Tidak Shalat Jumat Tiga Kali Kafir, Benarkah?

 

 

Tidak diragukan lagi bahwa shalat Jumat merupakan salah satu ibadah yang utama dalam Islam. Bagi kaum laki-laki, shalat Jumat adalah salah satu shalat fardhu yang memiliki keutamaan lebih dibanding shalat-shalat lainnya.

 

Bagi seorang muslim yang cinta akan agamanya tentu tidak akan meninggalkannya barang sekali pun. Apalagi ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang meninggalkannya.

 

Sampai-sampai ada yang menganggap bahwa seorang muslim yang tidak menunaikan shalat Jumat sebanyak tiga kali maka ia telah murtad, alias menjadi kafir. Benarkah demikian?

Hadits Nabi, Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikan Shalat Jumat

 

Memang, ada hadits sahih yang menyebutkan ancaman keras bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat disebabkan ia menyepelekannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 مَنْ تركَ ثلاث جُمَعٍ تهاوناً بها، طَبَعَ الله على قَلْبِهِ

“Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena menyepelekannya, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. An-Nasai no. 1034, disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih al-Jami’ no. 6143.)

 

Pada hadits ini disebutkan dengan jelas bahwa ancaman keras bagi orang yang tidak menunaikan shalat Jumat. Karena hukum shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain bagi laki-laki. Barangsiapa yang meninggalkannya tanpa uzur sebanyak tiga kali maka Allah akan mengunci hatinya.

 

Lantas, apa makna Allah mengunci hatinya? Al-Munawi asy-Syafi’i (w 1060 H) rahimahullah menerangkan bahwa maknanya adalah Allah menutupinya dan menghalanginya dari kelembutan hati.

 

Sehingga Allah sematkan padanya kebodohan, kekakuan, dan kerasnya hati.[1] Keterangan yang semisal juga dipaparkan oleh as-Suyuthi (849-911 H) rahimahullah. [2]

 

Ancaman tersebut berlaku untuk orang yang meninggalkan shalat Jumat karena menggampangkan, bermalas-malasan, dan tidak memiliki uzur. (Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj 3/245 dan al-Bahr al-Muhith ats-Tsajjaj Fi Syarh Shahih al-Imam Muslim Ibn al-Hajjaj 17/253)

Apakah Hatinya Dikunci Sama dengan Kafir?

 

Berdasarkan keterangan al-Munawi dan as-Suyuthi di atas, dikunci hatinya bukan berarti kafir. Hal ini dikuatkan dengan riwayat hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ، أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ، ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Benar-benar hendaknya orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat berulang kali, atau (jika tidak) maka Allah akan mengunci hati mereka, kemudian mereka termasuk orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim no.865 di dalam Sahihnya)

 

Artinya, seorang yang tidak menunaikan shalat Jumat secara berturut-turut maka dosanya akan semakin menumpuk dan menutupi hatinya. Sampai-sampai pelakunya dicap sebagai seorang yang lalai dan hal itu menjadi tabiatnya.

 

Muhammad bin Abi Bakr (691- 751 H) menerangkan bahwa dosa-dosa, jika sudah terlampau banyak, maka akan dicapkan kepada pelakunya sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang lalai. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh sebagian salaf terkait perkataan Allah,

 كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak, bahkan menjadi rona di hati-hati mereka akibat dosa yang mereka perbuat.” (al-Muthaffifin: 14) Yaitu, dosa demi dosa.[3]

Tidak Menunaikan Shalat Jumat Karena Uzur Syar’i

Hadits ancaman di atas hanya berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat disebabkan ia menyepelekan dan meremehkannya. Hal itu jelas disebutkan dalam hadits di atas secara langsung.

 

Sedangkan seorang yang biasa mengerjakannya, akan tetapi suatu ketika ada uzur yang menghalanginya, maka ia tidak termasuk dalam ancaman tersebut. Bahkan ia mendapat keringanan untuk tidak shalat Jumat.

 

Di antara uzur syar’i untuk tidak menunaikan shalat Jumat adalah adanya rasa takut dan was-was atas keselamatan jiwa dan hartanya. Ibnu Qudamah (597-682 H) menyatakan, “Diberi uzur tidak mengerjakan shalat Jumat dan shalat berjamaah bagi orang yang sakit, menahan buang air besar atau kecil, takut kehilangan harta atau merugi kerenanya, takut kerabatnya meninggal, takut dirinya mendapat mudharat … dsb[4].”

 

Dengan demikian kita tidak bisa sembarangan mengatakan bahwa orang yang tidak shalat Jumat adalah kafir. Apalagi di masa Pandemi Covid-19 sekarang, yang sangat dikhawatirkan akan terjadi penularan jika seseorang tetap menghadiri dan mengadakan shalat Jumat.

 

Semoga Allah segera membebaskan kaum muslimin secara khusus dan dunia secara umum dari Pandemi Virus Corona ini. Amin.

 

[1] Lihat Faidhul Qadir (6/133).

[2] Lihat Hasyiah as-Suyuthi wa as-Sindiy ‘Ala Sunan an-Nasai (2/425)

[3] Liha al-Jawab al-Kafi (hlm.60)

[4] Lihat al-Muqni’ (1/219-220) karya Ibnu Qudamah.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.