Menjadi santri yang peduli

 

Oleh Muhammad Iffi 3A Takhasus

 

Belum sempat melepas baju salat, Muhajir (bukan nama aslinya) langsung membaringkan tubuhnya yang pegal, sesaat namun berkualitas. Ia tak mau waktunya tebuang sia-sia, masih banyak tugas dan pekerjaan yang harus dia selesaikan.

 

Baru dua tiga menit matanya terpejam, tiba-tiba tubuhnya digoyang-goyang oleh seorang teman sembari mengatakan, “Tuh, antum dicari.” Hah, meski sayup-sayup kata-kata itu terdengar, namun ia tetap memaksa matanya untuk terbuka.

 

Rasa pegal yang ia rasakan, juga belum hilang dengan terpejam sesaat. Tapi setidaknya ia bisa sedikit merasakan ‘adem’ di bagian otaknya yang kian memanas.

 

Semangat bertaawun seolah mendorong punggungnya, menarik tangannya, untuk segera bangkit bertindak. Cepat sekali ia bangkit dari ranjang. Tanpa menghiraukan temannya yang membangunkan, dia meninggalkannya dengan derap langkah yang akan mendahului siapapun!

 

Demikianlah gambaran perjuangan salah seorang teman, yang gemar bertaawun dan menolong. Di manapun ia berada, ia harus menjadi orang yang bermanfaat di sana. Dengan jiwa taawun yang terus berkobar di hatinya, semua tugas yang diembannya terasa ringan tak berarti.

 

Itolah potret santri sejati; santri yang benar-benar menyantri. Makna kata santri tak sesempit yang dipahami sebagian orang. Santri tidak hanya duduk belajar, menghafal dan memahami. Tapi lebih dari itu, santri adalah sosok yang menjual dunianya untuk kebaikan akhiratnya.

 

Menyantri adalah bertaawun, menjadi bermanfaat untuk agama dan pemeluknya. Sehingga tak bisa dikatakan sebagai ‘santri’, seorang yang hanya belajar melulu, tanpa peduli dengan sekitar. Justru santri adalah seorang yang peka dengan lingkungannya. Apa yang dipandangnya kurang tepat, hatinya tergerak untuk membenahinya.

 

Perhatikanlah sosok teman kita tadi, hidupnya penuh dengan warna-warni taawun. Berpindah dari satu ladang taawun ke yang berikutnya. Tak peduli, walau harus berkeliling pondok sembilan kali, ia akan terus melaju tanpa henti. Bagian bawah jubahnya yang membekas lipatan, menunjukkan banyaknya langkah yang telah ia derapkan.

 

Suatu hari seorang teman bertanya kepadanya, “Akh, antum apa nggak capek keliling pondok terus setiap hari?” Teman kita menjawab dari hati yang paling dalam, “Ana cuma kepingin menjadi orang yang bermanfaat bagi umat.”

 

Ya benar, bahkan terkadang seorang santri sejati harus rela mengorbankan diri, demi kemaslahatan bersama yang manfaatnya lebih tinggi.

 

Banyak hal yang bisa lakukan, untuk menjadi orang yang bermanfaat. Dengan membantu saudara kita yang membutuhkan, terlibat dalam taawun-taawun yang diadakan, dan sebagainya. Atau setidaknya jika kita tidak mampu melakukan hal-hal tadi, jangan sampai kita malah menjadi orang yang menyusahkan. Keberadaan kita hanya menyisakan problem bagi orang-orang di sekitar.

 

Sebagai penutup, mungkin kita harus mengingat sabda Nabi:

 

وَاللهُ فِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah akan senantiasa menolong seorang hamba yang selalu menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.