Ujian saat thalabul ilmi
Oleh Aufa as-Sundawy
Di saat siang cerah berawan, tak biasanya selepas shalat dzuhur seorang santri sekaligus petugas dapur menuju bangunan di barat masjid, tempat santri Ma’had Minhajul Atsar Jember dirawat, ruang UKS atau rawat inap namanya.
Rupanya santri kelas lima takhasus itu pergi ke ruang UKS tak bermaksud menjenguk santri yang sakit. Ia sekedar inigin mengecek makan siang yang telah diantarnya sekitar jam sebelas. Sebab ia menyangka satu porsi makan tidak akan disentuh karena pemiliknya sudah tidak tinggal di UKS lagi.
Setelah salam ia masuk tengok kanan dan kiri, namun ia tak berhasil menemukannya. Hening, tiba-tiba celetuk terdengar suara dari pembaringan, “Cari apa mi?”, ternyata pertanyaan itu terlontar dari si sakit, sebut saja ia dengan Rafli. “Ah, cari nasi jatahnya usatdz fulan (santri sekaligus musyrif yang sudah meninggalkan UKS).” Jawab santri yang masih rapi mengenakan pakaian shalat itu.
Rafli: “Emangnya kenapa mi? sudah dikasihkan ke kamar delapan.”
Ami: “Ah enggak, itu kalau masih ada, mau ana makan.” jawab sang ami menghibur, tersenyum lebar.
Merasa bersalah, Rafli bertanya “Belum makan tah mi?”
“Ooh enggak, alhamdulillah sudah makan. Mau nambah aja, jadi suplemen biar sehat terus.” Kembali sang ami menghibur diri dan Rafli.
Petugas pengantar nasi alias si ami pun mulai melangkah menuju pintu. Ia mau keluar melanjutkan aktifitasnya. Belumlah badannya sempurna keluar, Rafli kembali bertanya, “Afwan mi, ami bawa hp enggak?”
Si ami sebenarnya mendapat kemudahan dan amanah memegang hp, namun saat itu ia mengesankan tidak membawanya. Si ami menjawab “Sekarang ami eggak bawa.” Sebab hpnya memang sedang dikamar. Jawaban itu muncul karena khawatir Rafli bermudah-mudahan telfon dan mengeluh kepada orang tua. Si ami ingat betul nasehat yang sering diulang oleh mudirnya, kita sudah dewasa, kibar, jangan cengeng, dikit-dikit telfon dan mengeluh.
Di sisi lain, ami juga khawatir memang benar ada kebutuhan mendesak, maka ami pun bertanya “Emangnya kenapa, kok tanya hp?”, “Ya, ana sudah empat hari gak telfon orang tua, biasanya ana telfon setiap hari, kadang sehari bisa dua kali.” jawab Rafli yang masih berbaring.
Kaget tidak percaya, ami bertanya lagi, “Emangnya ngobrol apa, kok sampe setiap hari?”
Rafli, “Biasanya tanya-tanya saja.”
Ami, “Tanya apa?”
Rafli pun tak segan mengisahkan beberapa contoh isi penelfonan dengan orang yang telah melahirkannya.
Rafli, “Umi, buah salak itu bagus gak (untuk kesehatan)?”
Umi, “kurang bagus, itu bisa bikin sembelit.”
Si ami merasa heran mengapa Rafli menceritakan sesuatu yang sepele, dia berfikir Rafli akan menceritkan isi penelfonannya yang lebih bernilai. Namun ami sadar bahwa dia sedang sakit, sehingga ia menyabarkan diri untuk mendengarkan curhatan yang dianggap remeh itu.
Ami semakin merasa geli ketika Rafli mengisahkan bahwa ia tidak menuruti nasehat ibunya. “Tapi mi, karena salaknya sudah ada di depan ana, ya ana makan, banyak lagi.” kata Rafli bermuka sesal. “Terus bagaimana, lancar buang airnya?” jawab si Ami bercanda.
“Ya, iya lancar tapi keras, sebesar-besar ini mi.” sambil berisyarat menggabungkan ibu jari dengan telunjuk.
Aneh, “Kenapa dia cerita sampai segitunya.” gumam si Ami.
Keduanya diam sejenak. Tiba-tiba, “Ami, itu baru sebesar itu ya mi, padahal ukuran bayi itu sebesar ini mi.” ucap Rafli sambil menggambarkannya dengan menggabungkan kedua jari tengah dan kedua ibu jari dengan sedikit berjarak. “Durhaka ana mi karena tidak mengikuti nasehat umi.” sesal santri yang sedang sakit itu.
Entah apa yang Rafli pikirkan tiba-tiba ia berkata demikian. Tak berhenti sampai di situ, ia berkata sambil terbata, “Dulu umi nyuruh belajar, malah main-main.” sejenak menghela nafas.
