Secercah Cahaya di Selok Jero (Kisah PKL)

Nusa Kambangan. Mendengar namanya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Sebuah kawasan yang di dalamnya penuh dengan para narapidana kelas kakap. Para pembunuh, koruptor, dan segala macam jenis penjahat ada di sana. Tidak jarang pula tempat tersebut menjadi kuburan para napi yang dieksekusi mati.

Dibalik semua kengerian yang ada di sana. Ternyata Nusa Kambangan bukanlah pulau yang jauh dari nafas kehidupan. Hakikatnya pulau Nusa Kambangan dikelilingi oleh berbagai desa yang ramai penduduk. Semua desa itu disatukan di sebuah kecamatan yang bernama Kampung Laut’’.

Alhamdulillah, tim PKL Ma’had as-Salafy mendapatkan kesempatan emas bisa berkunjung ke sana. Pada pekan ketiga, kami diajak oleh ust. Aris hafizahullah ikut dengan beliau berdakwah di desa Selok Jero, Kampung Lau. Selok Jero merupakan desa terkecil di Kampung Laut. Tentunya kesempatan ini tidak kita sia-siakan. Kita akan berangkat padi hari Jumat in sya Allah.

Hari keberangkatan tiba. Kita pun bertolak dari pondok menuju kota Cilacap. Sesampainya di sana, kita menyempatkan singgah di ponpes al-Manshuroh Cilacap. Sambutan hangat oeh ust. Iqbal selaku mudir pondok. Setelah lebuh dari setengah jam bercengkrama dengan ikhwan setempat, kami pun langsung bertolak ke pelabuhan Cilacap.

Qadarullah, salah seorang teman mengalami diare yang cukup parah.

Seorang ustaz bertanya kepadanya.

“Bagaimana akhi? Antum masih bisa melanjutkan perjalanan?”

“Selok Jero itu tengah hutan lho, tidak ada puskesmas dan perjalanan kita masih jauh”.

Santri tersebut terdiam sesat nampak raut wajah bimbang.

“Kalau mau balik, masih sempat, sebelum kita naik kapal” Ustaz menimpali

“Tidak ustaz, ana pingin ikut, kapan lagi ana mendapat kesempatan berharga ini. Ana akan beli obat diare di apotek”.

Jawab si santri dengan penuh semangat

Setelah sampai di pelabuhan, kita langsung menuju kapal comprengan –sebutan untuk kapal dengan mesin kuno–. Perjalanan pun dimulai.

Kapal mulai bergerak melintasi muara sungai yang terbentang begitu luasnya. Setelah beberapa menit, baru terlihat bangunan penjara Nusa Kambangan. Dinding yang menjulang tinggi, sekitar penjara terlihat begitu sepi. Hanya ada rumah-rumah mewah para kepala sipir.

Satu jam berlalu, Kapal pun bersandar di dermaga desa Ujung Alang. Desa terbesar di kecamatan kampung laut. Desa ini merupakan tempat transit kita. Kemudian kita dijemput oleh ikhwan setempat. Perjalanan pun berlanjut, bukan dengan kapal. Tapi dengan perahu kecil milik ikhwan tadi. Perjalanan menjadi lebih menegangkan. Perahu kecil yang ditumpang oleh 9 orang dewasa. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 dan kita masih jauh dari tujuan. Sang surya semakin memancarkan panasnya. Tiga jam lebih sudah kita berlabuh. Di tengah terik matahari itu, kita dihibur dengan pemandangan yang luar biasa. ‘’Pintu menuju samudera’’ sebutan yang saya buat sendiri. Tampak puluhan kapal nelayan keluar dari pintu itu. Pintu tersebut merupakan bentangan muara sungai antara pulau satu ke yang lainnya yang menyambungkan antara muara ke laut selatan.

Sebenarnya, salah satu teman kita dan juga ustaz Aris sudah terjadwal untuk mengisi khotbah di Selok Jero.

