Mengkhususkan Ritual Ibadah Tertentu di Bulan Rajab

Bukan Termasuk Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Mengkhususkan Ritual Ibadah Tertentu di Bulan Rajab

 Bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan oleh Allah ta’ala. Namun tidak sedikit kaum muslimin yang masih jauh dari bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyambut datangnya bulan ini, yaitu mengkhususkan ritual-ritual ibadah tertentu seperti puasa, shalat Raghaib, peringatan malam 27, dan lain sebagainya.

Berikut penjelasan para ulama tentang pengkhususan ritual ibadah tertentu pada bulan ketujuh penanggalan hijriyah ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’

 

Pertanyaan:

Di sana ada hari-hari tertentu (khusus) di bulan Rajab yang ditunaikan padanya puasa sunnah, apakah hari-hari tersebut jatuh pada awal bulan, pertengahan, ataukah di akhirnya?

 

Jawab:

 

Tidak ada hadits-hadits khusus yang tetap (shahih) tentang keutamaan puasa pada bulan Rajab selain hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dari shahabat Usamah, bahwa dia berkata:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa pada bulan tertentu sebagaimana puasa engkau pada bulan Sya’ban.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

“Itu adalah bulan yang orang-orang lalai darinya, bulan yang terletak antara Rajab dan Ramadhan, dan itu adalah bulan yang mana seluruh amalan diangkat ke hadapan Rabbul ‘Alamin, maka aku senang jika amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.”  [HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la, Ibnu Zanjuyah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Barudi, Sa’id bin Manshur]

 

Hadits-hadits yang ada menunjukkan keumuman tentang dorongan untuk berpuasa tiga hari di setiap bulan, dan dorongan untuk berpuasa pada hari-hari Bidh di setiap bulan, yaitu tanggal 13, 14, dan 15, dorongan untuk berpuasa pada bulan-bulan haram, puasa pada hari Senin dan Kamis. Dan bulan Rajab masuk ke dalam keumuman dari itu semua.

Jika engkau bersemangat untuk memilih hari-hari tertentu pada setiap bulannya, maka pilihlah hari-hari Bidh yang tiga tersebut, atau hari Senin dan Kamis, kalau tidak maka terserah karena perkaranya sangat mudah.

 

Adapun pengkhususan puasa pada hari-hari tertentu di bulan Rajab, maka kami tidak mengetahui dasarnya dalam syari’at ini. Wabillahit Taufiq.

 

Al-Lajnah Ad-Da-imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’

Ketua              : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua    : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota          : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota          : ‘Abdullah bin Qu’ud

Sumber: Fatawa Al-Lajnah Ad-Da-imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ [III/176]

Pertanyaan pertama dari fatwa no. 2608

 

Penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

 

Beliau ditanya:

Sebagian orang mengkhususkan bulan Rajab dengan melakukan berbagai bentuk ibadah tertentu seperti shalat Raghaib[1] dan menghidupkan malam ke-27. Apakah yang demikian itu ada dasarnya di dalam syari’at ini? Jazakumullahu khairan.

Beliau menjawab:

 

Pengkhususan bulan Rajab dengan ibadah shalat raghaib atau peringatan malam 27 dengan keyakinan bahwa malam tersebut adalah malam Isra’ Mi’raj, maka ini semua adalah bid’ah dan tidak boleh untuk dilaksanakan, amaliyah seperti itu tidak ada dasaranya dalam syari’at ini.

 

Para ulama juga telah memperingatkan tentang permasalahan ini, dan kami pun juga sudah pernah menulis tentangnya lebih dari sekali, dan kami telah jelaskan kepada orang-orang bahwa shalat raghaib adalah bid’ah, yaitu sebuah ritual yang dilakukan oleh sebagian orang di malam Jum’at pertama bulan Rajab.

 

Demikian pula peringatan malam 27 dengan keyakinan bahwa itu adalah malam Isra’ Mi’raj, itu semua adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at.

 

Malam Isra’Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Kalaupun diketahui, tetap tidak diperbolehkan untuk mengadakan peringatan malam tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memperingatinya, demikian pula para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para shahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum. Kalau seandainya peringatan seperti itu termasuk sunnah, maka niscaya mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.