“Dulu disuruh makan, gak nurut.” bibir dan kelopak matanya mulai bergetar, jarinya sesekali mengusap mata, namun tak terlihat ada air yang keluar dari matanya yang sayu ketika itu.
Rafli terus menyebutkan kesalahannya, ia menyebutkan kesalahan-kesalahan masa kecilnya. Setiap kali berhenti dari satu kesalahan, ia berkata, “Ana telah durhaka mi.”
Sebenarnya kesalahan yang disebutkan Rafli, hanyalah kesalahan yang dianggap wajar. Namun melihat kondisi dan mendengar kata-kata Rafli, hati santri yang tak bermaksud menjenguk itu mulai hancur, namun ia berusaha tegar. “Aku harus kuat jangan sampai neteskan air mata, kalau ana gak kuat bisa jadi Rafli lebih gak kuat lagi.” ucapnya dalam hati.
Ami berusaha menghibur, sambil menepuk-nepuk kaki Rafli “Ya sudah, sekarang kan kamu sudah sadar itu kesalahan, di masa sakit ini selain banyak berdoa cepat sembuh banyak doakan orang tua juga.” nasehatnya sambil tersenyum tak mau terbawa suasana. “Cepat sembuh, supaya bisa berbakti lagi.” lanjutnya.
“Iya mi, iya” sambut Rafli. “Mmm, bisa gak mi pinjam hp?” suarnya semkin berat.
Walau Ami sudah menebak maksud dari cerita dan apa yang akan ia bicarakan dengan ibunya namun ami polos bertanya, “Mau ngomong apa sama umi?”
Diam sejenak, menghela nafas, bibir bergetar, jari mengusap-usap mata. “MAU MINTA MAAF mi”, melelehlah air mata yang sejak tadi terbendung.
Tak basa-basi lagi, ami yang tak sengaja tertegur itu pun menjawab “Ya ana pinjamkan.”, sambil melengos pergi. Temannya yang sama-sama sakit yang sejak awal ikut mendengarkan percakapan diam seribu bahasa, merunduk membelakangi Rafli dan ami, tak menoleh sedikit pun.
Yah, walau keadaannya sudah sangat membaik, namun dua hari setelah kejadian itu Rafli dijemput orang tuanya. Semoga saja Rafli bisa lebih cepat sembuh.
Saudaraku seiman, semua yang Allah tetapkan bagi kita pasti akan ada hikmahnya. Seorang di masa sehat terkadang lupa diri. Tapi lihat betapa hancurnya hati seorang yang sakit. Di saat itu ia tersadar akan sebuah dosa. Di saat yang sama ia tersadar akan hak orang tua.
Wahai saudaraku, marilah berusaha sadar. Ingatlah selalu hak orang tua. Jangan sampai menghardiknya. Berbaktilah kepadanya di masa sehat kita. Jangan sampai kita baru tersadar ketika sakit menimpa.
Jika anda merasa tertegur, segeralah meminta maaf kepada orang tua. Jangan tanya minta maaf karena apa. Karena pasti kita pernah bersalah, bahkan mungkin banyak bersalah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah aku tunjukan dosa yang paling besar?” para sahabat menjawab “Tentu wahai Rasulullah.” Rasul menjelaskan “Syirik dan durhaka kepada orang tua” –semula beliau bertelekan dengan tangannya kemudian bangkit duduk- “dan ucapan keji.” (HR. al-Bukhari no. 5976 dari sahabat Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu)
Wahai saudaraku, kisah di atas juga menyadarkan kita, bahwa seorang yang sakit merasa pada posisi yang sangat lemah. Jika ia seorang yang diberi taufik oleh Allah pastilah akan banyak mengingat. Merasa ajal semakin dekat. Mengingat apa yang telah ia perbuat, dari berbagai dosa dan maksiat.
Namun tidak semua orang diberi taufik dengan sendirinya, ia butuh ada yang memotivasi dan menyadarkannya. Maka kita yang sehat, ingatlah hak sesama muslim. Islam agama yang sempurna telah membimbing kita. Melalui lisan yang mulia Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila ia (seorang muslim) sakit maka jenguklah.” [HR. al-Bukhari no. 1240 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Tentu, menjenguknya untuk menanyakan kondisi fisik dan maknawinya. Menanyakan kesehatan dan ibadahnya di masa sakit, agar kita bisa membantunya jika ia mendapat kesulitan.
Rafli saudaraku, cepatlah sembuh dan buktikan baktimu kepada orang tuamu. Teman seperjuangan, terkhusus tim kesehatan, bersabarlah. Upayamu menjaga teman-teman yang sakit tak akan tersi-siakan bahkan menjadi pemberat timbangan! Amin