“Masih nutut nggak ya” celetuk salah seorang dari kita.

Kita sudah hampir sampai tujuan dan jam sudah menunjukkan pukul 12.30 sedangkan azan jumat biasanya pada pukul 12. Walhamdulillah, akhirnya perahu pun bersandar di dermaga Selok Jero. Kita langsung turun bergegas menuju masjid. Adapun masjid yang terjadwal untuk khotbah ada dua, salah satunya di pinggir pantai. Sekitar 20 menit dari dermaga. Akhirnya, kita hanya jadi mengisi khotbah di masjid dekat dermaga. Salat jumat pun ditunaikan diimami oleh teman kita sendiri. Selepas salat jumat, kita disambut oleh pak Tohari. Beliau ikhwan yang bermukim di desa tersebut. Bisa dibilang beliau satu-satunya ikhwan salafy yang bermukim disitu. Kita berlima dipersilakan untuk memperkenalkan diri di hadapan jamaah jumat sekaligus masyarakat desa Selok Jero. Wajah yang ceria dan sambutan yang hangat terlihat dari masyarakat desa ini.

Seusai acara, kita menyempatkan ngobrol dengan mereka. Ada seorang warga berusia paruh baya yang tiba-tiba menyeletuk.

“Tadi siapa yang orang timur?”

Teman kita menjawab

“Saya pak. Kenapa?”

“Saya juga orang timur, saya orang Makassar, nama saya Parawangi”.

Setelah itu beliaupun bercerita.

“Saya ini dulunya seorang napi di Nusa Kambangan”

Sontak kita pun kaget.

Beliau lantas membuka lengan kokonya dan menunjukkan tatonya. Terlihat tato dengan format tanggal dan tahun.

“Ini tanggal masuk saya di Nusa Kambangan. Ketika saya masuk, saya langsung diberikan tato ini”.

Beliau kemudian sedikit menurunkan kerah kokonya. Terlihat tato bergambar mahluk di dada beliau.

Saya pun polos bertanya

“Bapak kok bisa dipenjara?”

”Kasus pembunuhan, dulu saya bekerja di hutan sumatera kemudian terjadi percekcokan dengan dua orang saat bekerja, saya pun membunuh mereka”.

Beliau lanjut bercerita

“Awalnya saya ditempatkan di penjara sumatera sebelum kemudian dipindahkan disini”.

“Saya keluar dari kampung saya pada usia 17 tahun, kemudian saya masuk penjara di usia sekitar 24 tahun. Saya dihukum sekitar kurang lebih 15 tahun’’.

Setelah keluar penjara, saya pun menikah dengan orang sini dan memulai kehidupan di desa ini”.

Subhanallah!! Usia beliau sekarang jika dilihat dari fisiknya sudah sekitar 60 tahun. Berarti sudah 40 tahun lebih meninggalkan sanak familinya? Bahkan beliau tidak tahu kabar saudara kandung beliau sendiri. Karena sudah putus komunikasi semenjak beliau keluar bekerja di Sumatera. Tidak tahu apakah kakak beliau masih hidup atau tidak?

“Bapak masih hafal alamat rumahnya kalau pulang?”

“Iya”

“Kenapa bapak tidak pulang?”

“Sebenarnya saya ingin sekali pulang, tetapi saya berat meninggalkan anak istri saya senirian di sini”.

Masya Allah.. Apakah kita bisa bersabar jika berada dalam posisi beliau? Hidup bertahun-tahun di tengah desa yang hampir tidak berpenghuni. Jauh dari sanak keluarga.

Alhamdulillah, Allah masih memberikan beliau hidayah untuk mengenal islam dan istiqamah di dalamnya. Sekarang beliau sudah banyak berubah, tampilan rambut yang rapi lengkap dengan koko dan sarung. Allah mudahkan beliau untuk bisa menghadiri salat jumat berjamaah padahal rumahnya cukup jauh dari masjid. Semoga Allah menjaga beliau dan mengistiqamahkannya dalam islam.

