Coba Koreksi, Setinggi Apakah Derajat Tawakal Kita

Silhouette of Vintage Bike at the sunset

 

Oleh Mush’ab Klaten, Takhasus

 

Kata tawakal sudah tak asing lagi di telinga kita. Sebagai seorang mukmin, tentu kita tahu dan paham apa itu tawakal. Tawakal merupakan hal yang tidak boleh terpisahkan dari hidup seorang mukmin dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Baik dalam perkara agama atau perkara dunia, seorang hamba harus menyertakan tawakal pada perbuatannya tersebut.

Pembahasan tentang tawakal sudah banyak kita dapati. Baik yang dibahas secara panjang lebar dan terperinci atau yang ringkas. Namun ada beberapa hal yang menurut kami menarik untuk disorot tentang tawakal ini, yang mungkin tidak biasa diperhatikan kebanyakan orang.

Semoga dapat menjadi motivator dan juga koreksian bagi masing-masing kita yang mendambakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.

 

Apa Itu Tawakal

Tawakal adalah menyerahkan urusan kepada Allah, dengan bersandar kepada-Nya dan tetap menjalankan sebab-sebab yang diperbolehkan dalam syariat.

Demikianlah tawakal, menyerahkan urusan kepada Allah. Karena Dialah yang Maha Mampu atas segala sesuatu. Mudah, namun banyak manusia yang melupakannya.

 

Motivasi Tawakal

Manusia sangat beragam dalam hal motivasi yang mendorong mereka untuk bertawakal kepada Allah.

Di antara mereka ada yang bertawakal kepada Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya dan tunduk atas keputusan Allah, setelah ia merasa gagal dalam usaha meraih cita-citanya. Akhirnya dia merasa tidak ada jalan lagi selain bertawakal kepada Allah, dan menyerahkan keputusan kepada-Nya.

 

Di awal kali berbuat, mungkin dia lupa dengan tawakal ini, dan merasa yakin atas kemampuan dirinya. Dia hanya bersandar kepada kemampuannya, tidak kepada Allah. Tidak pula dibantu dengan doa yang sungguh-sungguh di hadapan Allah. Namun setelah gagal dan terjatuh, ketika semua jalan telah tertutup, ia akhirnya mengalah dan baru mengembalikan urusannya kepada Allah.

Sehingga yang mendasari tawakalnya adalah keterpaksaan dan tidak ada jalan lagi selain itu. Ini adalah tawakalnya orang-orang yang rendah keyakinan dan imannya kepada Allah. Bahkan inilah tawakalnya orang-orang musyrik Jahiliah dahulu. Allah berfirman:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Kemudian tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Al-Ankabut: 65)

 

Mereka menyerahkan urusan kepada Allah di saat-saat genting dan tidak menemukan cara lain selain menyerahkan urusan kepada Allah. Namun ketika urusan mereka selesai, barulah mereka berbuat syirik kembali.

Jenis manusia yang seperti ini tetap terhitung sebagai orang yang bertawakal, karena dia tetap menyerahkan urusan kepada Allah. Meskipun setelah merasa gagal dengan usahanya yang hampir membuat dia lupa kepada Allah yang Maha Mampu.

 

Yang Lebih Tinggi dari Itu

Jenis tawakal yang lebih tinggi nilainya di sisi Allah adalah, bertawakal kepada-Nya karena didasari kesadaran diri akan kebesaran Allah dan kemampuan-Nya atas segala sesuatu. Bukan karena terpaksa. Sehingga usahanya dalam meraih apa yang dia inginkan itu dibarengi dengan doa yang sungguh-sungguh dan amal saleh.

Maka dia bertawakal kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Berdoa memohon kepada-Nya, dan menempuh sebab-sebab yang mengantarkannya ke sana.

Karena sejak awal, dia sudah yakin, bahwa hanya Allahlah yang mampu mengabulkan keinginannya itu, bukan usaha yang dia tempuh untuknya. Pun usaha yang dia tempuh demi meraih cita-citanya itu, juga didasari oleh tawakal kepada Allah. Karena, tawakal tidak akan sempurna kecuali dengan usaha.

 

Tawakal Para Nabi dan Rasul dan Orang-Orang Saleh

Inilah tawakalnya para nabi dan rasul. Mereka selalu mengembalikan urusan kepada Allah saja. Tidak sombong dengan kemampuannya. Demikian juga orang-orang saleh.

