Diam Nan Bijak

White empty tube of skincare bottle on bamboo plate with red hibiscus over tropical leaves background. Skincare spray tube on blue pool border.

 

Oleh Mush’ab Klaten, Takhasus

 

Suatu hari, Luqman al-Hakim menemui Nabi Allah Dawud alaihimas-salam yang sedang membuat baju besi. Itu merupakan keahlian beliau, membentuk besi. Bahkan diriwayatkan bahwa besi akan luluh di tangan Nabi Dawud. Beliau bisa membentuk-bentuknya sesuka hati. Di antaranya beliau bentuk menjadi baju besi.

Luqman al-Hakim tidak tahu apa yang sedang dibuat oleh Nabi Dawud. Ia tidak mengerti untuk apa besi itu di lengkung-lengkungkan. Mengapa besi-besi itu dibentuk dengan bentuk yang aneh. Beliau hendak bertanya, namun urung. Sikap hikmah (bijak) yang beliau miliki menahannya dari pertanyaan itu. Akhirnya beliau memilih untuk diam saja.

Diam dan menunggu, sambil terus memerhatikan Nabi Dawud yang larut dalam pekerjaannya. Ketika baju besi itu telah selesai dibuat, Nabi Dawud berdiri dan memakai (mencobanya) sembari mengatakan:

نِعْمَ الدِّرْعُ لِلْحَرْبِ

“Ini adalah baju perang terbaik”

 

Akhirnya Luqman al-Hakim mengetahui apa yang dibuat oleh Dawud alaihis-Salam itu. Kemudian beliau mengatakan:

الصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُه

“Diam itu bijak, namun teramat sedikit yang melakukannya.” (Disebutkan oleh as-Shan’ani dalam kitab Subulu as-Salam)

 

Diam Itu Baik

Secara umum, diam itu memang bijak. Melambangkan kedewasaan, ketenangan, dan sikap arif. Lebih dari itu, diam juga lebih selamat. Orang yang diam lebih selamat lisannya dari berbagai dosa akibat banyak bicara. Sebaliknya, orang yang banyak berbicara tentu akan lebih sering terjatuh ke dalam kesalahan akibat ucapannya itu.

Apalagi kalau yang dia bicarakan itu bukan hal yang bermanfaat. Di samping merupakan perkara yang sia-sia, juga akan menjadikan dirinya kurang berwibawa di hadapan manusia.

 

Banyak hadis-hadis yang menunjukkan bahwa diam itu selamat, dan lebih menjaga diri kita dari berbagai kesalahan. Dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa suatu hari beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang apa itu keselamatan. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab:

“Tahanlah lisanmu!” (HR. at-Tirmidzi)

Yakni tahan lisanmu dari perkara-perkara haram! Dari menggunjing, mencela, memaki, mengumbar aib, atau berbicara kotor, tahanlah! Jangan sampai ia liar menerabas itu semua! Jika demikian, niscaya engkau akan selamat.

 

Keselamatan Bagi yang Selamat Lisannya

Bahkan Nabi menjanjikan surga bagi barangsiapa yang bisa menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara haram. Karena lisan dan kemaluan kerap kali menjadi biang dari semua pelanggaran syari’at. Baik yang kecil sampai yang berakibat fatal.

Betapa banyak demonstrasi yang melibatkan ribuan masyarakat, memakan ratusan korban, dan tak sedikit yang terlukai, menyebabkan kerusakan di mana-mana, saling mencaci, mencela, dan mengumbar aib di depan massa, ketika dirunut dan dicari asal-muasalnya, tenyata gara-gara ulah mulut tak bertanggung jawab, yang ‘efektif’ menghasut banyak massa.

Atau melalui postingan-postingan di dunia maya yang beraroma provokasi, tanpa pikir panjang dari pemostingnya akan akibat beruntun setelahnya. Ini juga sama saja, termasuk dari perbuatan lisan. Walaupun berbeda wujudnya.

