Bolehkah menambah doa qunut witir?
Oleh Rasyid Sidoarjo Takhasus
Mungkin ada yang bertanya, apakah boleh menambah do’a qunut witir dengan do’a selain yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucunya al-Hasan bin Ali radihyallahu ‘anhuma dalam hadits:
علمني جدي دعاء أقوله في القنوت:” اللَّهُمَّ اهدني فِيمَن هديت…” إِلَخ،
“Kakekku (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengajariku do’a ketika aku katakan di qunut: ‘Ya Allah, berilah hidayah kepadaku, sebagaimana orang yang telah engkau berikan hidayah.’…”
Bolehkah ditambah dengan do’a lain yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban:
Sebagian ulama menyatakan boleh dengan syarat;
- Tidak berlebihan sehingga memakan waktu yang panjang (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah). Fatwa tersebut merupakan upaya menanggapi beberapa imam masjid di Mamlakah yang menambahkan do’a qunut witir dalam waktu yang cukup panjang.
- Tidak dibaca seperti membaca al-Qur’an. Yaitu dengan menerapkan hukum-hukum tajwid seperti ghunnah, mad, dan yang selainnya. Juga bacaan do’a qunut tidak di taghniyah (diperindah) sebagaimana al-Qur’an. Disebutkan dalam hadits,
ليس منا من لم يتغن بالقرآن
“Bukanlah termasuk bagian kami, bagi siapa yang tidak memperindah bacaan al-Qur’an.” (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah & Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Sebagian yang lain menyatakan, do’a qunut witir tidak ditambah dari apa yang telah disebutkan dalam hadits.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan dan menjawab sebagian pihak yang menyatakan: “Kita sengaja menambah karena ini (yakni qunut witir) adalah waktu yang baik. Karena pada shalat taraweh banyak makmum yang mengaminkan.”
Beliau rahimahullah menjawab: ”Sungguh telah ada tata cara berdo’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barang siapa yang ingin berdo’a lebih banyak lagi, ada waktu-waktu mustajab (terkabulnya do’a). Seperti sepertiga malam terakhir, antara adzan dan iqomah, di waktu turunnya hujan, ketika safar, waktu sore hari jum’at dan seterusnya dari waktu-waktu dikabulkannya do’a.”
Pendapat yang kedua inilah yang dipilih oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah.