Adab Ketika Mendengar Khutbah Jumat

dosa besar

 

Menyimak dengan seksama khutbah Jumat merupakan perkara yang sangat ditekankan. Rasulullah bahkan memerintahkan agar seseorang yang hadir untuk diam mendengar saat khatib berbicara. Berkonsentrasi agar bisa mendapatkan faidah dari khutbah yang disampaikan dengan maksimal.

Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini kami akan menyampaikan beberapa hal lain yang sebaiknya dilakukan seseorang yang hadir shalat jumat agar dapat memperoleh faidah dari khutbah. Para pembaca rahimakumullah, agar tetap fokus dalam mendengar dan mendulang ilmu dari khutbah yang disampaikan maka hendaknya dilakukan hal-hal berikut;

  1. Mencari posisi yang lebih dekat kepada khatib

Termasuk adab saat menghadiri shalat  Jumat adalah duduk mendekat kepada khatib. Dalil yang menunjukkan tentang hal ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1110  pada bab باب الدُّنُوِّ مِنَ الإِمَامِ عِنْدَ    الْمَوْعِظَةِ”Bab tentang mendekat kepada imam saat pemberian nasehat” dari shahabat yang mulia Samurah bin Jundub bahwa rasulullah pernah bersabda;

احْضُرُوا الذِّكْرَ وَادْنُوا مِنَ الإِمَامِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لاَ يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِى الْجَنَّةِ وَإِنْ دَخَلَهَا

“Hadirilah Adz dzikr (yakni khutbah Jumat) dan mendekatlah kepada imam (khatib). Sesungguhnya seseorang yang terbiasa menjauh (saat khutbah berlangsung) hingga akhirnya jika dia masuk Jannah maka diakhirkan pula masuk ke dalamnya .”

Hadits ini mengandung arahan agar seseorang bersegera menghadiri shalat Jumat lalu mencari posisi duduk yang lebih dekat kepada khatib. Dengan demikian dia akan lebih jelas mendengar seluruh isi khutbah tanpa ada yang terlewat. Demikian pula sebaliknya, jangan menyengaja mencari tempat yang agak jauh dari khatib sehingga menyebabkan didirnya tidak mendapatkan keutamaan dari shaf-shaf awal  dan juga besar kemungkinan akan terlewatkan sebagian faidah yang seharusnya bisa didapatkan dari khutbah yang sedang disampaikan. Maka barangsiapa yang keadaannya seperti ini (yakni sengaja mengakhirkan kehadiran dan juga menjauh dari khatib) maka diapun akan diakhrikan untuk masuk  Jannah sehingga tidak mendapatkan keutamaan orang-orang yang masuk  Jannah di awal atau dia akan berada di derajat paling akhir di Jannah. (Lihat syarah sunan Abu Daud karya asy syaikh abdul muhsin al ‘abad).

  1. Tidak melakukan duduk ihtiba’

Terkait hal ini Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Muadz bin Anas al-Juhani (no. 516);

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الحِبْوَةَ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ

“Bahwa Nabi melarang melakukan duduk ihtiba’ pada hari Jumat saat khatib sedang berkhutbah.”

Imam at Tirmidzi menyebutkan hadits ini pada kitab sunan beliau di bab

 بَاب مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ الِاحْتِبَاءِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ

Bab tentang dimakruhkannya duduk ihtiba’ saat khatib sedang berkhutbah.

Hadits ini pula dibawakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab beliau Riyadush Shalihin di bab

باب كراهية الاحتباء يوم  الجمعة والإمام يخطب لأنه يجلب النوم فيفوت استماع الخطبة ويخاف انتقاض الوضوء

Bab dimakruhkannya duduk ihtiba’ pada hari Jumat saat khatib sedang berkhutbah karena dapat menyebabkan datangnya kantuk sehingga terlewatkan dari mendengar khutbah serta dikhawatirkan wudhunya batal.”

An Nawawi di dalam kitab al Majmu’ syarah muhadzdzab menukilkan ucapan al Khattabi dengan redaksi semisal dengan penjudulan bab pada kitab riyadhush shalihin.

