Rihlah Nanggelan dalam Kenangan _bagian 5_
Oleh Tim Reportase Santri
Pagi ini air laut sudah surut, tidak seperti tadi malam. Hewan-hewan hutan mulai terbangun dari tidurnya. Burung mulai berkicau, monyet menggericau. Asap sisa-sisa bakaran masih mengepul tipis di dekat tenda.
Kami menikmati pagi ini dengan banyak hal. Sebagian melanjutkan tidurnya, mereka adalah orang-orang yang akan menyesal nantinya, terlewatkan banyak hal. Sebagian memilih tetap di tenda, malas ke mana-mana karena dingin atau lelah. Ada pula yang sibuk memasak air, menyeduh minuman ringan atau merebus mi.
Karena air laut surut, sebagian kami memilih untuk menyisiri pinggiran pantai. Berjalan terus ke arah barat menuju ujung teluk. Di sana ada daratan batu karang yang sedikit menjorok ke arah laut. Berjarak sekitar 200 meter dari tenda. Ke sanalah kami menuju, sambil membawa kompor portabel untuk memasak mi, menyeduh minuman ringan, sambil menikmati pemandangan laut yang terlihat lebih luas.
Daratan ini langsung bertepian dengan laut dalam, bahkan mungkin saja ada palung di bawah sana. Berkali-kali ombak menghantam pinggiran karang. Percikannya dapat kami rasakan di wajah kami.
Namun, beberapa waktu setelah sekian lama kami di sana, ombak semakin mengganas. Air laut meninggi. Sedikit demi sedikit kaki kami mulai terendam air. Apa yang terjadi?
Di Luar Dugaan
Kami segera kembali ke tenda, persis saat teman-teman di sana menyalakan sirine memanggil-mangil kami. Bergegas kami berjalan, meloncat-loncat di atas bebatuan licin yang menghiasi tepian pantai.
Sebagian kami terlambat, air laut sudah terlanjur meninggi, jalan yang tadi dilalui ketika berangkat sudah tertutup air. “Waddduuuhh..” Ucap salah seorang santri yang terkena deburan ombak.
Teman-teman yang di belakangnya langsung mepet ke arah tebih tinggi di sebelah kanan. Agar tidak terkena ombak seperti teman di depannya. Ada pula di antara mereka yang sampai bergelantungan pada sebuah pohon.
Tiba-tiba, “Jebyuuurr..” Qaddarallah dahan pohon itu pun patah. Rupa-rupanya dahan tersebut sudah tidak begitu kuat serta telah lapuk. Sampai tidak mampu lagi menahan berat badan santri tersebut. Ia pun terjatuh persis saat air telah berada di bawahnya. Alhamdulillah, ia jatuhnya tidak langsung ke tanah keras.
Setelah berjuang keras melewati rintangan, akhirnya para santri sampai ke tenda dengan bekas-bekas air di sebagian celana mereka. Pasangnya air laut sudah mencapai perbatasan pantai dengan hutan. Rupanya memang di hari-hari seperti ini air laut sedang pasang-pasangnya, ombak juga sedang tinggi. Bertepatan dengan purnama di pertengahan bulan. Hal ini tidak kami duga sama sekali.
Karena itulah akhirnya kami dilarang untuk berenang di laut sampai ombak agak tenang. Daripada berdiam diri, kami pun akhirnya lebih memilih untuk bermain di pinggir pantai yang terletak di dekat muara sana. Adapun di sini, pantainya telah tertutup air laut yang sedang pasang.
Mata-Mata Pengintai
Ketika sebagian kami sedang berada di ujung teluk sana, tenda jadi sepi. Hanya menyisakan beberapa orang yang terbang ke alam mimpi, dan beberapanya masih terjaga.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba di dalam hutan, terlihat mata-mata yang mengintai. Semakin lama, ia semakin mendekat ke arah tenda. Tubuhnya terlihat samar di balik rerimbunan daun. Langkahnya pelan tapi pasti, dan sepertinya ia tak sendiri, melainkan bersama kawanannya. Persis saat mereka sudah benar-benar dekat dengan tenda, seseorang dari kami menyadari kedatangan mereka. Ia langsung sigap, berteriak menyuruh pergi, “Hooshhh.. Huu u’ huu uu’.. hu’ huuu uh uu’..” Suaranya keras, ia juga mengembang kempiskan dadanya seperti sedang mengamuk.
