Tauhid dalam Pandangan al-Imam al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah
DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH 25 MUHARRAM 1438 H/25 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY
al-Imam al-Maqrizi rahimahullah adalah seorang ulama’ besar bermazhab syafi’i yang lahir di Mesir pada tahun 766 H. Nama lengkap beliau adalah al-Hafizh Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Ali bin Abdil Qadir al-Maqrizi al-Misri asy-Syafi’i rahimahullah.
Pada kesempatan kali ini sengaja kita paparkan definisi tauhid dalam pandangan al-imam al-Maqrizi rahimahullah dikarenakan banyaknya persepsi atau tuduhan bahwa makna tauhid yang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah serukan berasal dari pemikirannya sendiri dan tidak ada pendahulunya. Apakah benar demikian? Mari kita lihat bagaimana al-imam al-Maqrizi mendefinisikan tauhid.
al-Imam al-Maqrizi rahimahullah yang hidup 4 abad sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Tajridut Tauhid al-Mufid menyebutkan (artinya), “Tidak diragukan bahwa tauhid rububiyah tidak diingkari oleh kaum musyrikun, bahkan mereka mengakui bahwa Allah subhanahu wata’ala yang menciptakan mereka, Ia lah pencipta langit dan bumi, yang mengurusi segala kebutuhan makhluk. Adapun tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid uluhiyah dan mahabbah “
Dari sini kita mengetahui bahwa al-Imam al-Maqrizi rahimahullah mengakui adanya pembagian jenis tauhid. Dan ini tentunya bantahan terhadap Syi’ah Rafidhah dan Sufi yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini adalah pembagian wahhabi.
Lihatlah kenyataan ini, al-Imam al-Maqrizi rahimahullah menafsirkan tauhid semisal dengan penafsiran Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah bahwa tauhid rububiyah (penciptaan) saja tidak cukup, wajib bagi seorang muslim untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dalam uluhiyah-Nya dengan memberikan segala jenis ibadah yang diperintahkan syariat hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata.
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan ucapannya (artinya), “Seperti yang telah Allah ceritakan dalam kitab-Nya tentang mereka (artinya), “Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengambil selain dari Allah (sebagai tandingan) misalnya berhala-berhala. (Mereka mencintainya) dengan penghormatan dan ketundukan (sebagaimana mencintai Allah) maksudnya sebagaimana mereka mencintai-Nya (sedangkan orang-orang beriman lebih kuat cintanya kepada Allah) melebihi kecintaan kepada siapa pun, karena mereka tidak mau berpaling dari-Nya dalam keadaan bagaimana pun, sementara orang-orang kafir cintanya kepada Allah itu hanyalah dalam keadaan terdesak atau terpaksa”. Maka ketika mereka menyamakan antara Allah subhanahu wata’ala dengan selain-Nya tentu dia telah musyrik (berbuat kesyirikan, pen).
Allah subhanahu wata’ala telah mengajarkan kepada hamba-hambanya penjelasan tentang pelaku kesyirikan dalam tauhid uluhiyah, dan bahwa Allah subhanahu wata’ala bersendiri dalam melindungi, menghukumi segala urusan serta bersendiri dalam mencipta.
Maka tidak ada pelindung, hakim dan pencipta kecuali Allah subhanahu wata’ala yang mana orang yang memalingkan hal tersebut kepada selain Allah subhanahu wata’ala maka ia telah melakukan kesyirikan dalam tauhid uluhiyah, meskipun ia mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dalam rububiyah-Nya. Tauhid rububiyah adalah tauhid yang disepakati oleh semua makhluk baik yang mukmin atau kafir.
Tauhid uluhiyah adalah pembeda jalan antara mukminin dan musyrikin. Maka jenis tauhid yang dituntut kepada manusia adalah tauhid uluhiyah.