Rihlah Nanggelan dalam Kenangan _bagian 3_

 

Oleh Tim Reportase Santri

 

Alhamdulillah, kini mayoritas peserta rihlah telah sampai di pos pertama, tempat pemberhentian mobil. Sejak titik ini, kami harus berjalan kaki selama hampir sejam, kemudian mendaki bukit untuk sampai ke pantai.

Namun sebelum bertolak ke pantai bersama-sama, kami terlebih dahulu memberikan bingkisan kepada warga sekitar. Paket sembako, dan beberapa bungkus kurma telah kami persiapkan sejak di pondok. Semua itu kami berikan kepada warga melalui seorang tetua kampung di situ. Harapannya dengan bingkisan itu, dapat menarik simpati mereka terhadap dakwah ini.

Berbagi Bingkisan dengan Warga Sekitar Nanggelan

Proses penyerahan bingkisan dengan menerapkan protokol yang aman Covid, insya Allah. Tidak kami serahkan secara langsung, namun  kami letakkan di mushalla yang ada di situ. Jaga jarak dan penggunaan masker juga selalu dilakukan. Semua itu sebagai bentuk ikhtiar, agar tercegah dari penularan virus Covid-19. Karena kita tentu tidak tahu, bagaimana penerapan protokol di daerah situ, apakah warganya benar-benar steril atau tidak.

 

Menuju Titik Pendakian

Menyusuri Hutan Jati

Hampir satu jam kami berjalan, di tengah lebatnya hutan jati yang menjulang tinggi. Di jalan yang kami lalui, dedaunan kering berguguran. Menimbulkan suara renyah saat kami menginjaknya. Debu-debu mengepul tipis dari setiap derap langkah, wajar saja karena memang musim penghujan belum masuk di daerah ini. Menyebabkan tanahnya kering dan berdebu.

Kami terus berjalan mengikuti petunjuk arah yang terpampang di pohon-pohon. Jauhnya jarak tak membuat langkah kami melambat. Hasrat untuk segera sampai di pantai meringankan langkah kami, walapu rasanya sudah jauh sekali kami berjalan.

Petunjuk Arah Menuju Pantai

“Ndi rek dalane, bener ra iki dalane?” Kata sebagian kami khawatir, karena merasa tidak sampai-sampai.

Setelah meniti jembatan kayu di atas sungai kecil, akhirnya sampai juga di pos kedua. Tas-tas segera kami turunkan dari punggung, untuk sejenak beristirahat. Sebagian kami langsung membuka bungkusan nasi yang telah kami dapatkan di pondok tadi pagi, menyantapnya dengan lahap. Ada pula yang membasahi kerongkongannya dengan air. Mempersiapkan energi sebelum mendaki.

 

Menanti Trooper

Kebanyakan kami memang telah sampai di pos kedua ini. Namun barang-barang umum seperti terpal dan yang lainnya, masih tertinggal di mobil trooper yang mogok itu. JIka kami semua langsung mendaki, tentu tidak ada yang membawa barang-barang itu ke pantai.

Akhirnya seorang ustadz mengkoordinir, “Siapa yang mau tinggal di sini dulu, untuk membawa barang?” Beberapa santri dengan sigap mengacungkan tangan kanannya ke atas. 15 personil pun terkumpul. Merekalah yang akan membawa barang-barang umum nantinya. Sementara para santri yang lainnya beserta satu pembimbing, dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan.

Suasana Alam di Pos Kedua

Waktu terus bergulir. Mobil Fortuner dan mobil Innova mulai terlihat mendekat. Ternyata mereka membawa barang-barang yang ada di dalam mobil trooper. Kedua mobil ini masuk terus sampai mendekati pos kedua,  melewati jalan yang kami lalui selama hampir sejam tadi.

Barang-barang segera kami turunkan. Dengan  sigap kami berbagi tugas. Peralatan besar dibawa menggunakan bambu, agar bisa dipikul oleh dua orang. Dandang dan gas dibawa oleh santri asal Banyuwangi dan santri asal Bondowoso. Adapun yang lain membawa kompor, terpal dan pelampung. Kami semua kompak bekerja sama, demi lancarnya kegiatan ini.

Barang bawaan kami sendiri, sebagiannya telah kami titipkan kepada teman-teman yang sudah mendaki duluan. Dan kini, saatnya mendaki dengan memikul panci, terpal, pelampung, dan seabrek bawaan lainnya.

Mulai Pendakian

Bukit ini tidak terlalu tinggi, hanya membutuhkan 15 menit untuk sampai ke puncaknya. Namun terjalnya bukan main. Kami harus mendoyongkan badan ke depan untuk menjaga keseimbangan. Beratnya barang bawaan semakin menyiksa kami.