 

Akibat Fatal dari Dosa Lisan

Ada lagi akibat yang lebih fatal gara-gara lisan. Seperti yang diceritakan oleh Rasulullah, tentang dua saudara, salah satunya saleh dan saudaranya kerap berbuat maksiat. Si saleh terus menasihati saudaranya yang suka bermaksiat itu. Namun saudaranya terus mengelak dan tidak mau menerima nasihat.

Setelah sekian lama menasihati, ia kesal dan berkata kepada saudaranya, “Sungguh! Allah tidak akan mengampunimu!”

 

Sebuah ucapan yang ringan jika hanya sekedar mengucap tanpa melihat akibatnya. Hanya satu kalimat yang terdiri dari beberapa kata, namun berakibat sangat fatal. Karena berarti dia telah mendahului keputusan Allah Taala. Padahal Allah sama sekali tidak memberitahu kepadanya tentang keputusan-Nya dalam perkara ini.

Dia mengatakan bahwa Allah tidak akan mengampuninya. Padahal Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Sebesar apapun dosa manusia, kalau dia bertaubat dengan benar dan sungguh-sungguh. Allah pasti menerima taubatnya.

Benar, ternyata saudaranya yang pelaku maksiat itu bertaubat, hingga akhirnya Allah mengampuninya. Justru si saleh itu, akibat kalimatnya, Allah murka kepadanya. Akhirnya ia masuk neraka dan saudaranya masuk surga. Gara-gara lisan, ia celaka.

 

Gunakan Lisan untuk Kebaikan

Lisan yang berbahaya adalah lisan yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Namun jika lisan itu digunakan untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, maka akan menjadi ladang pahala yang subur bagi pemiliknya. Betapa banyak amal saleh yang dilakukan dengan lisan. Semisal zikir, doa, bersyukur dengan tahmid dan memuji Allah, melakukan amar makruf dan nahi mungkar, dan lain sebagainya. Semua ini akan mendatangkan pahala yang tidak kecil di sisi Allah.

 

Diam yang Tercela

Diam juga tak selamanya baik. Terkadang diam itu makruh, atau bahkan menjadi haram. Makruh ketika dia diam dari hal buruk yang dilihatnya. Ia mampu mencegah, tapi malu atau perasaan tidak enak menghalanginya untuk mencegahnya.

Dan menjadi haram ketika kemungkaran terjadi, sementara ia tahu bahwa itu berbuatan yang mungkar, dan yang melakukannya tidak tahu ilmunya, tapi dia tidak mau menjelaskan ilmunya hanya karena hawa nafsu, bukan karena tujuan lain. Maka diam yang seperti ini tidak membawa kebaikan.

Karena itu, tempatkan lisanmu pada tempatnya. Ketika bicara akan membahayakan agama dan duniamu, diam menjadi solusi satu-satunya. Namun ketika tiba saatnya untuk bersuara, teguhkan hatimu, jangan ragu, dan buka mulutmu! Katakan kebenaran walau manusia mencela! Ketika kamu takut, ingatlah akibat buruk dari diammu itu, lalu bandingkan.

 

Tergantung Niatnya

Orang yang sedang diam juga tak mesti sedang dalam amal saleh. Ada berbagai motif yang mendorong seorang untuk diam. Jika ia diam untuk bertafakur, menyelami ayat-ayat Allah, dan merenungi tanda-tanda kekuasaan-Nya, maka ini merupakan motif diam yang paling baik. Juga diam karena bijak dan berhati-hati dalam suatu masalah, ini juga diam yang baik.

Ada juga orang yang diam karena menahan sesuatu, menahan emosi dan jiwa yang sedang meledak-ledak. Ia tak bisa mengungkapkannya kecuali dengan diam dan membisu. Maka itu semua tergantung niat dan tujuannya. Kalau diamnya untuk hal yang baik, maka kebaikan yang akan ia dapat. Kalau untuk selainnya, maka amalan itu tergantung pada niatnya.

Wallahu a’lam.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.