Para pembaca rahimakumullah,adapun tentang yang dimaksud dengan duduk ihtiba’ itu sendiri, asy syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarah riyadush shalihin beliau menjelaskan;

الحبوة أن يضم الإنسان فخديه إلى بطنه وساقيه إلى فخديه ويربط نفسه بسير أو عمامة أو نحوها

“Habwah (duduk ihtiba’) yaitu ketika seseorang merapatkan kedua pahanya lke perutnya dan sekaligus merapatkan kedua betis ke kedua pahanya lalu mengikatnya (menahannya) dengan tali, imamah dan yang lainnya (misalkan dengan menyatukan kedua tangannya).”

Dari pemberian judul bab yang dilakukan oleh at Tirmidzi dan juga an Nawawi memberikan isyarat bahwa keduanya berpendapat tentang dimakruhkannya duduk ihtiba’ saat mendengar khutbah Jumat. Yang demikian itu jika dilakukan maka dikhawatirkan akan menyebabkan datangnya rasa kantuk sehingga terlewatkan dari mendengarkan khutbah. Memang disana terjadi perbedaan pendapat  dikalangan ulama tentang hukum duduk ihtiba’ ini. Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa posisi duduk seperti itu sangat memungkinkan untuk timbulnya rasa kantuk sehingga sebaiknya tidak dikerjakan. ( lihat Tuhfatul ahwadzi syarah sunan at Tirmidzi).

  1. Mengarahkan badan dan pandangan menghadap khatib

Selayaknya bagi yang menghadiri shalat Jumat untuk menghadapkan dirinya ke arah khatib yang sedang berkhutbah. Al imam al Bukhari dalam kitab shahihnya meletakkan sebuah bab;

باب يستقبل الإمام القوم واستقبال الناس الإمام إذا خطب واستقبل ابن عمر وأنس الإمام

“Bab bahwa seorang imam (khatib)  disaat berkhutbah menghadap kepada hadirin dan para hadirin juga menghadap kepada khatib. Hal demikian dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Anas bin Malik.” Lalu beliau menyebtukan sebuah hadits dari Abu Said al Khudri dimana beliau menyatakan;

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – جَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى الْمِنْبَرِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ

“Suatu hari nabi duduk diatas mimbar dan kami duduk disekitar beliau.”

Pada judul bab tersebut al Bukhari menyatakan “Hal demikian dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Anas bin Malik”.   Terkait atsar Ibnu umar maka diriwayatkan oleh al Baihaqi bahwa ibnu umar menyelesaikan shalat shalat sunnahnya dan mengakhirinya sebelum khatib masuk  ke masjid. Ketika khatib datang maka sebelum duduk di mimbarnya ibnu umar sudah menghadap ke khatib.

Sementara atsar anas telah diriwayatkan dari sebuah manuskrip milik nuaim bin hammad dengan sanad shahih dari Anas bahwa ketika khatib mulai berkhutbah maka beliau menghadapkan wajahnya sampai khatib menyelesaikan khutbahnya.

Diriwayatkan oleh ibnul mundzir pada riwayat lain dari Anas bahwa beliau ketika datang ke masjid maka beliau bersandar ke tembok dan menghadap kepada khatib. Berkata Ibnul Mundzir, “Saya tidak tahu ada khilaf tentang permsalahan ini di kalangan para ulama.” Yakni tentang disunnahkannya menghadap khatib saat sedang khutbah. Yang semisal ini juga diriwayatkan dari Said bin musayyib dan al Hasan al Bashri.

Pada riwayat yang lain dari ibnul Mubarak bahwa Abul Juwairiyyah berkata,” Aku melihat Anas bin Malik menghadapkan wajahnya saat khatib sudah mulai berkhutbah sampai sang khatib menghakhiri khutbahnya.”

