MENGGAPAI IMPIAN MULIA
Pembaca yang mulia, keselarasan hidup, keseimbangan sosial, dan kenyamanan hubungan antara rakyat dan pemerintahnya merupakan impian semua pihak. Tak hanya kita yang hidup di Indonesia, negeri-negeri lainpun demikian adanya. Untuk menggapai impian mulia itu Allah dan Rasul-Nya telah memberikan petunjuk-petunjuk baik di dalam Al-Qur’an dan di dalam hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Petunjuk-petunjuk tersebut berkisar pada dua prinsip penting:
1. Hendaknya rakyat memposisikan pemerintahnya sebagai pemimpin yang didengar dan ditaati.
2. Hendaknya pemerintah memperhatikan hak-hak rakyat dan mempersembahkan yang terbaik untuk mereka.
Di dalam Al Qur’an, Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan tentang kewajiban menaati waliyul amr (pemerintah). Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemerintah) di antara kamu.” (An Nisaa’: 59)
Kewajiban taat kepada pemerintah ini sebatas dalam hal yang ma’ruf. Bila pemerintah memerintahkan kepada hal yang mungkar, maka tidak perlu menaatinya dengan tetap tidak memisahkan diri dari kepemimpinannya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فيِ مَعْصِيَةِ الخاَلِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada (seorang) makhluk pun dalam bermaksiat kepada Sang Khalik (Allah subhanahu wata’ala).” (Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no.7520)
Lalu bagaimanakah bila pemerintah (penguasa) tersebut seorang yang zhalim, perampas hak rakyat, dan tidak berlaku adil ? Apakah masih berhak ditaati, ataukah diberontak dan diperangi?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyampai dan sekaligus penjelas wahyu-Nya, telah menyampaikan dan menjelaskan jalan terbaik yang dapat membuahkan mashlahat (kebaikan) yang besar bagi rakyat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada penguasa yang bertaqwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu… (disebutkan kejelekan-kejelekan mereka), maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاتَّقُوْا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا
“Bertaqwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!” (Hasan Lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah dan lain-lain. Lihat Al Wardul Maqthuf, hal.32)
Sikap taat dan mendengar kepada sang penguasa walaupun dalam kondisi serba susah dan sulit merupakan sikap yang dibimbingkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Jika dia merampas hak kita, maka kewajiban kita adalah bersabar dan meminta kepada Allah hak kita yang telah dirampas itu.
Junadah bin Abu Umayyah radhiallahu anhu, berkata: “Kami berkunjung ke rumah Shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau dalam keadaan sakit, lalu kami berkata kepadanya: “Sampaikanlah hadits kepada kami –ashlahakallah (semoga Allah memperbaiki amalanmu, pen)– yang engkau dengar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dengannya (dengan hadits tersebut –red) Allah akan memberikan manfaat bagi kami!” Maka ia pun berkata:
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاه فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَلاَّ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil kami untuk berbai’at. Dan di antara bai’atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan ta’at (kepada pemimpin) ketika kami suka maupun duka, berat maupun ringan, ataupun ketika diperlakukan secara tidak adil. Dan agar kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak, (beliau berkata): Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, dengan lafadz Muslim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّـهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُونَـهَا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَأمُرُنَا؟
“Akan muncul setelahku atsarah (penguasa yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak rakyatnya –red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” (Para shahabat –red) bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تُؤَدُّوْنَ الَْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لاَيَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ (قاَلَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَارَسُولَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
“Akan datang setelahku para penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak berpegang dengan sunnahku dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang berhati syaithan dan berjasad manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui hal itu?” Beliau menjawab: “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)
Menurut Al Imam An Nawawi rahimahullah: “Kesimpulannya adalah adanya tuntunan untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa dan tidaklah gugur ketaatan (kepada mereka) disebabkan kezhaliman mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah: “Wajib berpegang dengan jama’ah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari)
Ketaatan itupun tetap berlaku manakala sang penguasa itu cacat atau berasal dari bangsa budak. Shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْـمَعَ وَأُطِيْعَ, وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ اْلأَ طْرَافِ
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku (Rasulullah) agar aku mendengar dan taat (kepada penguasa), walaupun ia seorang budak yang terpotong hidungnya (cacat)” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, hal. 54)
Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengancam, barangsiapa memisahkan diri dari jama’ah dan memberontak kepada penguasanya, maka matinya adalah mati jahiliyyah. Yaitu mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah. Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ, فَمِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kenapa harus sabar dan mengalah, bukankah penguasa itu telah berbuat zhalim dan maksiat?
