Jangan bersedih akhi!
Oleh Javar Malang Takhasus 2A
Saudara pembaca yang berbahagia…
Sudah menjadi ketetapan Allah Ta’ala bahwa keadaan manusia tidak keluar dari dua hal, antara kebahagiaan dan kesedihan. Sebagaimana dia pernah mendapatkan hal-hal yang disenangi dan membuat bahagia, maka diapun akan menjumpai hal-hal yang menyayat hati dan membuat bersedih.
Pada artikel kali ini kita akan membahas bagaimana sikap seorang muslim tatkala mendapati hal-hal yang tidak disukai. Apakah diperbolehkan bersedih? Simak jawabannya di sini!
Kesedihan seluruhnya bersifat negatif
Kata “الحزن” (kesedihan) di dalam al-Qur’an disebutkan dengan dua konteks yang seluruhnya bersifat negatif. Salah satunya adalah konteks peniadaan dan yang lainnya adalah pelarangan, sebagaimana perkataan Allah:
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati.” (QS. Ali Imran: 139)
Di dalam ayat lainnya Allah juga berkata:
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka.” (QS. An-Nahl: 137)
Allah juga meniadakan kesedihan tersebut dari orang-orang yang beriman, sebagaimana di dalam ayat-Nya:
فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku), niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-An’am: 48)
Bahkan diantara perkara-perkara kejelekan yang Rasulullah berlindung darinya adalah kesedihan. Beliau sering berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.” (HR. Al Bukhari no. 2893)
Islam sebagai agama yang penuh rahmat melarang pemeluknya dari hal-hal yang dapat membuat sedih orang lain. Oleh karenanya Islam melarang seseorang berbisik-bisik dengan temannya tanpa meminta keridhaan yang lainnya, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih. Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يُحْزِنَهُ
“Jika kalian berjumlah tiga orang, jangan salah seorang berbisik dengan temannya tanpa yang lainnya, hingga kalian berbaur dengan manusia. karena hal tersebut dapat membuatnya bersedih.” (HR. Muslim no. 2184)
Adapun apabila seseorang bersedih lantaran terhalangi atau terluput dari suatu kebaikan, maka bukan kesedihannya yang terpuji. Namun dorongan yang membuat mereka bersedih itulah yang Allah ta’ala puji berupa keimanan dan kesungguhannya untuk meraih kebaikan. Sebagaimana di dalam ayat-Nya Allah berfirman:
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَنْ لَا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan[1].” (QS. At-Taubah: 92)[2]
Kesedihan merupakan musibah
Saudara pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala…
Kesedihan bukanlah hal yang diminta tidak pula sebagai tujuan hidup. Kesedihan tidaklah mengandung faedah sedikitpun. Ia tidak memiliki efek positif sedikitpun bagi hati. Bahkan kesedihan adalah perkara yang paling disenangi oleh syaithan untuk menghambat perjalanan seorang hamba kepada Allah.
Kesedihan juga melemahkan hati dan tekad. Orang yang terus menerus dalam kesedihan akan terputus perjalanannya menuju Allah Ta’ala. Hal itu disebabkan karena ia selalu terjebak dalam baying-bayang masa lalu dan kecemasan akan masa mendatang.
Kesedihan merupakan musibah yang dengannya Allah menguji hamba-hamba-Nya. Tidak seorang muslim tertimpa kesedihan lalu ia bersabar niscaya Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dan mengangkat derajatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa kepayahan, sakit yang terus menerus, kecemasan, kesedihan, serta kesusahan, sampaipun duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya denganhal tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 5641)
Orang muslim itu kuat
Saudara pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala…
Seorang muslim itu bukanlah seorang yang lemah, melainkan seorang yang kuat keimanan dan tawakkalnya. Ia menyerahkan segala perkaranya kepada Allah Ta’ala, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Sehingga tidak ada yang ia khawatirkan mengenai nasibnya.
Seorang muslim juga seorang kokoh hatinya. Bila ia tertimpa suatu musibah maka ia tidak berlarut-larut pada kesedihannya. Ia tidak terjebak dalam kesedihannya, namun segera bangkit dan meminta pertolongan kepada Allah untuk bersabar diatas musibah yang menimpanya.
Seorang muslim adalah seorang yang kuat tekadnya. Ia selalu bersemangat dalam beramal dan tidak mempengaruhinya lika liku yang menghambat perjalanannya menuju Allah. Ia berusaha menggapai kebaikan seoptimal mungkin. Ia juga berusaha menghindari hal-hal yang dapat membuatnya bersedih di kemudian hari.
Jangan bersedih wahai saudaraku
Saudara pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala…
Seluruh apa yang terjadi di muka bumi ini telah di takdirkan oleh Allah Ta’ala. Segala sesuatu yang ditakdirkan menimpa kita pasti akan mengenai kita, dan sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpa kita tidak akan pernah mengenai kita.
Bila kita meyakini hal itu, maka kita telah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Dimana hal tersebut berkonsekuensi kecintaanmu kepada-Nya. Sebuah kecintaan yang akan menghilangkan kesedihan kita, menghadirkan kesenangan dan kegembiraan bagi hati kita. Bagaimana tidak, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan menolong dan menjaga kita. Sebagaimana di dalam ayat-Nya:
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah: 40)
[1] Maksudnya: mereka bersedih hati karena tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang.
[2] Disadur dari kitab Madarijus salikin 1/102 dengan sedikit perubahan.