Makan siang pun sudah siap dihidangkan. Masakan yang dibuat oleh keluarga Pak Tohari ini luar biasa. Mungkin zahirnya terlihat biasa tetapi memiliki cita rasa yang tinggi. Selesai menyantap makanan, kita langsung bergegas menuju pantai. Ada dua rute menuju pantai. Rute cepat yang agak curam dan rute normal tapi lebih aman. Kita pun mengambil rute tercepat karena waktu yang terbatas walaupun jalannya terjal.

Perjalanan menuju pantai kita bertemu dengan salah seorang warga. Saat berpapasan, beliau berkata,”Tadi kemana pak ustaz? Kami sudah menunggu-nunggu kedatangan ustaz untuk khotbah”.

Masya Allah, dari perkataan singkat itu nampak antusiasme masyarakat sana dalam menyambut kedatangan para asatizah salafiyyin.

Akhirnya, kita pun tiba di pantai. Maha Besar Allah Pencipta langit dan bumi. Pasir putih nan eksotis dan laut seakan belum terjamah. Ahh.. Betapa bahagianya kita saat itu. Di sebelah selatan, ada mata air murni yang mengalir dari atas tebing. Tidak kalah indahnya, muara sungai yang begitu jernih dengan aliran yang cukup deras. Wah, betapa puasnya kita bisa berkunjung ke sini. Setelah sejam berenang, kita pun kembali ke basecamp. Malam harinya ba’dal maghrib salah seorang tim PKL mengisi pelajaran aisar kepada beberapa warga setempat. Terlihat tiga warga yang sudah sepuh menghadiri majelis itu. Kita bisa mengambil pelajaran dari semangat mereka dalam thalabul ‘ilmi walaupun harus berjalan jauh dari rumahnya dalam keadaan gelap gulita ditambah usia yang sudah tua. Lantas bagaimana dengan kita yang masih muda? Dengan segala fasilitas yang ada di pondok? Kenapa kita masih berat untuk muraja’ah? Allahul Musta’an.

Di Selok Jero, kita menemukan berbagai hal unik. Di antaranya, di sana tidak ada sinyal. Kecuali satu tempat di salah satu sudut rumah kayu yang kita tempati. Begitu pula di sana tidak ada listrik. Lah terus bagaimana? Tenang saja..untuk penerangan masjid dan sekitarnya menggunakan lampu bertenaga surya. Lampu jalan daari dermaga juga cukup canggih untuk desa sepelosok itu. Lampu jalan otomatis yang awalnya redup dan akan menerang jika ada yang lewat di bawahnya.

Kami juga belajar dari sosok pak Tohari. Sosok yang ramah, santun dan solih. Teringat saat kami yang tidur di masjid terbangun jam stetengah 4 pagi. Terlihat sosok yang berpakaian putih di hadapan kami. Itu bukanlah hantu. Akan tetapi pak Tohari yang sedang menunaikan qiyamul lail. Masya Allah hidup di tengah pelosok seperti itu dengan jarak tetangga yang saling berjauhan. Tetapi, tetap semangat dalam beribadah bukan untuk dilihat. Tetapi ikhlas karena Allah azza wa jalla.

Hari kepulangan pun tiba, sebelum pulang kita mengadakan kerja bakti membersihkan jalan dan mencabut rumput dari dermaga menuju masjid. Semoga amalan ini diterima oleh Allah dan bermanfaat bagi warga Selok Jero. Perahu yang ditunggusudah siap, kita pun bertolak kembali ke Mujur. Walaupun hanya sehari sangat berkesan bagi kami santri PKL yang baru pertama kali ke sana. Banyak faedah kehidupan, kesabaran, kezuhudan dan berbagai faedah lainnya yang kita dapatkan di sini.            

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.