Al imam at Tirmidzi meriwayatkan atsar dari Abdullah bin Mas’ud (no. 511) bahwa beliau berkata, “Dahulu jika rasululah naik mimbar maka kami menghadapkan wajah-wajah kami.” Kemudian diakhir riwayat ini at Tirmidzi menyatakan,

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ يَسْتَحِبُّونَ اسْتِقْبَالَ الإِمَامِ إِذَا خَطَبَ. وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِىِّ وَالشَّافِعِىِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ

“Para ahlu ilmu dari kalangan para shahabat dan selain mereka menyukai untuk menghadap kepada khatib saat khutbah. Ini adalah pendapatnya Sufyan at tsauri, asy Syafi’i, Ahmad dan Ishak.”

Al Baihaqi menyebutkan ucapan Az Zuhri,”Dahulu jika nabi berkhutbah maka para shahabat menghadpkan wajah-wajh mereka ke arah nabi.”

Al Hafizh Ibnu hajar dalam fathul Bari menjelaskan tentang maksud dari dibawakannya hadits abu Said di bab ini yang dibawakan oleh Al Bukhari. Beliau menyatakan,” Bentuk pendalilan Al Bukhari dengan hadits ini bahwa duduknya para shabahat disekitar nabi  untuk mendengarkan nasehat mengharuskan  mereka memandang kepada nabi……” Kemudian beliau melanjutkan, “ Jika ini dilakukan oleh para shahabat diluar khutbah maka saat khutbah Jumat lebih pantas untuk dilakukan dikarenakan adanya perintah khusus di saat khutbah Jumat untuk para hadirin agar benar-benar mendengar serius dan diam tidak berbicara.”

Apa hikmah menghadapnya para jamaah ke khatib? Terkait hal ini al Hafizh Ibnu hajar kembali menjelaskan; “Dan diantara hikmahnya adalah agar seorang yang hadir shalat Jumat mempersiapkan diri untuk benar-benar mendengarkan ceramahnya sekaligus sebagai adab terhadap khatib saat mendengar ceramahnya. Jika seorang yang hadir benar benar menghadapkan wajah dan badan serta dengan hatinya dengan penuh konsentrasi maka akan lebih mendorong dia untuk memahami isi khutbah yang memang itu disyariatkan untuk dilakukan.”

(lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar dan fathul Bari karya Ibnu Rajab).

Para pembaca rahimakumullah, sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada asy Syaikh Ibnu utsaimin bahwa al Bukhari menyebutkan dalam kitab yaumul Jum’ah sebuah hadits dari Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi, “Suatu hari nabi ketika duduk di atas mimbar, kamipun duduk disekitar beliau.” Apakah ini menunjukkan tentang disyariatkannya bagi para makmum merubah posisi untuk menghadap imam (khatib) meskipun  berada pada shaf terjauh (ujung)?

Asy syaikh menjawab, “ Makna kata “kamipun duduk disekitar beliau” bahwa kita berusaha dekat dengan khatib. Bukan bermakna bahwa mereka berkumpul atau mengelilingi beliau. Saat rasulullah berkhutbah maka mereka berusaha untuk berada mendekat dalam kondisi tetap pada shaf-shaf mereka. Bahkan ada hadits yang menyebutkan tentang larangan untuk berkumpul pada hari Jumat karena akan membuat para jamaah yang akan shalat merasa sempit di dalam masjid …(lihat majmu fatawa wa rasail ibnu utsaimin no.1321)

Dalam kesempatan yang lain beliau ditanya tentang hukum menengokkan kepala untuk melihat khatib di hari Jumat saat khutbah.  Beliau menjawab, “Menengokkan kepala untuk melihat khatib saat berkhutbah tidaklah mengapa, bahkan ini perkara yang baik. Hal ini lebih menjadikan seseorang lebih perhatian. Sungguh telah diriwayatkan dari para shahabat bahwa mereka menghadapkan wajah-wajah mereka saat rasulullah sedang berkhutbah.” …(lihat majmu fatawa wa rasail ibnu utsaimin no.2321).

Wallahu a’lam bishshawwab. Semoga bermanfaat.

 

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.