 

Segala kebaikan itu ada pada sikap mengikuti mereka dan berjalan di atas manhaj mereka sebagaimana Allah ‘azza wajalla firmankan:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

 

Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang pada dasaranya bukan berasal dari agama tersebut, maka dia tertolak.” [HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad]

 

Dan beliau ‘alaihish shalatu wassalam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (tuntunan syari’at) kami, maka amalannya tersebut tertolak.” [HR. Muslim, Ahmad]

Dan makna ‘maka amalannya tersebut tertolak’ adalah ‘tertolak kepada pelakunya’.

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam khuthbahnya:

أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد – صلى الله عليه وسلم – ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Muslim, An-Nasa’i]

 

Maka yang wajib atas segenap kaum muslimin adalah untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan istiqamah di atasnya, saling mewasiati untuk itu dan waspada dari segala bentuk kebid’ahan sebagai realisasi dari pengamalan firman Allah ‘azza wajalla:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” [Al-Maidah: 2]

 

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

وَالْعَصْرِ سورة العصر الآية إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ سورة العصر الآية إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [Al-‘Ashr: 1-3]

 

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

الدين النصيحة ، قيل : لمن يا رسول الله ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم.

“Agama itu adalah nasehat. Ditanyakan kepada beliau: untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: untuk Allah, untuk kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan segenap umat Islam.” [HR. Muslim]

 

Adapun umrah, maka tidaklah mengapa untuk ditunaikan pada bulan Rajab, karena telah shahih di dalam Ash-Shahihain dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menunaikan umrah pada bulan Rajab[2]. Dahulu para salaf juga menunaikan umrah pada bulan Rajab, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya ‘Al-Latha-if’ dari shahabat ‘Umar, anaknya (Ibnu ‘Umar), dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Dan dinukilkan dari Ibnu Sirin bahwa para salaf dahulu juga melakukan yang demikian. Wallahu Waliyyut Taufiq.

Sumber: Majmu’ Fatawa Ibn Baz [XI/476-477]

 

Penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

الحمد لله حمداً كثيراً طيباً مباركاً فيه وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة أرجو بها النجاة يوم نلاقيه وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أرسله بالهدى ودين الحق فبلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.

Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” [Al-Baqarah: 189].

Dan Allah ‘azza wajalla juga berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]

 

Sesungguhnya bulan-bulan Hilaliyah ini merupakan bulan-bulan yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya sebagai waktu-waktu bagi manusia dalam bermu’amalah dan beribadah.

قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” [Al-Baqarah: 189].

 

Di antara bulan-bulan tersebut adalah empat bulan yang diharamkan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram yang merupakan tiga bulan yang berurutan, dan Rajab secara sendiri yang terletak antara bulan Jumadal Tsaniyah dan Sya’ban.

 

Dan sebentar lagi, bulan ini (yakni Rajab, pent) akan tiba mendatangi kalian. Bulan ini merupakan salah satu dari empat bulan-bulan haram yang memiliki keutamaan. Sudah semestinya pada bulan tersebut untuk menjauhi berbagai bentuk maksiat sebagaimana pada tiga bulan yang lain, namun tidak pernah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengkhususkan pada bulan itu dengan menambah ibadah shalat maupun puasa. Semua hadits yang menyebutkan tentang permasalahan ini adalah hadits-hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Sebagian orang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan berpuasa pada tiga bulan: Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, namun tidak dibenarkan untuk mengkhususkan puasa pada bulan Rajab.

 

Adapun Sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memperbanyak puasa pada bulan tersebut sampai pernah beliau berpuasa sebulan penuh ataupun mayoritasnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.[3]

 

Wahai saudara-saudaraku,

Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah suatu perkara yang diada-adakan dalam agama ini. Sesungguhnya seluruh amalan yang dengannya engkau beribadah kepada Allah, namun amalan tersebut tidak pernah disyari’atkan di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya itu adalah kebid’ahan yang tidaklah menambah bagi engkau kecuali semakin jauh dari Allah ‘azza wajalla. Karena setiap orang yang berbuat bid’ah, berarti kebid’ahannya itu akan memberikan makna bahwa agama ini belum sempurna semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Allah ta’ala telah berfirman:

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِيناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[Al-Maidah: 3]

 

Allah berfirman yang demikian itu dalam sebuah ayat yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at, di hari ‘Arafah ketika haji wada’.

