Renungan hari Raya

 

Oleh Syaikh Khalid adh-Dhafiri

 

Wahai sekalian hamba Allah! Sesungguhnya setiap umat memiliki hari raya, yang mana mereka secara rutin kembali merayakannya pada hari tertentu. Hari raya yang menunjukkan akidah, akhlak dan metiode hidup dari umat tersebut.

Adapun Idul Fitri dan Idul Adha, maka sesungguhnya Allah telah mensyariatkannya untuk umat Islam agar Allah bisa menjelaskan makna-makna Islam di dua hari raya tersebut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkisah, dahulu Rasulullah datang ke kota Madinah dalam keadaan mereka (penduduk Madinah) memiliki dua hari raya yang mana mereka bermain-main di dua hari tersebut. Maka, Rasulullah bertanya, “Apa dua hari tersebut?” Mereka menjawab, “Yaitu dua hari yang kami bermain-main padanya saat jahiliyah dulu.” Beliau lantas bersabda, “Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dengan yang lebih baik darinya. Yaitu, Idul Adha dan Idul Fitri.” HR. Abu Dawud dan an-Nasai.

 

Idul Fitri merupakan kebahagiaan bagi kaum muslimin atas berbukanya mereka. Sekaligus sebagai penutup kebaikan untuk bulan mereka. Dengan hari raya ini, kaum muslimin berbahagia.

Agar menyempurnakan puasa bulan Ramadhan sehingga mereka mendapatkan pahala, maka pada hari mereka mendatangi shalat Id disyariatkan zakat fitri, takbir, tahlil lalu shalat id. Demikianlah estafet ibadah terus berlanjut. Tidak ada yang memisahkan antara dirimu dengan ibadah selain kematian.

 

 

Pintu-pintu kebaikan banyak dan dimudahkan. Jalan-jalan kebajikan terbuka lebar dan luas. Maka hendaknya seorang muslim memperbanyak berbagai macam kebaikan untuk menyiapkan kehidupannya yang abadi sesuai taufik yang Allah berikan untuknya.

Wahai hamba Allah! Sesungguhnya hari raya id termasuk syiar Islam yang agung. Hari Id mengandung makna-makna yang tinggi dan tujuan-tujuan yang agung.

 

 

Makna pertama dari Id dalam Islam adalah tauhid kepada Allah dengan mengesakan ibadah hanya untuk-Nya semata, seperti berdoa, takut, berharap, meminta perlindungan dan pertolongan, tawakal, harapan dan takut yang kuat, menyembelih, bersumpah, dan bernadzar hanya untuk Allah.

Tauhid ini merupakan pondasi agama yang merupakan bentuk perealisasian dari kalimat la ilaha illallah.

Tauhid adalah perkara agung yang barangsiapa merealisasikannya maka ia akan masuk ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Jika seseorang mengabaikannya maka amalan apapun tidak akan berguna dan bermanfaat baginya, ia dikekalkan di dalam neraka selama-lamanya.

 

 

Hendaknya kamu, hamba Muslim, berpegang teguh dengan pondasi agung ini! Tauhid merupakan hak Allah atas dirimu sekaligus perjanjian Allah yang diambil dari manusia. Allah menegaskan tauhid ibadah ini di dalam al-Qur’an dan menyebutkan kedudukannya yang agung.

Barangsiapa menyempurnakan hak Allah ini, maka Allah akan menyempurnakan janji-Nya untuk dirinya sebagai bentuk karunia dari Allah.

 

 

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda, “Hak Allah dari para hamba adalah agar mereka beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dan hak hamba dari Allah adalah Dia tidak akan mengazab hamba yang menyekutukan Allah dengan sesuatupun.” HR. al-Bukhari.

Tauhid merupakan perkara pertama dan terakhir.

 

 

Waspadalah kamu dari pembatal tauhid dan hal-hal yang mengurangi keutamaannya. Janganlah kita menyembelih kecuali untuk Allah, jangan bersujud kecuali keada Allah, jangan bersumpah kecuali dengan menyebut nama Allah. Kita jauhi semua jenis kesyirikan, sihir dan bentuk-bentuknya. Kita berhati-hati dari tathayyur, menganggap sial bulan atau tempat tertentu, jimat, dan pergi ke tukang ramal maupun dukun.

Wahai hamba Allah, makna kedua dari dari hari Id adalah perealisasian syahadat Muhammad Rasulullah yang kita ucapkan dalam shalat kita.

Sesungguhnya makna syahadat ini adalah menaati perintah Nabi, menjauhi larangannya, membenarkan beritanya, dan beribadah kepada Allah dengan apa yang disyariatkan olehnya, bukan dengan hawa nafsu atau perkara bid’ah, disertai sikap mencintai dan memuliakan beliau.

 

 

Termasuk bentuk memuliakan dan mengagungkan serta ketaatan kepada Nabi adalah memuliakan para sahabat, ahli bait, para istri beliau ummahatul mukminin. Tidaklah kita menyebutkan tentang mereka kecuali dengan penyebutan yang indah. Barangsiapa mencela mereka atau salah seorang dari mereka maka ragukanlah keislamannya.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.