Sikap yang Tepat Terhadap Pencela Agama
Terjemah Fatwa Oleh: Ishaq Al-Atsari Tulungagung, 1A Takmili
Pertanyaan:
Aku tinggal di suatu tempat, di dalamnya ada seorang yang terkadang memelihara jenggot dan terkadang mencukurnya, ia banyak berdusta dan durhaka terhadap kedua orang tuanya, ia juga menghina agama ini.
Kesimpulannya, tampak pada dirinya tanda-tanda kemunafikan -semoga Allah melindungi kita darinya-. Telah sampai berita kepadaku bahwa dia menghina agama ini sebanyak tujuh atau delapan kali dalam sepuluh menit.
Bolehkah mengucapkan salam terhadap orang yang semisal ini dalam keadaan aku membencinya? Apabila dia memberiku salam, apakah aku harus menjawab? Berilah kami faedah.
Jawaban:
Mencela agama -kita berlindung kepada Allah darinya- adalah suatu perbuatan kufur yang jelas secara nash dan kesepakatan ulama, berdasarkan firman Allah,
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ .لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Makna yang terdapat dalam ayat tersebut adalah wajib untuk menasihati dan mengingkari perbuatannya, jika ia menerima, maka segala puji hanya bagi Allah, jika tidak mau menerima, maka tidak boleh untuk mengucapkan salam kepada siapa saja yang mencela agama, tidak boleh menjawab salamnya, serta tidak boleh memenuhi undangannya, wajib bagimu untuk memutus hubungan dengannya secara total hingga ia bertaubat atau ditegakkan hukum had atasnya yaitu dengan membunhunya yang dilakukan oleh pemerintah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من بدل دينه فاقتلوه
“Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam sahihnya dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Tidak diragukan bahwa siapa yang menyandarkan diri kepada agama Islam namun mencela agama, maka sungguh ia telah mengganti agamanya.
Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyati wal Ifta, pertanyaan kedua fatwa no. 3419