JANGAN BERSIKAP EKSTRIM DAN BERLEBIHAN DALAM AGAMA!
Allah berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (185)
“Allah menginginkan kemudahan dan tidak mengingkan kesulitan dari kalian.” (QS. al-Baqarah: 185)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa hadis Nabi berikut ini.
Dari Jabir bin Abdullah, Nabi bersabda,
عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ.
“Wajib bagi kalian untuk mengerjakan keringanan Allah yang diberikan untuk kalian!” (HR. Muslim. Lihat ash-Shahihah no. 2144)
Dari Abdullah bin Umar, Nabi bersabda,
إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ.
“Sesungguhnya agama Allah itu mudah, hanifiyyah (menghadap Allah dan berpaling dari selain-Nya) serta penuh kemurahan.” (Lihat ash-Shahihah no. 2118)
Dari Abu Umamah, beliau kembali bersabda,
إِنِّيْ لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُوْدِيِّةِ وَلَا بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّيْ بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيِّةِ السَّمْحَةِ.
“Sesungguhnya aku tidak diutus untuk membawa ajaran Yahudi maupun Nashrani. Akan tetapi aku diutus dengan membawa ajaran hanifiyyah (menghadap Allah dan berpaling dari selain-Nya) serta penuh kemurahan.” (HR. Ahmad. Lihat ash-Shahihah no. 2924)
Dari Aisyah, Nabi juga bersabda,
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا.
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dalam dua hal, melainkan beliau memilih yang termudah dari keduanya, selama bukan perkara dosa.” (Lihat Shahih al-Adabul Mufrad no. 274/208)
Dari Abdullah bin Umar, Nabi bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَّتُهُ.
“Sesungguhnya Allah suka bila keringanannya dikerjakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan-Nya dikerjakan.” (HR. Ahmad. Lihat al-Irwa’ 564)
WASPADA SIKAP DARI BERLEBIHAN
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ». قَالَهَا ثَلَاثًا.
“Celaka orang-orang yang melampaui batas (tiga kali).” (HR. Muslim)
Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam kitab Shahih-nya,
بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ التَّعَمُّقِ وَالتَّنَازُعِ.
“Tidak disukainya bersikap memberat-beratkan diri dan berselisih (berdebat ketika berbeda pendapat).”
Dalam bab tersebut al-Bukhari rahimahullah menyebutkan ucapan Aisyah, “Rasulullah melakukan sesuatu yang di dalamnya mengandung pelaksanaan sebuah keringanan dari Allah. Hanya saja, orang-orang merasa aneh dengannya (meremehkan dan tidak suka terhadapnya).” Sikap sebagian orang ini sampai kepada Rasulullah. Maka beliau mencela orang-orang tersebut,
«مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُونَ عَنِ الشَّيْءِ أَصْنَعُهُ، فَوَاللَّهِ إِنِّي أَعْلَمُهُمْ بِاللَّهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً»
“Kenapa orang-orang itu merasa aneh dan tidak suka terhadap perbuatan yang aku lakukan. Demi Allah, sesungguhnya aku ini lebih berilmu dan lebih takut kepada Allah dibandingkan mereka.” (HR. al-Bukhari)
Dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
وَالْمُرَادُ مِنْهُ هُنَا أَنَّ الْخَيْرَ فِي الِاتِّبَاعِ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الْعَزِيمَةِ أَوِ الرُّخْصَةِ وَأَنَّ اسْتِعْمَالَ الرُّخْصَةِ بِقَصْدِ الِاتِّبَاعِ فِي الْمَحَلِّ الَّذِي وَرَدَتْ أَوْلَى مِنَ اسْتِعْمَالِ الْعَزِيمَةِ بَلْ رُبَّمَا كَانَ اسْتِعْمَالُ الْعَزِيمَةِ حِينَئِذٍ مَرْجُوحًا كَمَا فِي إِتْمَامِ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ وَرُبَّمَا كَانَ مَذْمُومًا إِذَا كَانَ رَغْبَةً عَنِ السُّنَّةِ كَتَرْكِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ
“Maksud dari hadis di atas adalah bahwa kebaikan itu berada pada sikap ittiba’ (mengikuti bimbingan Rasulullah), baik ketika mengambil azimah (melaksanakan amalan tanpa mengambil rukhsah) maupun mengambil rukhsah (keringanan atau kelonggaran). Mengambil rukhsah dengan tujuan ittiba’ pada tempatnya rukhsah lebih utama dibandingkan mengambil azimah. Terkadang, pada kondisi tersebut, hukum mengambil azimah adalah marjuh (lemah), seperti menyempurnakan shalat (tidak meng-qashar) ketika safar. Bahkan, mengambil azimah menjadi tercela manakala didasari kebencian terhadap sunnah, seperti meninggalkan amalan mengusap dua khuf.” (Lihat Fathul Bari 13/279)
Mari renungi bimbingan Allah dan rasul-Nya di atas. Seorang muslim hendaknya segera menyambut bimbingan tersebut. Sebab, tidak ada pilihan bagi seorang muslim kecuali mengucapkan sami’naa wa atha’naa. Janganlah kita terbawa perasaan. Jangan pula kita dipermainkan oleh bisikan setan. Wallahu a’lam.