Akhirnya kawanan itu segera lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan, mengambil langkah kaki seribu, setelah diusir makhluk yang lebih besar darinya, “Uuk.. Aaa.. Uuk Aa.”
Itulah monyet-monyet yang gagal mencuri barang-barang kami di tenda.
Sang Kepala Suku
Berbeda ceritanya dengan tenda di bawah. Bau kehidupan sama sekali tak tercium disana, sunyi, sepi. Tak ada satu pun yang menjaga. Semua orang pergi bermain, meninggalkan barang-barang yang digeletakkan begitu saja.
Kawanan mata-mata itu membaca kondisi ini. Instingnya berjalan, ia segera mendekat ke arah tenda. Nampaknya ia sudah mengunci sasaran. Dan di saat waktunya benar-benar tepat, ia keluar dari persembunyian, bergerak cepat menculik sasaran, lalu membawanya pulang ke markas.
Keamanan tenda bawah terbobol. Kawanan ‘pencuri’ berhasil menerobos ‘radar’ pertahanan. Mengambil sepotong ayam yang begitu lezat. Misinya sukses dan tidak terdeteksi oleh pantauan.
Teman-teman yang berada di tenda atas, setelah mengendus kejadian tersebut, mereka segera mengecek ke TKP. “Coba dicek lagi, ada yang hilang nggak selain ayamnya?” Tanya salah seorang santri.
“InsyaAllah cuma itu aja yang dicuri..” Sebagian santri menjawab. Sementara yang lain, mereka terus mengecek area luar tenda. Sampai ketika pencarian mulai memasuki dalam tenda, mereka mendapati sesosok kawan kami di dalamnya. Ia adalah santri asal Buton, yang berwajah khas timur nusantara.
“Oo, monyet-monyet tadi berani mencuri karena ada kepala sukunya di dalam tenda ini.” Kata sebagian teman bercanda, ia memaksudkan santri asal Buton tadi.
“Oo, atau mungkin kawanan monyet tadi datang mau menyambut kepala sukunya. Kan kepala sukunya lagi berkunjung ke habitat mereka.” Kata santri lain memberi kemungkinan, dia juga bercanda.
Situs Bersejarah
Karena kami tidak boleh berenang di laut, akhirnya kami lebih memilih untuk bermain di muara sana. Datarannya lebar, dan air laut tidak pasang sampai ke sana. Kebetulan kami memang sudah menyiapkan beberapa alat permaian dari pondok; Plastik untuk lempar air, dan bola kasti serta pecahan keramik untuk bermain boy-boyan. Cocok sekali dimainkan di dekat muara sana.
“Ayo yang mau berangkat ke muara, kita berangkatnya bareng-bareng.” Kata santri asal Purwodadi mengumumkan melalui megaphone. Dia merupakan seksi hiburan pada kegiatan rihlah kali ini.
“Toeeettt… Toeettt. Toott.” Megaphone itu mengeluarkan bunyi feedback lantaran mic-nya terlalu dekat dengan corong. “Sebelum kita berangkat ke muara, ada sedikit pengumuman.” Santri itu menyelingi pembicaraan, berpindah dari topik ‘berangkat ke muara’. Nada medoknya agak sedikit menghibur, apalagi ditambah pembawaannya yang konyol dan jeneka.
“Ya, pengumumannya.. Kamar ganti yang disediakan di sana itu, khusus untuk ganti pakaian dan BAK saja ya…” Sambil menunjuk ke arah kamar ganti darurat berdinding terpal.
“Mohon maaf..” Katanya melanjutkan. “Pagi ini telah ditemukan sebuah ‘situs bersejarah’ di sana. Yang mengeluarkan bau sangat menyengat.” Para santri tertawa. Mereka saling bertanya dalam hati, siapa yang telah menyalahgunakan kamar ganti itu. Siapa yang beraninya meninggalkan ‘situs bersejarah’ di sana, menggangu kenyamanan hidung yang hendak berganti pakaian.
“Ya, makanya ya.. Kami tegaskan kembali ya, bahwa kamar ganti itu tidak boleh digunakan untuk BAB. Jika terdesak, silahkan cari tempat lain di hutan atau di mana saja, jangan di situ.” Kata santri asal Purwodadi menutup pengumumannya. “Kita gak usah cari siapa orangnya yang meninggalkan ‘situs bersejarah’ itu, mungkin monyet atau yang lainnya.”