Jawabannya adalah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim itu sebagian teman (wali, pemimpin –pent) atas sebagian yang lainnya disebabkan apa yang mereka usahakan sendiri.” (Al An’am: 192)
Al Hasan Al Bashri mengatakan: “Ketahuilah –semoga Allah memberimu ‘afiah– bahwa kezhaliman para penguasa merupakan adzab dari Allah, dan adzab Allah tidak dihadapi dengan pedang akan tetapi dihadapi dengan do’a, taubat, kembali kepada Allah dan mencabut segala dosa. Sungguh adzab Allah jika dihadapi dengan pedang maka ia akan lebih bisa memotong (mudharatnya lebih besar daripada maslahatnya -pent).” (Asy Syari’ah karya Al-Imam Al Ajurri, hal. 38)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya berkata: “Demikianlah Kami (Allah) berbuat terhadap orang-orang zhalim yaitu dengan Kami jadikan sebagian orang zhalim sebagai pemimpin atas sebagian yang lainnya.” (Al Misbahhul Munir)
Inilah hakekat yang sangat perlu direnungkan. Bahwa munculnya penguasa yang zhalim itu disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan rakyatnya sendiri, karena penguasa itu berasal dari rakyat juga. Sikap mencaci maki, merendahkan dan bahkan mengafirkan penguasa akan semakin menambah kezhaliman penguasa tersebut yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang bersalah, namun juga akan menimpa kepada orang-orang yang tidak bersalah. Akibatnya, sikap seperti ini akan menimbulkan mudharat (kejelekan) yang lebih besar dibanding mashlahat (kebaikan) yang diperoleh, tentunya hal ini merupakan perkara yang dilarang dalam agama.
Perlu diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang zhalim bukan merupakan suatu hal yang baru. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan akan muncul penguasa-penguasa zhalim setelah sepeninggalnya. Dalam sejarah Islam tercatat sejak para shahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai Al Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian shahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekedar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan, bahwa ia mengatakan: “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)
Meski demikian keadaannya, para ulama dan (termasuk) para shahabat yang masih hidup pada masa itu tidak mencabut kepemimpinannya (memberontak).
Demikian pula teladan mulia dari Al Imam Ahmad rahimahullah, ketika beliau dipenjara dan disiksa oleh penguasa yang zhalim, beliau tetap memerintahkan kaum muslimin agar mendengar dan taat serta tidak memberontak kepada penguasa tersebut. Beliau berkata: “Hendaknya kalian mengingkari kemungkaran tersebut dengan menggunakan hati kalian. Dan jangan sekali-kali kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan, jangan kalian mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin, dan jangan pula kalian menumpahkan darah-darah kalian sendiri dan darah-darah kaum muslimin. Pertimbangkan akibat dari tindakan kalian tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik meninggal dunia atau sebaliknya pimpinan yang zhalim itulah yang meninggal dunia.” (As Sunnah, hal. 90, karya Al Imam Al Khallal)
Adapun hal penting yang harus diperhatikan oleh setiap penguasa/pemerintah adalah bahwasanya jabatan yang ia sandang saat ini adalah amanah dan karunia dari Allah subhanahu wata’ala, yang kelak di hari kiamat akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka dari itu, bersikap adillah dan bijaksanalah di dalam memimpin umat agar rahmat Allah subhanahu wata’ala selalu mengiringinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
سَبْعَةٌ يَظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِِِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ …
“Ada tujuh golongan yang Allah berikan naungan di hari kiamat, suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: pemimpin yang adil, …” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Para pembaca yang mulia, demikianlah keterangan ringkas tentang dua prinsip penting yang harus diperhatikan oleh rakyat dan pemerintah. Yang dengan memahami dan mengamalkannya akan tercipta bi-idznillah (dengan se-izin Allah) sebuah keselarasan hidup dan keseimbangan sosial di negeri yang kita cintai ini. Wallahu a’lam bish showab.