POKOK-POKOK KEBAHAGIAAN
Mungkin bila diadakan angket pertanyaan untuk seluruh penduduk bumi tentang ingin hidup bahagia atau sengsara maka bisa dipastikan semua akan menjawab ‘Aku ingin hidup bahagia’. Yang demikian adalah suatu fitrah manusia, ia akan senantiasa mencari sesuatu yang ia pandang akan membawa kebahagiaan.
Namun untuk mendapatkan kebahagiaan itu ia harus melakukan upaya dan mencarinya. Apabila ia mendapatkan petunjuk maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, bila tidak mendapatkan petunjuk maka ia akan menjadi seorang yang terombang-ambing oleh indahnya dunia. Padahal dunia itu -sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah seperti mempelai perempuan yang senantiasa mencari pasangan untuk ia jadikan sebagai korban. Mempelai perempuan itu senantiasa berhias untuk menarik ‘kaum laki-laki’ agar mau bersanding dengannya kemudian ia tinggalkan dalam keadaan menggigit jari dan senantiasa merana karena kehilangannya.
Telah dimaklumi pula bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dalam keadaan bodoh. Ia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan lemah dan tidak tahuh apa-apa. Namun setelah ia memiliki kekuatan ia lupa akan keadaannya itu. Dan ia juga lupa bahwa nantinya ia akan kembali menjadi lemah seperti nenek atau kakeknya, atau seperti orang tua jompo yang tidak lagi berdaya dan tidak lagi memiliki akal yang normal (pikun).
Keadaan seperti di atas sebagaimana yang Allah ingatkan dalam ayat berikut:
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah. (An Nisa: 28)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً
Allah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian menjadikannya kuat setelah keadaan lemah, kemudian menjadikan setelah kuat dalam keadaan lemah dan beruban. (Ar Rum: 54)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
Dan Allah menciptakan kalian kemudian mematikan kalian. Dan diantara kalian ada yang dikembalikan ke usia yang lemah agar ia tidak mengetahui sesuatu apapun setelah mengetahui. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (An Nahl: 70)
Ditambah lagi dengan keadaannya ketika sakit. Kenikmatan duniawi yang ia tumpuk dan ia kumpulkan dengan susah payah, dan bahkan terkadang nyawa harus ia pertaruhkan untuk mendapatkannya, tidak bisa ia rasakan ketika itu.
Demikianlah keadaan manusia ketika ia menjalani kehidupan di dunia ini. Kenikmatan yang ia cari dan ia dambakan terkadang bisa diraih dan terkadang tidak. Begitu pula ketika ia telah mendapatkan, terkadang ia bisa menikmati dan terkadang ia tidak.
Belum lagi dengan kekhawatiran yang senantiasa menghantuinya. Ketika telah mendapatkan kenikmatan dunia – entah harta, kedudukan, atau wanita – ia senantiasa dirundung kekhawatiran. ‘Jangan-jangan rumahku akan dibobol maling’, ‘jangan-jangan …’, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kekhawatiran.
Orang yang tidak mendapatkan kenikmatan/kebahagiaan duniawi, tidak jauh beda keadaannya. Ia senantiasa meratap dan terus berupaya untuk mendapatkan kebahagiaan yang telah didapatkan oleh orang lain. Hatinya akan senantiasa bersedih karena tidak bisa mendapatkannya, sehingga ada di antara mereka yang bunuh diri karena tidak mendapatkannya. Na’uudzu billah min dzaalik.
Kebahagiaan yang Hakiki
Sekilas gambaran manusia dan kenikmatan atau kebahagiaan yang ia dambakan, kemudian ia cari dan ia pertahankan, semoga bisa menjadi bahan renungan.
Namun bukan berarti bahwa kita dituntut untuk meninggalkan dunia sama sekali, atau dilarang untuk mencari dan memiliki kesenangan dunia itu. Karena senanga kepada perkara keduniaan adalah perkara yang bersifat fitrah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ
Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (Ali ‘Imran: 14)
Dalam ayat di atas Allah subhanahu wata’ala menyatakan bahwa perkara itu semua adalah kebahagiaan atau kesenangan hidup di dunia. Bahkan ada di antaranya yang wajib untuk di cari dan diusahakan, seperti istri yang shalihah dan anak yang banyak jumlahnya. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang menikah, yaitu bahwa menikah adalah sunnah (tuntunan) beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّةِ فَلَيسَ مْنِّي
Barang siapa yang membenci sunnahku (menikah) maka ia bukan dari golonganku.
Adapun tentang anak yang banyak, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
نَزَوَّجُوا الوَدُودَ الوَلُودَ فَإنِّي مُكَثِّرٌ بِكُم الأمَمَ يَومَ الْقِيَامَةِ
Nikahilah oleh kalian perempuan yang banyak anaknya (subur) dan penyayang karena aku akan membanggakan jumlah kalian yang banyak di hadapan para umat (sebelum kalian).