Mencari Kacamata Hilang
Setelah berkumpul, akhirnya kami berangkat ke arah muara bersama-sama. Menyisiri pinggir-pinggir pantai yang kini hanya terlihat bebatuannya saja, sisanya terendam air pasang. Sesekali ombak datang, membuat kami harus berhenti sejenak dan memasang kuda-kuda agar tidak terpleset.
Sampai di sana kami langsung bermain perang air. Peserta dibagi menjadi dua tim yang memiliki pos masing-masing. Misi dari permainan ini adalah menghabiskan semua musuh dengan senjata plastik berisi air laut. Tiada batas amunisi, bebas membuat peluru sebanyak-banyaknya. Permainan ini sering kami sebut dengan ‘Dag dig dug duer’.
“Ayo, mulai..” Aba-aba terdengar, para pemain mulai berjual beli serangan, saling melempar. Korban berguguran, sampai akhirnya permainan yang terdiri dari dua ronde ini, dimenangkan oleh kelompok yang dikapteni oleh santri asal Bondowoso.
“Eh.. kacamata ana hilang.. Kayaknya jatuh tadi..” Ujar santri asal Medan setelah permainan usai. “Jatuhnya di mana mas?” Tanya santri yang lain.
“Nggak tau ya.. Nggak kerasa sih..” Tutur santri asal Medan itu, mata minusnya yang tidak diberi kacamata tampak kesusahan melihat.
“Ya udah.. Kita berjejer aja yuk..” Seorang santri asal Banjar memberi saran, ia menunjukkan kepeduliannya. “Kita bareng-bareng menyisiri pantai.. Bantu mencari kacamatanyasampai ketemu. Mari kita gunakan gerakan sapu jagat!!” Lanjutnya.
Akhirnya kami segera baris berjejer mulai melakukan pencarian kacamata. Setelah menyisir sedikit demi sedikit area tempat kami bermain tadi, Alhamdulillah kacamata itu dapat ditemukan. Posisinya dalam keadaan terbuka dan sudah hampir terbenam seluruhnya di pasir. Alhamdulillah ada seorang santri yang jeli menemukannya.
Melestarikan Permainan Tradisional
Yang tak kalah serunya adalah permainan boy-boyan. Alas pasir pantai yang empuk membuat kami bisa lebih leluasa menghindar, menjatuhkan badan, dan sebagainya. Area permainan ditandai dengan patok bambu, peserta tidak boleh keluar dari batas itu, supaya meminimalisir bola liar yang mengarah ke laut.
Permainan tradisional nusantara yang amat populer ini memang mengasyikkan. Setelah kami dibagi menjadi dua kelompok sesuai kelas, keseruan permainan dimulai. Kelas 3 mendapat giliran menyusun keramik terlebih dahulu. “Sini, sini, sini!!” Para penjaga dari kelas 4 ribut berkoordinasi satu sama lain, mereka saling mengoper bola. Sampai ketika ada sasaran yang berada dalam radius lempar, mereka langsung menimpuknya tanpa ampun.
“Nah.. kenaaa..!!” Santri kelas 4 mulai mendapat korban. Namun baru saja berlalu beberapa saat, bola jatuh ke ruang kosong, tidak dalam genggaman kelas 4. Pemain kelas 3 segera menendangnya keras-keras, bola pun menjauh. “Ambil itu..!!”
(Pada permainan ini, kepala dan kaki sampai lutut adalah area aman. Jika terkena lemparan di dua anggota tubuh itu, maka tidak teranggap mati. Sehingga bagi yang menyusun keramik, boleh saja bagi timnya untuk menjauhkan bola dengan menyundul atau menendangnya jauh-jauh).
Sementara pemain kelas 4 sedang lari pontang-panting mengambil bola yang telah menjauh, pemain kelas 3 dengan santai menyusun keramik sampai selesai. Akhirnya kelas 3 dapat unggul terlebih dahulu. Skor 1-0.
Boy-Boyan Melawan Air Laut
Kelas 3 mendapat giliran untuk menyusun lagi. Satu persatu mereka mulai melempar bola untuh menjatuhkan susunan keramik. Dan dari jarak sekitar 11 meter, lagi-lagi lemparan yang mereka lakukan berhasil menjatuhkan keramik. Saatnya mereka untuk menyusunnya kembali, sambil menghindari lemparan bola.