Allah berfirman di dalam al-Qur’an tentang ucapan Nabi Hud ‘alaihis salam kepada kaumnya:

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا

“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.” (QS. Hud: 56)

 

Demikian pula ucapan Nabi Syu’aib:

إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Ada pula yang tawakalnya didasari hal-hal lain. Maka kedudukan tawakal di sisi Allah tentu berbeda-beda sesuai dengan motivasi pelakunya. Semakin tawakal seorang hamba didasari oleh keyakinan dan keimanan kepada Allah, maka semakin tinggi derajat tawakalnya.

Objek Tawakal

Perkara yang ditempuh dengan tawakal juga bermacam-macam. Masing-masing manusia berbeda-beda dalam hal ini.

Ada yang bertawakal kepada Allah dalam perkara agamanya. Dia memiliki tujuan atau cita-cita yang tinggi dalam perkara agamanya dan kebaikan akhiratnya. Sehingga dia bertawakal dan memohon kepada Allah agar ditolong untuk beramal saleh, meningkatkan ibadah kepada-Nya, dan lain sebagainya. Di samping itu, ia juga menempuh sebab-sebabnya, dengan bersungguh-sungguh dalam beramal ketaatan dan berusaha menjauhi maksiat.

Namun di antara manusia ada juga yang tawakalnya itu dalam perkara duniawi. Tujuan dan harapannya adalah perkara dunia, dalam rangka mencari harta, keluasan rezeki, dan lain-lain. Dia bertawakal kepada Allah dalam hal itu.

Merka semua ini adalah orang-orang yang bertawakal. Meskipun tingkat dan derajat mereka berbeda-beda.

 

Yang Tertinggi dan Terendah

Yang tertingginya adalah mereka yang bertawakal kepada Allah, semata-mata karena menjalankan syariat bertawakal, bukan karena terpaksa atau hal-hal lain. Dan tawakalnya itu dalam perkara akhirat. Lengkaplah, dia menggabungkan antara sebab tawakal yang termulia, dan objek tawakal yang paling mulia.

Apalagi kalau amalan yang dia kejar itu adalah amalan yang paling tinggi, yaitu mengenal Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Yang mana hal itu akan menambah keyakinan dan iman dia kepada Allah. Tentu tawakal dalam hal ini bernilai lebih di sisi Allah.

 

Adapun jenis yang paling rendah adalah yang bertawakal kepada Allah dalam perkara duniawi, dan tawakalnya itu dilandasi keterpaksaan, karena tidak ada jalan lain baginya selain tawakal.

Seluruh hamba, bertingkat-tingkat nilai tawakalnya di sisi Allah, sesuai dengan kuatnya keyakinan dia kepada Allah dan mulianya perkara yang dia harapkan. Serta seberapa sungguh-sungguh dia menjalankan tawakalnya. Berdoa, memohon kepada Allah, memelas di hadapan-Nya, dan tak lupa dibarengi dengan usaha keras untuk meraihnya.

 

Tawakal Tanpa Usaha

Tawakal tidak menghapus perintah untuk berusaha. Berusaha meraih apa yang ia harapkan. Karena, usaha merupakan bagian yang tak bisa terpisahkan dari tawakal. Dan tawakal tidak akan terwujud kecuali dengannya.

Setinggi dan semulia apapun harapan manusia kepada Allah, kalau tidak berusaha dan menjalankan sebabnya, ia tidak akan mencicipi buahnya sedikit pun.

Allah Maha Bijak. Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebabnya. Bukankah Allah menjanjikan surga hanya untuk orang-orang yang beramal saleh? Dan neraka bagi mereka yang membangkang? Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً ….. إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. …… Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 56)

 

Dan juga firman-Nya:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya,” (QS. An-Nisa: 57)

Kalau masuk surga yang menjadi cita-cita tertinggi seorang mukmin saja memiliki sebab yang harus ditempuh, yang kalau sebab itu diselisihi malah berakibat sebaliknya, maka demikian pula dalam perkara-perkara yang lain.

 

Penutup

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tawakal yang kerap kali dilalaikan kebanyakan manusia. Mari kita koreksi diri kita. Apakah kita termasuk orang-orang yang bertawakal kepada Allah, atau bukan. Apakah tawakal kita adalah tawakal yang benar dan berada di derajat yang tinggi atau malah sebaliknya.

Semoga bermanfaat.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.