 

Sehingga agama ini telah sempurna, tidak butuh kepada penyempurnaan, dan tidak pula butuh kepada sesuatu yang diada-adakan. Setiap manusia yang beribadah kepada Allah dengan menjalankan suatu amalan yang tidak disyari’atkan di dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka amalannya tersebut tertolak dan dia tersesat disebabkan amalannya itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam rangka memberikan peringatan kepada umatnya:

إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, karena sesungguhnya setiap perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (tuntunan syari’at) kami, maka amalannya tersebut tertolak.” [HR. Muslim]

 

Ambillah prinsip ini wahai saudaraku muslim, ambillah petunjuk ini, bahwa setiap amalan yang dengannya seseorang beribadah (kepada Allah), baik itu amalan hati seperti aqidah/keyakinan, atau amalan lisan seperti dzikir-dzikir bid’ah, atau amalan anggota badan seperti amaliyah bid’ah, jika tidak memiliki saksi (berupa dalil/hujjah, pent) dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidaklah didapatkan kecuali kerugian di dunia dan akhirat.

أسأل الله تعالى أن يبصرني وإياكم بدينه وأن يرزقنا علماً نافعاً وعملاً صالحاً يُقربنا إليه وأعوذ به من الجهل والبدع

Saya memohon kepada Allah ta’ala agar Dia memberikan bashirah (ilmu pengetahuan) kepadaku dan kepada kalian semua tentang agama-Nya, dan agar Dia memberikan rizki kepada kita semua berupa ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih yang bisa mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dan saya memohon perlindungan kepada-Nya dari kebodohan dan kebid’ahan.

اللهم إنا نسألك يقيناً لا شك معه وإيماناً لا كفر معه واتباع لا ابتداع معه وإخلاصاً لا شرك معه يا ذا الجلال والإكرام يا حي يا قيوم

Ya Allah, kami memohon kepada Engkau keyakinan yang tidak ada keraguan bersamanya, keimanan yang tidak ada unsur kekufuran bersamanya, sikap ittiba’ (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang tidak ada sikap ibtida’ (mengada-adakan perkara baru dalam agama) bersamanya, ikhlas yang tidak ada kesyirikan bersamanya, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang maha hidup lagi terus-menerus dalam mengurus makhluk-Nya.

 

Wahai saudara-saudara kaum muslimin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang agung:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzab: 56]

سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[Al-Baqarah: 285]

اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك محمد اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك محمد اللهم ارزقنا محبته واتباعه ظاهراً وباطنا اللهم احشرنا في زمرته اللهم اسقنا من حوضه اللهم أدخلنا في شفاعته اللهم اجمعنا به وبمن أنعمت عليهم في جنات النعيم إنك على كل شيء قدير

Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada hamba dan rasul Engkau, Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada hamba dan rasul Engkau Muhammad, Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada hamba dan rasul Engkau Muhammad.

Ya Allah, limpahkanlah rizki kepada kami untuk bisa mencintai beliau, mengikuti sunnah beliau, zhahir maupun batin.

Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam barisan beliau, ya Allah, berilah kami kesempatan untuk minum dari telaga beliau (nanti pada hari Qiyamat, pent), ya Allah, masukkanlah kami ke dalam jajaran orang-orang yang mendapatkan syafa’at beliau.

Ya Allah, kumpulkanlah kami bersama beliau dan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat di surga yang penuh kenikmatan.

Sesungguhnya Engkau maha mampu atas segala sesuatu.

اللهم ارض عن خلفائه الراشدين وعن الصحابة أجمعين وعن التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين اللهم ارض عنا كما رضيت عنهم اللهم أصلح أحوالنا كما أصلحت أحوالهم

Ya Allah, ridhailah para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik sampai datangnya hari pembalasan. Ya Allah, ridhailah kami sebagaimana Engkau telah meridhai mereka.

