Persahabatan sejati dengan saling menasehati
Oleh Kholid Ali Ambon Takhasus
Bani Adam adalah makhluk Allah yang sempurna penciptaan-Nya. Awal penciptaan mereka bermula dari tanah liat yang Allah bentuk dengan tangan-Nya. Mereka juga dijadikan pemimpin di muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah Ta’ala juga tetapkan kekurangan pada makhluk-Nya. Yaitu sering melakukan kezholiman, baik terhadap diri sendiri atau kepada yang lain.
Allah dengan segala kesempurnaan-Nya menurunkan syariat yang membimbing manusia kepada jalan yang lurus. Di antaranya mengajarkan cara yang tepat ketika kesalahan itu terjadi, yaitu dengan saling menasihati di antara mereka.
Apa itu nasihat?
Sebelum kita menasihati, kita perlu tahu apa itu nasihat dan bagaimanakah nasihat itu disampaikan? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah dalam kitab Syarh Riyadhush Shalihin berkata:
“Nasihat adalah mencurahkan bimbingan kepada orang lain. Maknanya, seorang mencintai kebaikan untuk saudaranya, mengajaknya, menjelaskannya, dan memberi semangat untuk meraih kebaikan.”
Bagaimanakah nasihat itu disampaikan?
Seorang yang menasihati harus didasari rasa cinta agar saudaranya bisa meraih kebaikan dari nasihat tersebut. Demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh seorang mukmin, karena orang yang dinasihati adalah saudaranya. Allah mengatakan,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةَ
“Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa salam juga bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) keimanan salah seorang kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 13)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’dy rahimahullah berkata: “Jika seorang mendapati siapapun di daerah timur atau barat dalam keadaan beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka ia sebagai saudara seiman. Saudara yang harus dicintai, mencintai untuk orang mukmin sesuatu yang mereka cintai untuk diri mereka sendiri dan membenci untuk mereka sesuatu yang mereka benci untuk diri mereka.” (Tafsir as-Si’dy)
Oleh karena itu, nasihatilah saudaramu dengan cara yang jika engkau diperlakukan dengan cara tersebut engkau suka dan senang. Yaitu jika engkau suka dinasihati dengan lemah lembut, maka perlakukanlah hal tersebut kepada orang lain. Jika engkau senang ditutupi aib dan kesalahanmu, maka lakukanlah hal tersebut untuk saudaramu.
Kokohkan ukhuwah dengan nasihat
Nasihatilah dalam rangka saling menguatkan pondasi persaudaraan dan meluruskan barisan kaum mukminin. Karena mereka bagaikan bangunan, jika pondasi bangunan tersebut kokoh maka akan kokoh pula bangunan tersebut.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jangan sampai bangunan tersebut rapuh! karena sewaktu-waktu akan datang badai ujian dan fitnah yang menerpa, dan ujian suatu kepastian. Allah Ta’ala mengatakan,
الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
“Alif Lam Mim. Apakah manusia menyangka tatkala ia mengikrarkan keimanan ia tidak diuji? Sungguh telah Kami uji orang sebelum kalian dan diketahuilah mana yang jujur keimanannya dan yang dusta.” (QS. al-Ankabut: 1-3)
Jika bangunan tersebut kokoh, maka ia tidak akan hancur dengan izin Allah. Namun jika bangunan tersebut rapuh, maka akan hancur berkeping-keping.
Jangan engkau sebar aib mereka!
Apakah engkau senang jika aib dan kesalahanmu diketahui oleh orang lain? Tentu tidak kan. Maka jangan engkau sebar aib saudaramu! Jangan engkau cela dia depan khalayak. Karena hal ini akan memberikan pengaruh yang buruk bagi saudaramu dan akan menimbulkan perpecahan diantara orang beriman. Ingatlah hadits yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلَا يَشْتُمُهُ
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak menzhalimi dan mencelanya.”
Karena jika engkau cela dan sebar aibnya, yang terjadi adalah perpecahan dan perselisihan. Bukankah Allah telah melarang hal tersebut?
Allah Ta’ala mengatakan,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Janganlah kalian seperti orang yang berpecah dan berselisih setelah datangnya berbagai penjelasan, maka bagi merekalah azab yang pedih.” (QS. Ali Imran: 105)
Nabi shallallahu `alaihi wa salam juga melarang dari sebab-sebab perpecahan dan menghasung untuk saling mencintai,
لا تَحَاسَدُوا، ولا تَنَاجَشوا، ولا تَبَاغَضُوا، ولا تَدَابَرُوا، ولا يَبِعْ بَعضُكُمْ على بَيعِ بَعضٍ، وكُونُوا عِبادَ اللهِ إِخْواناً، المُسلِمُ أَخُو المُسلم، لا يَظلِمُهُ ولا يَخذُلُهُ، ولا يَكذِبُهُ، ولا يَحقِرُهُ،
“Janganlah kalian saling dengki, saling membongkar aib, saling benci. Janganlah kalian menjual di atas penjualan saudaranya. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang saling bersaudara, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Seorang muslim tidak menzhalimi, tidak merendahkan, mendustainya dan meremehkan saudara muslim yang lain.” (HR. Muslim no. 2564)
Allah juga menyebutkan bahwa kaum mukminin menjadi wali dan penolong bagi mukmin yang lainnya,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Orang beriman dari kalangan laki-laki dan wanita sebagian mereka adalah penolong bagi yang lainnya, mereka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar.” (QS. At-Taubah: 71)
Nasihatilah dalam rangka menolong saudara
Demikianlah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Ia menasihati saudaranya dalam rangka menolong saudaranya agar tidak berbuat zhalim. Inilah salah satu bentuk pertolongan terhadap saudaranya. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: «تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ»
“Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang dizhalimi. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tentu kami akan menolong yang dizhalimi. Namun bagaimana kami akan menolong yang menzhalimi? Beliau menjawab: ‘Ambil tangannya (cegah ia dari perbuatan zhalimnya).’”
Metode salaf dalam menasihati
Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shalihin menjelaskan, “Janganlah engkau memata-matai aib mereka, ketergelinciran, dan kesalahan mereka. Karena mereka tidak maksum, terkadang mereka tergelincir dan melakukan kesalahan. Setiap anak Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah bertaubat.
Perkara penting dalam menasihati adalah tidak antusias dalam mencari kesalahan saudaranya, telah datang dalam hadits,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ؛ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan keimanan belum merasuki kalbunya, jangan mengumpat seorang muslim, jangan memata-matai aib mereka. Karena barangsiapa yang memata-matai aib saudaranya, Allah akan mengikuti aibnya walau di rumah keluarganya.”
Seperti itulah yang harus dilakukan terhadap kaum muslimin secara umum, apalagi terhadap para pemimpin mereka (ulama dan pemerintah). Di antara bentuk nasihat terhadap ulama atau pemerintah, adalah engkau tutupi aib mereka dan tidak membeberkannya di tengah manusia, nasihati mereka semampunya. Engkau bisa lakukannya dengan langsung berhadapan dengannya. Jika tidak mampu, bisa dengan mengirim surat. Jika tidak mampu, engkau bisa menghubungi teman dekatnya agar bisa menyampaikan nasihat yang engkau sampaikan kepadanya.” [Syarh Riyaadh as-Shalihin]
Penutup
Demikian yang bisa kami sajikan pada kesempatan kali ini, semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Semoga Allah masukkan penulis dan pembaca di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Orang-orang yang mendengarkan sebuah ucapan dan mengikuti yang baik darinya, merekalah yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang-orang yang berakal.” (QS. Az-Zumar: 18)