Perjuangan saat awal thalabul-ilmi

 

Oleh Mujahid Aceh 3A Takhasus

 

 

Malam itu suasana lengang, udara terasa sejuk, karena baru saja hujan berhenti. Kami sedang bercakap-cakap yang diselingi candaan, bertukar cerita satu sama lain. Sambil menghabiskan porsi mie yang ada di hadapan kami.

 

Saat itu kami juga ditemani 3 orang ustadz, yang sedari tadi menunggu kedatangan seorang santri baru, dari pondok lain yang kotanya berstatus zona merah. Orang tuanya memerintahkan agar ia pindah ke Mahad Minhajul Atsar Jember.

 

Akhirnya datang

 

Beberapa saat kemudian, terlihat jelas dari pos jaga, sorot cahaya lampu mobil yang kian mendekat. Ya, santri baru itu diantar menggunakan mobil Avanza. Sampai di portal pondok, setelah salam dan cakap-cakap ringan, barang-barang si santri diturunkan dari mobil. “Barang-barang di taruh di luar portal sini dulu ya, uangnya juga.” Tutur salah seorang ustadz yang memberi arahan agar barang-barang itu disemprot disinfektan.

 

Kami yang bertugas langsung bergegas maju, mengambil alat semprot dan menyemprot barang-barang tersebut. Tanpa disadari, kami menyemprotnya terlalu banyak. Membuat tas, kardus dan barang-barangnya basah kuyup. Namun biarlah, La Ba’sa InsyaAllah.

 

Perkenalan dengan santri baru

 

“Antum namanya Abdullah ya?” Salah seorang ustadz memulai obrolan. “Ya.” Jawab si santri lirih. “Ayo Abdullah, barangnya diangkat, kita langsung ke ruang karantina di wisma.” Sang ustadz mengarahkan.

 

Sampai di wisma, Abdullah sepertinya merasa sedikit takut, karena dia tinggal sendirian di sana, di wisma nomor tiga yang paling pojok. Dua wisma di sebelah timurnya kosong. Berulang kali ia bertanya kepada sang ustadz, “Ana tinggal di sini sendirian?” “Iya, nanti kalau ada santri lain yang datang, dia akan dikarantina bersama antum.” Jawab ustadz. “Antum di sini perbanyak baca al-Quran dan berdzikir ya.” Lanjut sang ustadz. “Nanti ana juga sering ke depan sini kok.. Mengantarkan makan dan membangunkan antum.” Sang ustadz menghibur.

 

Rasa khawatir Abdullah belum juga hilang, ia bertanya “Di samping sini kosong?” “Iya, tapi di depan, belakang, dan samping kiri ada rumah orang.” Para ustadz terus menenangkan. Di usia Abdullah yang masih terhitung belia, wajar saja bila rasa khawatir seperti itu muncul. Terlebih ketika harus tinggal sendiri di sebuah rumah, tanpa ditemani siapapun.

 

Hanya saja, hal tersebut tidak berjalan lama. Beberapa waktu kemudian, santri-santri baru yang lain berdatangan, mengisi ruang-ruang karantina yang telah disiapkan. Saat itulah, kami bersama-sama melewati masa orientasi demi mencapai tujuan suci, yaitu thalabul ilmi.

 

Melanjutkan aktivitas masing-masing

 

Karena ada keperluan, para ustadz segera balik ke tempat tinggalnya. Kami juga kembali ke pos jaga, melanjutkan cerita dan percakapan, sambil lanjut menyantap mie yang belum habis.

 

Tiba-tiba, dari arah koridor menuju wisma, muncul sosok Abdullah, ia keluar dari arah wisma. Salah seorang dari kami nyeletuk, “Lho, kok keluar?” Sepertinya ia merasa khawatir dan kesepian ketika harus tinggal sendirian.

 

Kami segera mendatangi dan menghiburnya seraya memerintahkannya untuk masuk kembali ke wisma karantina.

 

Berjuang menaati imbauan pemerintah

 

Wahai saudaraku, inilah sekilas cerita santri yang menjalani karantina. Memang berat rasanya harus tinggal selama dua minggu di ruang karantina, berpisah dengan orang tua maupun teman-teman, terlebih jika harus dikarantina sendirian. Namun semua itu tetap harus dijalani, jika kondisi membutuhkan, dalam rangka menaati kebijakan waliyyul amr. Tentu dengan saling menguatkan diantara kita. Allah berkata:

 

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

 

“Bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 216)

 

Semoga Allah memberi keistiqamahan kepada kita selama pandemi ini. Amin

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.