Kesempatan Thalabul Ilmi di Masa Pandemi
Oleh Khalid Banjarnegara Takmili 2C
Hari sebagaimana biasanya, pada jam pelajaran, para mudarrisin masuk mengisi pelajaran di berbagai kelas dan jenjang pendidikan. Kesibukan santri di pagi hari memang terlihat khas dan menarik.
Ini adalah sebuah kenikmatan yang sangat mahal harganya. Sibuk dan disibukkan dengan thalabul ilmi, ibadah dan taawun. Alhamdulillah, ana pribadi sangat bersyukur kepada Allah. Sebuah kenikmatan yang tidak dirasakan oleh semua orang. Terkhusus oleh mereka yang tidak di lingkungan pesantren, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini.
Saat ini ana baru menyadari betapa mahalnya nikmat diberi kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk terus berthalabul ilmi, begitu pula nilai perjuangan, pengorbanan dan semangat yang Allah karuniakan kepada kita. Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk tidak menyia-nyiakan nikmat-nikmat tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai darinya (yaitu) nikmat sehat dan waktu luang (kesempatan).” (HR. al-Bukhari no. 6412)
Syaikh Ibnu al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits di atas, “Allahu Akbar, telah benar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh dua nikmat tersebut benar-benar banyak manusia yang telah tertipu olehnya.”
Beliau melanjutkan, “Dan demikian pula waktu luang (kesempatan). Maka engkau melihat seorang manusia berdiam diri tidak ada yang menjadi kesibukannya dan rizkinya datang di ambang pintu rumahnya (amat dekat dan mudah) tidak perlu dia mencarinya. Kemudian datang waktunya dia harus sibuk untuk mencari rizki, saat itulah dia sadar bahwa dia telah terlalaikan pada hari-hari yang telah berlalu darinya.” (Syarah Shahih al-Bukhari hal. 283 & 284)
Maka seyogyanya kita para santri bersyukur kepada Allah Ta’ala yang masih menguatkan kita dalam amalan thalabul ilmi. Hendaknya terus bersemangat dan berjuang dalam menjalani hari-hari pandemi dengan thalabul ilmi. Meskipun beberapa saudara kita mundur dari kancah ini.
Namun, terkadang keistiqamahan seseorang diuji. Ada saja yang berguguran dari jalur thalabul ilmi. Ya, apabila kita cermati kondisi mereka bagaikan buah mangga yang jatuh satu per satu kala ditiup oleh angin yang menerpanya. Akan tetapi, walhamdulillah Allah Ta’ala masih menguatkan kita untuk mengamalkan ucapan-Nya yang kita baca di setiap hari Jumat,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang beribadah kepada Rabb mereka di pagi dan senja hari karena mengharapkan wajah-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Kesabaran yang disebutkan dalam ayat di atas merupakan tingkatan tertinggi dari kesabaran, yaitu bersabar dalam melaksanakan ketaatan. Maka apabila tingkat kesabaran tersebut sempurna, sempurnalah tingkatan-tingkatan yang lainnya. Pepatah Arab mengatakan,
الصبر كالصبر مر مذاقته ولكن عواقبه أحلى من العسل
“Kesabaran itu seperti namanya (buah shibr), pahit rasanya akan tetapi kesudahannya lebih manis dari madu.” Karena itu bersabarlah wahai saudaraku!
Mungkin kita merasakan adanya suatu kerinduan pada diri kita, namun tidak sepantasnya hal itu menghentikan langkah kita. Karena kita bukanlah orang pertama yang berusaha bersabar atas keadaan yang menimpa. Telah berlalu orang-orang besar yang ujian mereka lebih berat dari kita, namun mereka bersabar atas itu semua. Allah Ta’ala berkata,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelummu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Kapan datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Ayat di atas sudah seharusnya menjadi lecutan untuk kita, agar kita terus berusaha untuk bersabar dan meneladani kesabaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya.
“Mengapa semangatku mudah turun dan anjlok?” pernahkah pertanyaan ini muncul di benak kita? Atau mungkin saja tidak terpikirkan pertanyaan itu atau bisa jadi yang terpikir di benaknya lebih baik daripada itu.
Ya, tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dalam kalbu manusia. Allah Ta’ala menciptakan kalbu sering dan amat mudah berbolak balik. Hari ini dia bersemangat, tiba-tiba keesokan harinya semangatnya turun atau sebaliknya. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbingkan kepada kita untuk berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ[1]، يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي عَلَى طَاعَتِكَ[2]
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamu. Wahai Dzat yang mengubah-ubah (keadaan) hati, tetapkanlah hatiku di atas ketaatan kepada-Mu.”
Kehidupan santri merupakan kehidupan yang penuh warna. Di mana seorang santri dituntut untuk mengatur waktu, uang, bahkan jiwa dan hatinya. Di salah satu sudut ruang kehidupan santri Ma’had Minhajul Atsar Jember terdapat sebuah kegiatan di antara kegiatan-kegiatan santri, yang mungkin saja kita bisa mengambil faedah dan pelajaran darinya.