Ya Allah, perbaikilah keadaan kami sebagaimana Engkau telah memperbaiki keadaan mereka.

اللهم اجمع قلوبنا على الحق يا رب العالمين اللهم آلف بين قلوبنا اللهم اهدنا سبل السلام اللهم ألق بيننا المودة والمحبة يا رب العالمين اللهم أبعد عنا اختلاف القلوب والعداوة والبغضاء إنك على كل شيء قدير.

Ya Allah, kumpulkanlah hati-hati kami di atas al-haq, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, satukanlah hati hati kami, ya Allah, berilah kami petunjuk kepada jalan keselamatan, ya Allah, tanamkan kecintaan dan kasih saying di antara kami, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah dari kami segala bentuk perselisihan hati, permusuhan, dan kebencian, sesungguhnya Engkau maha mampu atas segala sesuatu.

Wahai hamba-hamba Allah,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [An-Nahl: 90]

 

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=102207

 

Penjelasan Fadhilatul ‘Allamah Dr. Shalih bin Sa’d As Suhaimi hafizhahullah

 

Dan termasuk kebid’ahan yang tersebar pada masa ini adalah apa yang diyakini oleh orang-orang (kaum muslimin, pent) berupa pengkhususan bulan Rajab untuk melakukan ibadah tertentu seperti puasa atau menentukan hari tertentu (seperti malam 27 Rajab, pent) untuk menyelenggarakan ritual perayaan dan ibadah-ibadah tertentu dengan anggapan bahwa pada bulan tersebut adalah malam terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Penentuan semacam ini tidak ada dalilnya dari Kitabullah ta’ala maupun dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Tidak ragu lagi bahwasanya peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah benar adanya, dan beriman terhadapnya apa hukumnya?! Wajib, dan seorang muslim tidak ragu dalam perkara ini.

Bahkan beriman dengan (Isra’ Mi’raj) merupakan perkara yang sudah diwajibkan oleh Allah tabaraka wata’ala di dalam kitab-Nya:

سُبْحَانَ الَذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إلَى المَسْجِدِ الأَقْصَا الَذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” [Al Isra’: 1]

Dan beliau telah diisra’kan dengan ruh dan jasadnya, tidak dengan ruhnya saja, dan bukan pula kejadian dalam mimpi saja, bahkan beliau diisra’kan dengan ruh dan jasadnya shallallahu ‘alaihi wasallam -hingga beliau sampai di sidratul muntaha- shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi.

 

Ini merupakan kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang nabi pun sebelumnya, dan ini merupakan kekhususan yang Allah berikan kepadanya shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi.

 

Dan walaupun Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang tsabit (tetap dalam syari’at ini) dan beriman dengannya adalah wajib dan telah diwajibkan pula ketika itu shalat lima waktu, akan tetapi kita tidak memiliki dalil yang pasti bahwa itu terjadi di bulan Rajab.

 

Kemudian di sana ada perkara lainnya, yaitu bahwasanya walaupun kita mendapatkan dalil bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu terjadi pada bulan Rajab, apakah kita disyaria’tkan untuk melakukan ritual ibadah tertentu pada bulan tersebut?

Jawabannya adalah: tidak, karena segala bentuk ibadah itu sifatnya adalah tauqifiyyah (tetap dan paten sesuai dengan tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam) yang harus diketahui (dalil dan landasannya, pent) dari syari’at ini. Dan setelah mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup selama sekitar 13 tahun, dan beliau tidak pernah mengadakan acara-acara tertentu untuk memperingati peristiwa tersebut.

Apakah kita yang lebih bersemangat mengikuti al-haq ataukah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam? Tentunya beliau, ini tentunya tidak ragu lagi.

 

Sesungguhnya perbuatan mengada-adakan ibadah tertentu untuk memperingati Isra’ dan Mi’raj pada tanggal 12 atau 27 Rajab itu terjadi pada abad ke-4 Hijriyyah, setelah banyak bermunculannya sikap taqlid kepada orang-orang Yahudi dan Nashara dalam memperingati hari-hari ‘ied (hari raya-hari raya), seperti peringatan-peringatan hari-hari kelahiran atau yang lainnya dari bentuk peringatan-peringatan (hari raya) jahiliyyah yang Allah tidak menurunkan satu hujjahpun, maka itu semua adalah peringatan-peringatan jahiliyyah dan bid’ah yang diada-adakan.