Demikian pula dengan harta untuk memberi nafkah keluarga, merupakan perkara yang wajib dicari. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إثْمَا أن يَضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Cukup sebagai dosa yang ada pada seorang laki-laki yaitu dengan ia menyia-nyiakan orang-orang yang harus ia beri makan.
Setelah menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut dalam ayat dan yang semacamnya, adalah perkara yang bersifat fitrah, Allah mengingatkan kita bahwa tempat kembali yang baik ada di sisi-Nya. Yaitu jangan sampai perkara duniawi itu menyebabkan kita lalai dari tempat kembali dan tempat bersenang-senang yang jauh lebih indah dan abadi.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam al-jannah (surga), mereka kekal di dalamnya. (Hud: 108)
Inilah tempat kembali yang baik, juga tempatnya orang-orang yang berbahagia, dan tempat bersenang-senang yang kekal abadi, tidak lain adalah al-jannah (surga). Sangat jauh keadaannya dengan dunia, yang diliputi sekian banyak mendung, kabut, dan kegelapan. Serta penuh dengan susah payah dan rasa sakit, baik mendapatkan atau tidak.
Tanda-tanda Kebahagian Dunia Akhirat
Dari penjelasan di atas, ada sebuah kesimpulan yang patut untuk disampaikan, yaitu bahwa Islam adalah agama yang pertengahan. Perkara yang menjadi kesenangan manusia tidaklah dilarang kecuali bila akan membawa kepada kesengsaraan yang hakiki dan abadi. Dan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga Islam menuntut manusia untuk mendapatkan kebahagiaan baik hidup di dunia. Terlebih untuk kehidupan akhirat, maka Islam sangat menekannya dan memberi dorongan bagi para pemeluknya untuk berlomba-lomba mendapatkannya.
Tanda-tanda kebahagiaan hidup itu apa saja?
Al-Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- dalam kitabnya yang berjudul “Al-Waabil Ash-Shayyib” mengatakan: “Tiga perkara ini adalah tanda kebahagiaan dan kemenangan bagi hamba baik di dunia maupun di akhirat. Dikarenakan seorang hamba senantiasa berada di antara tiga keadaan.” Tiga perkara yang beliau sebutkan adalah:
1. Apabila mendapat nikmat/ karunia maka ia bersyukur:
Seorang hamba bagaimanapun keadaanya maka pada hakekatnya ia selalu mendapatkan nikmat dari Allah, karena nikmat atau karunia Allah itu luas cakupannya, tidak semata berupa harta benda. Semua karunia Allah itu hendaklah dibalas dengan syukur, bukan mengkufurinya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. (Ibrahim: 7)
Sehingga mensyukuri nikmat adalah wajib. Berbeda dengan syukur ketika mendapat bencana, maka syukur yang demikian adalah mustahab. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata dalam Fathul Baari (11/311): “Adapun orang yang mendapat nikmat maka yang wajib baginya adalah bersyukur dan bersabar. Adapun bersyukur maka telah jelas. Adapun bersabar maka bersabar dari perbuatan maksiat (tidak menggunakan nimat Allah itu dalam kemaksiatan-pen).
Dan barangsiapa yang mendapat musibah maka yang wajib adalah bersabar dan bersyukur. Adapun bersabar maka telah jelas. Adapun bersyukur maka dengan memuji Allah dalam musibah itu. Karena Allah memiliki hak atas hamba berupa peribadatan kepada-Nya ketika mendapat musibah sebagaimana Ia juga memiliki hak untuk diibadahi ketika si hamba dalam kenikmatan.”
Orang yang bersyukur adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim : ” .. dan orang yang mengenali nikmat, mengenali Sang Pemberi nikmat itu, dan mengakuinya, ia tunduk kepada-Nya dan mencintai-Nya serta ridha kepada-Nya dan menggunakan kenikmatan itu dalam perkara yang Ia cintai dan ketaatan maka orang yang seperti inilah orang yang mensyukuri nikmat.”
2. Apabila mendapat cobaan maka ia bersabar
Ujian atau cobaan mencakup unjian yang berasal dari Allah subhanahu wata’ala secara langung, seperti sakit, mati, kelaparan, dan sebagainya. Dan ujian yang Allah subhanahu wata’ala timpakan melalui tangan manusia, seperti celaan ketika melaksanakan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, atau tantangan dari manusia ketika melaksanakan dakwah, dan sebagainya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang (murtad). Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (Al-Hajj: 11)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ
Dan di antara manusia ada yang berkata: Kami beriman kepada Allah. Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu seperti adzab Allah. (Al-Ankabut: 10)
Bersabar di sini mencakup tiga macam sabar:
1. Bersabar dari kemaksiatan sehingga ia tidak melakukannya.
2. Bersabar di atas ketaatan sehingga ia menunaikannya.
3. Bersabar di atas musibah.
3. Apabila melakukan perbuatan dosa maka ia beristighfar (meminta ampun)
Rasulullah r bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاء وَ خَيرُ الْخَطََّائينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak hamba banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman pasti kalian akan bahagia. (An-Nur: 31)