Asrama atau dalam bahasa Arab disebut dengan “sakan” merupakan salah satu komponen penting dalam lingkungan ma’had. Dalam satu asrama, jumlah santri yang tinggal di dalamnya bervariasi, tergantung ukuran dan kapasitas asrama itu sendiri. Ma’had Minhajul Atsar memiliki asrama yang cukup banyak, di samping menjadi tempat tinggal dan beristirahat, asrama terkadang juga menjadi tempat untuk belajar santri.
Dari asrama-asrama tersebut terdapat sebuah asrama yang berukuran kecil. Oleh sebab itu, santri yang tinggal di asrama itu pun berasal dari kelas yang jumlah santrinya paling sedikit dibandingkan kelas-kelas lainnya. Anggota dari kelas tersebut hanya berjumlah kurang dari 15 orang.
Siang itu, susana asrama tersebut terlihat lebih riuh dari biasanya. Selepas jam pelajaran terakhir, seorang santri tampak sibuk di dalam asrama. Bersama beberapa temannya, ia dengan tekun memarut beberapa buah timun dari menu makan siang yang tersisa.
Beberapa saat kemudian, setelah ia selesai dari kegiatan tersebut, ia menyerahkan sejumlah uang kepada salah satu temannya sambil berpesan, “Akhi…tolong belikan es batu dua bungkus, ini uangnya.” Lalu dia pun menunggu sambil bercengkrama bersama yang lain.
Setelah menunggu beberapa saat, muncullah teman yang membeli es batu. Segera saja santri tadi bertanya, “Ada es batunya?” dengan wajah tertunduk, tean yang membeli es batu itu menjawab, “Aminya lagi pergi, kunci freezernya juga dibawa.” Akhirnya kegiatan “Membuat Es Timun” siang itu pun gagal, karena tidak adanya es batu. Dimana es batu merupakan bagian terpenting dalam pembuatan es mentimun.
Keesokan harinya, di waktu yang sama, santri-santri yang tinggal di asrama kecil itu kembali berkumpul. Mereka menunggu kedatangan salah satu teman mereka yang sedang pergi membeli es batu. Tak lupa beberapa bungkus keripik terhidang di tengah-tengah majelis itu. Tak lama kemudian sosok yang mereka tunggu pun datang juga. Dengan wajah yang berseri-seri dia datang dengan sekantong kresek berisikan es batu.
Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka, setelah mereka menyadari bahwa tempat air minum yang ada di asrama telah kosong. Padahal, siang itu depot air minum yang memasok ketersediaan air minum di pondok sedang tidak beroperasi. Seketika itu kebingungan mulai dirasakan oleh mereka. Masing-masing memutar otaknya, bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan air minum.
Kemudian tiba-tiba ada seorang santri datang membawa air minum. Sontak saja teman-temannya pun begitu senang dan gembira. Setelah melalui beberapa masalah, akhirnya pembuatan es mentimun pun berhasil juga. Walhamdulillahi wahdah.
Hal ini merupakan sunnatullah (ketetapan dari Allah Ta’ala) yang ada pada kehidupan seorang hamba. Setiap orang pernah saja dihadang masalah. Allah Ta’ala mengatakan berkaitan dengan para sahabat yang mengikuti perang Uhud,
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (140)
“Jika kalian (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar Allah menjadikan sebagian kalian (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 140)
Kemudian di antara hikmah yang bisa kita petik dari kisah tadi, bahwa sekeras apapun usaha kita untuk menggapai tujuan, apabila Allah belum berkehendak maka tidak akan mungkin untuk kita gapai tujuan itu. Meskipun seluruh manusia membantu dan menolong kita. Maka wajib bagi kita untuk bersabar dalam setiap usaha yang menuju kepada kebajikan, sampai Allah turunkan pertolongan-Nya untuk kita.
Wahai saudara kami sesama santri, bersabarlah dan jagalah ukhuwwah (tali hubungan persaudaraan). Teruslah saling menasihati dan menyemangati hingga Allah turunkan pertolongan-Nya dan mengangkat wabah ini dari kita.
Karena nikmat persaudaraan dan kebersamaan itu merupakan nikmat yang sangat berharga. Ketika sebagian dari kami telah pulang, kemudian ada salah satu teman berkata:
“Terasa ya …..?” Ya, susana asrama terasa sedikit berbeda. Begitulah, betapa mahalnya nikmat ukhuwah dan kebersamaan. Baru kami rasakan ketika nikmat itu berkurang atau hilang.
Mari kita berharap kepada Allah Ta’ala agar menurunkan pertolongan-Nya untuk kaum muslimin di Indonesia secara umum dan salafiyyun secara khusus, sehingga dapat terus berjuang dan bersabar dalam menghadapi wabah yang melanda ini.
Semoga Allah Ta’ala menguatkan kita semua, khususnya para thalabatul ‘ilmi sehingga terus melanjutkan amalan shalih hingga akhir hayat. Aamiin Yaa Mujiibas Saailiin….
[1] (HR. at-Tirmidzi no. 2140, HR. Ibnu Majah no. 3834)
[2] (HR. Muslim no. 2654)
Baarokallohu fiikum
wa fiikum baarakallah