Setelah beberapa keramik tersusun, tiba-tiba ia runtuh kembali. Air laut sisa-sisa dorongan ombak yang ganas, terkadang naik sampai mencapai tempat bermain kami, menghancurkan susunan keramik yang telah berdiri.
Permainan dihentikan sejenak. Karena sekarang kami semua memikirkan cara untuk memecahkan masalah ini. Bagaimana agar keramik-keramik ini tetap dapat tegak berdiri walaupun air laut datang, supaya permainan dapat terus berlangsung.
“Pakai ember saja, biar agak tinggi. Nanti keramiknya disusun di atasnya.” Saran dari santri asal Medan. “Jangaaan..!! Nanti ketika ngelempar, gampang sekali menjatuhkan keramiknya. Tinggal kenain embernya, jatuh sudah..” Santri lainnya membantah.
“Oo, gini aja.. ! Pakai ring buoy (pelampung keselamatan). Nanti di lobang tengahnya dikasih pasir sampai penuh, keramiknya disusun di atasnya. Itu sudah cukup tinggi insya Allah.” Santri asal Medan kembali mengusul.
Awalnya beberapa santri meremehkan usulan ini. Tapi akhirnya, “Iya itu, boleh dicoba..” Sebagian santri membela. Usulannya segera dilakukan, permainan kembali berlanjut. Kelas 3 kembali memenangkan permainan, skor 2-0.
Namun di tengah permainan, ketika air laut datang, air itu tetap masuk melalui bagian bawah ring buoy, sheingga mengikis pasir yang ada di dalamnya. Keramik pun jatuh kembali.
Akhirnya, pasir ditambahkan lagi. Agar permainan bisa terus berlanjut. “Woy.. Air laut datang.” Salah seorang dari kami berteriak. Dan sebelum airnya mencapai ring buoy, kami langsung reflek meloncat ke arahnya sambil menjatuhkan diri di pasir. Membentuk dinding yang menghalangi ring buoy agar jangan sampai terkena air. Permainan jeda sejenak.
Ketika air laut telah kembali, aman. Keramik tetap berdiri kokoh. Dan permainan bisa terus kami lanjutkan. Begini terus yang kami lakukan setiap kali air laut datang. Sampai akhirnya permainan dimenangkan oleh kelas 4.
Menantang Ombak Ganas
Bosan dan lelah bermain boy-boyan, kami akhirnya mulai masuk ke laut. Walaupun sebenarnya dilarang, tapi bagaimana lagi, daripada garing. Satu persatu kami mulai turun ke laut, yang lain mengikuti. Toh, kami yakin, walupun ombak di pagi hari ini sangat tinggi, tapi insyaAllah kami bisa menjaga diri. Juga, ada tim SAR santri yang selalu mengingatkan untuk tetap berkumpul, tidak bermain terlalu jauh, dan jangan lengah jika ada ombak.
Bermain ombak di pagi ini jauh lebih seru dari kemarin sore. Ombak yang tinggi menjadikan permainan ini terasa lebih menantang. Sampai tidak terasa, tiba-tiba sudah mendekati waktu zuhur. Saking merasakan asyiknya, sebagian kami sampai berharap-harap, semoga kepulangan ke pondok ditunda. Belum puas bermain ombak.
“Akh, ayo balik ke tenda, bilas. Dah mau zuhur nih..” Seorang santri mengajak temannya. Lama bermain ombak di bawah terik matahari seperti ini, menjadikan wajah santri itu terlihat gosong.
“Tunggu ah, sekali lagi.” Katanya mengulur waktu. Kaos lengan panjangnya cukup melindungi tangan agar tidak gosong.
Setelah beberapa deburan ombak lagi, santri tadi menagih, “Ayo akh, balik ke tenda.”
“Nanti aja ah, sekali lagi.” Lagi-lagi temannya mengulur waktu. Terus demikian sampai ‘sekali-sekali’ berikutnya, saking asyiknya bermain ombak. Hanya tersisa enam orang yang masih bermain, sisanya sudah kembali ke tenda.
Masih banyak lagi warna yang mengiringi rihlah kami. Perjalanan belum berakhir. Apa saja yang akan terjadi selanjutnya? Nantikan di artikel berikutnya.