفُ الهَرَم
فَإِنْ رُمْتَ يَا صَاحِبِي رِفْعةً … بِدُنيَا وَأُخرى فلُذ بِالقَلَم
وَأَخْلِصْ لِرَبِّكَ وَاعْمَلْ بِمَا … عَلِمْتَ وَإِنْ تَلقَ فِيهِ الأَلَم
وَصَابِرْ وَثَابِرْ وَلَا تَكْسَلَنْ … فَإِنَّ الهُمُومَ بِقَدْرِ الهِمَم
Duhai para penuntut ilmu agama, bangunlah jangan terlelap dalam tidurmu
Sungguh waktu terus berlalu dan berjalan
Jadilah engkau orang yang kikir terhadap waktu semasa hidupmu
Karena ia merupakan pokok kemuliaan
Segera manfaatkan usia mudamu sebelum tekadmu
Ditebas oleh pedang kesepuhan
Jika engkau menginginkan derajat yang tinggi duhai sahabatku
Baik di dunia atau di akhirat, maka bergelutlah dengan pena.
Ikhlaskan niat untuk Rabbmu serta amalkanlah ilmu
yang sudah engkau ketahui, sekalipun rasa pedih kau dapatkan
Tetaplah bersabar dan senantiasa tekun jangan bermalas-malasan
Memang rasa letih itu sesuai dengan kadar cita-cita seseorang
Kawan ingatlah pesan ini, bahwa setiap kali kita merasa lelah dan ingin berhenti dari thalabul ilmi cobalah kita berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih bersyukur atas hidayah yang telah Allah beri. Atas nikmat yang sering kali lupa untuk disyukuri padahal begitu berarti. Atas kesempatan bisa menuntut ilmu syar’i, padahal inilah nikmat terbesar kalau kita mau menyadari. Yaitu bahwa thalabul ilmi adalah kesempatan yang telah lama diidamkan sejak jauh-jauh hari.
Baca Juga: Ternyata Inilah Penyebab Terjadinya Fitnah Sejak Dahulu Sampai Sekarang
Mengikuti Bimbingan Para Ulama
Sungguh keberadaan para ulama adalah pelita untuk umat manusia. Dengan keberadaan mereka, tampaklah al-haq di atas al-bathil dan jelaslah perkara yang halal dan haram. Oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang Allah muliakan sebagaimana Allah Taala berfirman,
يَرفَعِ اللَّهُ الَذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُم وَالّذِينَ أُوتُواْ العِلمَ دَرَجَٰت
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu (para ulama) dengan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Bahkan para ulama adalah tolak ukur sebuah kebenaran. Karena, keberadaan mereka pada setiap generasi selalu menjelaskan kepada umat tentang al-haq serta hakikat kebatilan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ، ينفُونَ عَنْهُ َتَحْرِيفَ الْغَالِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ.
“Ilmu ini diwarisi oleh orang-orang yang adil pada setiap generasi, mereka akan menghilangkan penyelewengan orang-orang ghuluw dalam beragama, argumentasinya ahlul batil, dan takwil (syubhat)nya orang-orang jahil.” (HR. Ahmad)
Dakwah salaf tidak bisa lepas dari bimbingan para ulama, maka barang siapa yang mengikuti dan mengamalkan bimbingan para ulama dia akan selamat. Bahkan ia akan meraih keberkahan pada ilmu dan dakwahnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Keberkahan itu ada bersama orang-orang besar (para ulama) kalian.” (HR. Ibnu Hibban no. 559)
Sahabat Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Umat manusia akan senantiasa di atas kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para ulama senior di antara mereka. Namun jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang rendahan (orang-orang dungu) niscaya mereka akan binasa.” (Awaa’iqu Thalab hlm. 5)
Bukan hanya sebuah slogan yang mudah terucap ‘kami bersama ulama’. Namun harus ada wujud dan realisasinya, tidak cukup hanya dengan ucapan belaka namun harus ada sikap kejujuran dalam membuktikannya.
Mayoritas Bukan Tolok Ukur Kebenaran
Wahai saudaraku…
Ketahuilah bahwa patokan sebuah kebenaran bukan ditinjau dari mayoritas, bukan pula dilihat dari sisi keilmuan seseorang, bukan pula dari sisi senioritas seseorang dalam berdakwah. Namun kebenaran ada pada sikap kembali kepada para ulama sekaligus mengamalkan bimbingan mereka. Cobalah kita perhatikan ucapan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
والجهل داء قاتل وشفاؤه … أمران في التركيب متفقان
نص من القرآن أو من سنة … وطبيب ذاك العالم الرباني
Kebodohan adalah penyakit yang amat mematikan dan obatnya
Ada dua perkara yang memiliki kedudukan yang sama
Dalil dari al-Quran atau nash dari sunnah Rasul-Nya
Dokternya adalah ulama yang membimbing umatnya
Sebaliknya, ketika berpaling dari bimbingan para ulama, enggan mengamalkan nasehat dan arahan mereka, maka sangat dikhawatirkan ada bibit penyimpangan pada dirinya.
Sebagaimana perkataan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah, “Beberapa penuntut ilmu yang merasa cukup dengan sedikit ilmu yang mereka miliki kemudian mereka berani membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya serta tidak mau mengembalikan permasalahan kepada para ulama. Maka ini ada salah satu sebab munculnya penyimpangan dan perpecahan.” (At-Tarjamah hlm. 201)
Penutup
Wahai saudaraku…
Percayalah bahwa kembali kepada para ulama adalah solusi tepat di saat fitnah. Bukankah mereka adalah orang-orang yang sangat sayang kepada umatnya? Tentunya mereka menginginkan sebuah kemaslahatan dan kesejahteraan untuk umat Islam terkhusus salafiyyin, baik terkait agama maupun dunia mereka.
Yahya bin Muadz ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi dibandingkan kedua orang tua. Karena ayah dan ibu mereka melindungi anak-anaknya dari percikan api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api neraka di akhirat kelak.” (Muktashar Nashihat Ahlil Hadits hlm.167)
Wahai saudaraku…
Sudah menjadi suratan takdir bahwa tiada sebuah kebaikan kecuali pasti akan terhadang ujian. Tidak ada seseorang yang baik lagi jujur dalam mencari kebenaran kecuali terkadang harus merasakan cacian dan makian, bahkan mendapatkan gangguan dan permusuhan. Keadaannya terus akan demikian hingga tiba saatnya hari kiamat ditegakkan.
Namun ketahuilah bahwa para ulama sebagai tentara agama Allah Taala dan agama-Nya akan selalu tampil penuh dengan kesabaran membela kebenaran dan memberantas kebatilan.
Sebagai penutup cobalah kita perhatikan nasehat Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah,
لَيْسَ الْعَاقِلُ الَّذِي يعْرِفُ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ، إِنَّمَا الْعَاقِلُ إِذَا رَأَى الْخَيْرَ اتبعَهُ، وَإِذَا رَأَى الشَّرَّ اجْتنبَهُ
“Seorang yang berakal bukanlah yang bisa mengetahui manakah kebaikan (al-haq) dan manakah kejelekan (al-bathil). Namun seseorang yang berakal ialah yang di saat mengetahui kebaikan (al-haq) ia ikuti, sedangkan di saat mengetahui sebuah kebatilan ia tinggalkan. (Syu’abul Iman, 318/6)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa mudah kembali kepada al-haq dan mengaruniakan keistikamahan di atas al-haq. Amin.
Artikel Kami: Kenapa Harus Selektif dalam Menerima Berita?