 

Hari-hari ‘ied dalam Islam, ada berapa hari ‘ied kita? Aku katakan: hari ’ied Islam ada tiga, apa saja itu? ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adh-ha, dan ‘Iedul Usbu’ yang itu merupakan hari Jum’at. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam telah menamakan itu semua dengan ‘ied dan tidak ada ‘ied yang keempat dari hari-hari ‘ied tersebut. Tidak ada ‘ied (hari ulang tahun) kelahiran, ataupun i’ed (hari raya) nasional, ‘ied perayaan Isra’ dan Mi’raj, ………..

Itu semua adalah ‘ied (perayaan/hari raya) jahiliyyah, semuanya adalah ‘ied jahiliyyah, tidak diketahu (dikenal) kecuali setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali setelah empat abad kemudian.

Kita mengajukan pertanyaan di sini:

Siapakah yang berada di atas al-haq?

Mereka generasi pertama yang hidup pada masa-masa generasi terbaik dan diutamakan? Ataukah Al-Fathimiyyun Al-’Ubaidiyyun yang menisbahkan kepada Fathimah radhiyyallahu ‘anha secara palsu dan dusta setelah empat abad (dari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pent)?! Siapa yang berada di atas al-haq?! Siapa yang lebih benar jalannya?!

 

Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih daripada kecintaan mereka kepada beliau. Mereka (para shahabat tersebut) datang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jiwa-jiwa mereka, mereka menghadapi panah-panah dan tombak-tombak dengan dada-dada mereka yang suci dalam rangka menebus dirinya untuk (membela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Walaupun demikian, mereka tidak pernah mengadakan peringatan-peringatan semacam ini. Apakah kemudian kita mengatakan bahwa mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Maha sempurna Allah, seorang muslim tidak akan mengatakan seprti itu, bahkan mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Beriman terhadap Isra’ dan Mi’raj adalah wajib, akan tetapi anggapan bahwa itu terjadi pada malam 27 Rajab adalah tidak benar bahkan itu merupakan kedustaan.

Riwayat-riwayat dalam sejarah menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab, ada yang menyebutkan pada bulan Sya’ban, ada yang menyebutkan pula pada bulan Ramadhan, ada yang menyebutkan pada bulan Syawwal, dan ada pula yang menyebutkan pada bulan Dzulhijjah, Wallahu A’lam.

 

Tidak terlalu penting bagi kita (mengetahui) tarikh dalam masalah ini, dan yang (lebih) penting bagi kita adalah hakikat keimanan terhadap benarnya peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut.

 

Demikian pula mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa tertentu adalah tidak benar, tidak benar, tidak ada pada bulan Rajab itu puasa tertentu yang dikhususkan[4], dan barangsiapa yang mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ragu lagi bahwa mereka telah melakukan salah satu bentuk kebid’ahan di antara kebid’ahan-kebid’ahan yang diada-adakan manusia. Tidak ada dalil shahih yang tetap dalam pengkhususan bulan Rajab dengan puasa tertentu, shalat tertentu, maupun ritual ibadah khusus, akan tetapi (bulan Rajab) adalah sebagaimana bulan-bulan yang lainnya.

 

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121523

 



[1] Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan Shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan ‘Isya. Pada siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib ini (yakni hari Kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah.

Adapun tata cara dan keutamannya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits maudhu’ (palsu) yang berbunyi:

وما من أحد يصوم يوم الخميس أول خميس في رجب، ثم يصلى فيما بين العشاء والعتمة، يعنى ليلة الجمعة، ثنتى عشرة ركعة، يقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب مرة، وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات، وقل هو الله أحد اثنتى عشرة مرة، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة، فإذا فرغ من صلاته صلى على سبعين مرة، ثم يقول: اللهم صل على محمد النبي الامي وعلى آله، ثم يسجد فيقول في سجوده: سبوح قدوس رب الملائكة والروح سبعين مرة، ثم يرفع رأسه فيقول: رب اغفر لي وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت العزيز الاعظم سبعين مرة، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الاولى، ثم يسأل الله تعالى حاجته، فإنها تقضى. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: والذى نفسي بيده ما من عبد ولا أمة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله تعالى له جميع ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر وعدد ورق الاشجار، وشفع يوم القيامة في سبعمائة من أهل بيته، فإذا كان في أول ليلة في قبره جاءه بواب هذه الصلاة، فيجيبه بوجه طلق ولسان ذلق، فيقول له: حبيبي أبشر فقد نجوت من كل شدة، فيقول: من أنت فوالله ما رأيت وجها أحسن من وجهك، ولا سمعت كلاما أحلى من كلامك، ولا شممت رائحة أطيب من رائحتك، فيقول له: يا حبيبي أنا ثواب الصلاة التى صليتها في ليلة كذا في شهر كذا، جئت الليلة لاقضى حقك، وأونس وحدتك، وأرفع عنك وحشتك، فإذا نفخ في الصور أظللت في عرصة القيامة على رأسك، وأبشر فلن تعدم الخير من مولاك أبدا

“Dan tidaklah ada seorang yang berpuasa di awal Kamis bulan Rajab, kemudian shalat di,antara Maghrib dan ‘Atamah (Isya)- yaitu malam Jum’at- dua belas rakaat, membaca pada setiap rakaatnya surat Al-Fatihah sekali dan surat Al-Qadr tiga kali serta surat Al-Ikhlas dua belas kali, setiap dua rakaat dengan satu kali salam, jika telah selesai dari shalat tersebut maka ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan ‘Allahhumma Shalli ‘Ala Muhammadin An-Nabi Al-Ummiyyi Wa ‘Ala Alihi’, kemudian sujud lalu mengatakan dalam sujudnya: ‘Subuhun qudusun Rabbul Malaikati War Ruh’ tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan: ‘Rabbighfirli warham wa tajaawaz ‘amma ta’lam Inaka  anta Al-Aziz Al-A’zham’ tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama, lalu memohon kepada Allah hajatnya, kecuali pasti hajatnya tadi akan dikabulkan.

Rasulullah bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki maupun perempuan yang melakukan shalat ini kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya walaupun seperti buih di lautan dan seperti sejumlah daun di pepohonan, serta bisa memberi syafaat di hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Ketika berada di malam pertama di kuburnya, akan datang kepadanya pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah, aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu dan tidak pernah mendegar perkataan semanis perkataanmu serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan di malam itu pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu kegundahgulanaanmu. Ketika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maula-Mu (Allah) selama-lamanya.”

Haidts ini adalah hadits maudhu’ (palsu), disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah di dalam kitabnya Al-Maudhu’at (II/124)

Dari hadits tersebut, dapat diketahui secara ringkas tata cara Shalat Raghaib, yaitu:

  1. Dikerjakan antara Maghrib dan ‘Isya’, jumlah rakaatnya dua belas, setiap dua rakaat satu salam.
  2. Pada setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadr tiga kali, dan surat Al-Ikhlash dua belas kali.
  3. Setelah shalat mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tujuh puluh kali dengan lafazh:

اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ

  1. Kemudian sujud dengan membaca tujuh puluh kali:

سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْح

  1. Kemudian bangun dan duduk dengan mengucapkan tujuh puluh kali:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ اْلأَعْظَمُ

  1. Lalu sujud lagi dan mengucapkan ucapan yang sama dengan sujud yang pertama
  2. Kemudian berdo’a kepada Allah sesuai dengan hajat dan kebutuhannya.

[2] Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan umrah pada bulan Rajab. Yang benar adalah sebaliknya, bahwa belum pernah beliau melakukan umrah pada bulan itu. Ketika Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha  mendengar bahwa Abdullah bin Umar mengatakan demikian, maka Aisyah pun mengingkarinya (Lihat Ash-Shahihain). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa ketika Abdullah bin Umar mendengar pengingkaran Aisyah ini, diapun diam. Wallahu a’lam.

[3] HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[4] Sebagaimana bulan yang lain, seperti tanggal 9 dan 10 Muharram, 6 hari di bulan Syawwal, dan 9 Dzulhijjah.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.