Nafas kami tersengal-sengal, degup jantung terasa begitu keras. Keringat bercucuran, betis kami serasa membesar. Beberapa kali sebagian kami beristirahat sejenak, duduk di pinggir jalur pendakian sambil menghela napas yang terengah-engah. 15 menit terasa lama sekali, puncak bukit serasa jauh sekali.

“Wah, ini sengaja kita diajak rihlah ke tempat ginian, biar kapok dan nggak pingin rihlah lagi.” Kata sebagian teman merasa keberatan.

Jalur Pendakian

Alhamdulillah, pohon-pohon rindang yang menaungi kami, memberikan suplai oksigen yang cukup untuk bisa bernafas segar. Pemandangan asri di sekitaran, cukup membuat hati terasa nyaman. Ada pula akar-akar pohon yang secara alamiah membentuk semacam tangga, cukup memudahkan pendakian kami. Begitu pula batu-batu karang yang tersusun, menjadi pijakan yang kuat untuk mencegah kaki kami terperosot.

 

Perjuangan Belum Berakhir

Puncak bukit ini ditandai dengan tanah datar yang sedikit lebar, muat untuk tempat beristirahat bagi beberapa orang.  Sesampainya di sana, segera kami bisa bernapas lega. Tas-tas kami turunkan, untuk sejenak mengistirahatkan bahu yang mulai terasa panas.

Botol-botol air minum dikeluarkan, keringat yang keluar segera diganti dengan air putih yang segar. Beberapa dari kami menghisap gula jawa yang dibawanya dari ma’had, untuk mengganti tenaga yang terkuras.

Jalur Pendakian yang Berbatu

Setelah dirasa cukup, perjalanan dilanjutkan. Kini kami tinggal menuruni bukit saja. Namun ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan. Jalanan yang tertutup daun membuat sandal menjadi licin. Bebatuannya juga semakin cadas. Sampai terkadang kami harus berpegangan di ranting pohon yang menjuntai, untuk berpindah dari satu batu ke yang berikutnya.

Kesulitan lebih  terasa lagi bagi dua orang yang membawa dandang dan gas. Mereka harus lebih teliti memilih jalan agar teman di belakangnya bisa mengikuti dengan nyaman. Beberapa kali mereka terpleset, namun mereka selalu kompak.

Deburan ombak yang sudah terdengar, menjadikan semangat mereka kembali membuncah, dan energi mereka kembali terisi.

 

Gurun Pasir Nanggelan

Warna biru air laut mulai terlihat, ombaknya bergulung-gulung. Pasir pantai yang bewarna putih ke-kreman nampak silau memantulkan cahaya matahari.

Warna Biru Laut Mulai Terlihat dari Arah Bukit

“Mana yang lainnya?” Tanya seorang santri di rombongan kedua, ketika kakinya telah berhasil memijak pasir pantai.

“Antum bisa lihat ujung pantai sebelah sana? Itulah tempat teman-teman kalian berada.”

“Pooh..!! Jauuuuhnnyyyaaaa…”

 

Matahari sudah meninggi, udara terasa panas. Bahkan pasir yang kami pijak pun menjadi panas karenanya. Angin laut tidak bertiup, menjadikan cuaca semakin terasa panas. Ombak laut berdebur di sebelah kanan kami, namun ini lebih terasa seperti berjalan di atas gurun pasir.

Pinggiran Pantai yang Berbentuk Teluk

Dalam kondisi demikian, kami masih harus menyusuri pinggiran pantai yang membentuk teluk ini, sampai ke ujungnya. Tak kurang dari 20 menit kami berjalan, untuk mendapatkan tempat yang dekat dengan mata air. Sesekali berhenti sejenak, untuk bernaung di bawah pohon-pohon pantai yang buahnya berbentuk kotak. Sambil melepas pandangan ke arah laut lepas.

 

Jauh di depan mata sana, gugusan karang mengakar kuat di dasar laut. Entah sudah berapa kali ombak menghantamnya, namun masih tetap kokoh berdiri. Lebih jauh lagi, Pulau Nusa Barong terlihat samar. Laut yang biru, berpadu dengan tebing-tebing hijau di pinggirnya, sungguh menyejukkan bagi yang memandangnya.

{اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ}

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)

 

Bagaimanakah petualangan kami selanjutnya? Apa saja keseruan yang kami rasakan selama di sana? Terus ikuti kisahnya di artikel berikutnya. Perjalanan masih panjang.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.