I’tikaf Dibolehkan Hanya di Tiga Masjid?

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ta’ala. Alhamdulillah sekarang kita sampai pada penghujung bulan suci Ramadhan ini, semoga puasa yang kita lakukan di terima di sisi Allah ta’ala. Amin.

 

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini, ada sebuah ibadah yang dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa melakukannya. Benar, ibadah tersebut adalah I’tikaf, yaitu menetap di masjid pada waktu tertentu dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Akhir-akhir ini, amal ibadah yang agung dan mulia ini sering dilupakan dan dianggap sepele oleh banyak kaum muslimin.

 

Barangkali sebagian umat Islam yang tidak mau mengamalkan sunnah i’tikaf ini beralasan bahwa i’tikaf hanya boleh dilakukan di tiga masjid saja, yaitu, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Apakah alasan seperti itu bisa dibenarkan?

 

Fadhilatu Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang i’tikaf dan hukumnya. Beliaupun menjawab:

 

I’tikaf adalah menetapnya seseorang di suatu masjid untuk mentaati Allah ta’ala, menyendiri dari manusia, sibuk dengan ketaatan kepada Allah dan mencurahkan kesungguhan untuk hal tersebut. I’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, sama saja apakah masjid itu ditegakkan padanya shalat Jumat atau tidak. Akan tetapi yang lebih utama i’tikaf dilakukan di masjid yang ditegakan padanya shalat jum’at, sehingga tidak terpaksa keluar untuk shalat Jum’at.

 

Akan tetapi, i’tikaf yang dilakukan di salah satu dari tiga masjid ini (Masjid AlHaram, Masjid AnNabawi dan Masjid AlAqsha) adalah yang paling utama karena ketiga masjid tersebut memiliki keutamaan yang tidak dimilki oleh masjid lain. Wallahu a’lam.

 

Dalam kesempatan yang lain, beliau juga ditanya,”Apakah i’tikaf itu bermacam-macam?”

 

Beliau menjawab,”I’tikaf tidak terbagi kecuali satu saja. I’tikaf adalah sebagaimana yang telah kita lewati pembahasannya, yaitu menetapnya seseorang di suatu masjid dalam rangka mentaati Allah ta’ala. Namun, i’tikaf boleh dilakukan dalam keadaan berpuasa dan boleh juga dalam keadaan tidak berpuasa. Para ulama’ telah berbeda pendapat apakah i’tikaf itu sah jika tanpa dibarengi puasa, atau tidak sah kecuali dengan puasa.

I’tikaf disyariatkan ketika masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beri’tikaf pada hari-hari tersebut dalam rangka mengharap malam lailatul qadar. Dan beliau tidak pernah beri’tikaf pada selain waktu tersebut kecuali pada suatu tahun yang mana beliau tidak beri’tikaf pada bulan Ramadhan, maka beliau pun menggantinya di bulan Syawwal.”

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.