Lebih Baik dari Emas dan Perak
Oleh Abu Hudzaifah Muhammad Jambi
Sudah tidak jarang lagi kita melihat kejadian yang sangat memprihatinkan pada saat ini. Ujian/fitnah yang menimpa agama dan keimanan seorang mukmin. Kejadian yang sudah diperingatkan Nabi kita yang sangat kita cintai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian beramal, sebelum datang ujian seperti potongan malam yang gelap, ketika itu seseorang di pagi hari beriman, namun di sore harinya dia kafir, atau di sore hari dia beriman, ketika pagi hari dia telah kafir; dia menjual agamanya dengan harta dunia yang sedikit.” (HR. Muslim dalam shahihnya no. 118, dari abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ujian iman merupakan ujian yang sangat berat di zaman ini kecuali bagi orang-orang yang Allah beri taufik, karena banyaknya manusia menjauh dari ilmu agama atau melupakan batasan-batasan syariat yang telah dia ketahui. Lalu mengorbankan agama, manhaj dan keistiqamahan hanya karena kesenangan duniawi yang sesaat seperti harta, keluarga, kedudukan, dsb.
Istiqamah dan Zuhud Lebih Baik dari Emas dan Perak
Padahal betapapun indahnya kesenangan dunia, tetaplah kesenangan dunia adalah hal yang fana dan akhiratlah yang pasti dan abadi. Maka sangat ironis jika kita mengorbankan kehidupan akhirat untuk kesenangan dunia yang sebentar dan fana ini. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga keistiqomahan kita dan menjaga diri dengan zuhud terhadap perkara dunia.
Hendaklah kita kembali mengambil contoh dan mengikuti contoh dari para salafush shalih dalam berhadapan dengan perkara dunia yang telah sukses dalam perjuangan tersebut hingga akhir hayat mereka radhiyallahu ‘anhum.
Betapa indahnya nasihat dari seorang yang telah Allah Ta’ala utus kepada umat ini untuk memberikan petunjuk yang jelas dan pasti kebenarannya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada salah seorang sahabat beliau, Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu:
يا شداد بن أوسٍ! إذا رأيت الناس قد اكتنزوا الذهب والفضة، فأكثر هؤلاء الكلمات
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الأَمْرِ، وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ , وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا , وَلِسَانًا صَادِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Wahai Syaddad bin Aus, jika engkau melihat manusia telah menyimpan emas dan perak, perbanyaklah mengucapkan kalimat-kalimat ini:
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu kekokohan di atas perkara agama, istiqamah di atas jalan yang haq, dan aku memohon sebab-sebab mendapatkan rahmat-Mu dan sifat-sifat yang menguatkan untuk mendapatkan ampunan-Mu dan bersyukur atas nikmat-Mu, aku memohon kebagusan dalam ibadahku kepada-Mu, hati yang selamat, dan lisan yang jujur. Aku memohon kebaikan yang Engkau ketahui.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang Engkau ketahui. Aku memohon ampun kepada-Mu dari yang Engkau ketahui. Sesungguhnya, Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.” (Silsilah Hadits Shahih: 7/695)
Zuhud Adalah Sebab Datangnya Kecintaan Kepada Kita
Tidak ada gunanya kesenangan duniawi berupa harta, istri dan anak-anak serta kedudukan jika hati hampa dan kosong dari ketenangan. Sedangkan ketenangan yang hakiki tidaklah bisa didapat melainkan pemberian dari Allah semata. Ketenangan yang hakiki ini diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang Allah cintai.
Sikap zuhud adalah suatu hal yang bisa membuat hati menjadi tenang karena dengannya hati tidak tersibukkan dengan fantasi duniawi. Begitu juga zuhud terhadap apa yang ada pada orang lain dapat menghindarkan ketidaknyamanan orang lain terhadap kita sehingga dapat mencegah adanya penghalang bagi mereka untuk mencintai kita. Kecintaan Allah dan kecintaan manusia karena sikap zuhud ini merupakan sebab ketenangan hakiki di dalam hati. Ketenangan inilah yang merupakan kebahagiaan dunia yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan akhirat.
عَنْ أَبي العَباس سَهلٍ بنِ سَعدِ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: أتى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ، وَأَحبَّنِيَ النَاسُ؟ فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: (ازْهَدْ فِي الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازْهَدْ فيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَغَيْرُهَ بِأَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ
Dari Abul Abbas Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Seseorang telah datang kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah Ta’ala dan manusia mencintaiku maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintaimu dan bersikaplah zuhud engkau terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.”
(HR. Ibnu Majah (4102), Ath Thabrani dalam al Kabir (5972), Abu Nu’aim dalam al Hilyah (3/253) dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (7/344), hadits Hasan).
Seorang pe-Zuhud Sejati
Berkata al-Hasan al-Bashri rahimahullah: Orang yang zuhud adalah orang yang apabila dia melihat orang lain, dia berkata, “Dia lebih utama dari diriku.”
Dan hal ini kembali kepada pengertian seorang yang zuhud secara hakiki. Zuhud secara hakiki adalah orang yang zuhud terhadap pujian kepada dirinya dan pengagungan dirinya, oleh karena itu:
“Zuhud dalam kepemimpinan lebih berat dari zuhud dari emas dan perak,”
Jika seseorang mampu zuhud hingga pada tingkatan ini, maka inilah seorang pe-zuhud sejati, dan inilah yang dia telah menilai sederajat antara yang memujinya dengan yang mencelanya dalam kebenaran. (Lihat juga Jami’ al-Ulum wal Hikam (2/183))
Apa perbedaan antara Wara’ dan Zuhud?
Seorang ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang terkenal dengan kefaqihannya dalam ilmu, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
Zuhud lebih tinggi dari wara’. Bedanya adalah wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang bermudharat (terhadap akhiratnya), sedangkan zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat (untuk akhiratnya).
Kesimpulannya, segala urusan terbagi menjadi tiga:
Sesuatu yang memudaratkan kepentingan akhirat.
Sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan akhirat.
Tidak bermudarat, tetapi juga tidak bermanfaat.
Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang mendatangkan mudharat terhadap kepentingan akhirat, yakni meninggalkan perkara haram.
Adapun zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Perkara yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat, ia tinggalkan. Sebaliknya, perkara yang bermanfaat untuk kepentingan akhirat, ia kerjakan. Tentu saja, perkara yang haram, lebih-lebih lagi, pasti ditinggalkan.
Oleh karena itu, zuhud lebih tinggi dari wara’. Setiap orang zuhud, pastilah dia wara’. Namun, tidak setiap orang yang wara’ dia orang yang zuhud. Syarah Riyadhush Shalihin (3/359)