SKETSA KEHIDUPAN DI BULAN SUCI RAMADHAN Sudahkah Kita…?

Bukan suatu hal yang aneh ketika mayoritas manusia senantiasa mencurahkan segala kemampuan untuk menggapai impian dunianya. Segala hal dilakukan demi meraih harapan secara total atau setidaknya mendekati. Sebut saja misalnya si A yang ingin lulus ujian dengan hasil memuaskan atau cum laude, tidak ada waktu dalam setiap harinya melainkan dia manfaatkan untuk belajar dan belajar. Bahkan agar lebih mantap ditambah dengan mengikuti les di bimbel-bimbel ternama. Semua yang menghalangi atau mengurangi pencapaian cita-cita tersebut akan dihindari bahkan ditinggalkan jauh-jauh, berharap kesempurnaan. Ada pula si B. Saat ini program utamanya adalah memiliki smartphone (android) terbaru dan tercanggih. Istilah malas atau lelah sudah tidak termaktub dalam kamus kehidupannya. Peras keringat, banting tulang siang dan malam adalah suatu hal biasa demi tercapainya keinginan tersebut. Tidak jauh beda dengan si C yang sedang ‘kesengsem’ suatu pekerjaan, jabatan atau pangkat tertentu. Dengan semangat membara segala usaha dijalankan bahkan terkadang lawan jadi kawan dan kawan jadi lawan.

Para pembaca rahimakumullah, inilah segelintir contoh dari beragam aktivitas dan cita-cita dunia yang ada pada sebagian orang. Bisa jadi dan tidak menutup kemungkinan -disadari atau tidak- kita pun menjadi salah satu ikon atau pemeran di dalamnya. Timbul sebuah pertanyaan, jika semangat mereka untuk meraih impian-impian dunia tersebut begitu besarnya, bagaimana dengan semangat untuk meraih keberhasilan yang hakiki kelak (akhirat)?

Bulan Ramadhan Bulan Mulia

Sebagai seorang muslim tentu sangat paham dan mengerti bahwa bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Predikat takwa adalah predikat terbesar dan teristimewa bagi seorang mukmin. Suatu hal yang mafhum dan ma’ruf bahwa keistimewaan dan impian dunia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan keistimewaan dan keutamaan serta kelebihan bulan ini. Tapi masalahnya sekarang, seberapa besar semangat dan cita-cita untuk meraih keistimewaan tersebut? Adakah sifat “gereget” kita untuk menggapai hasil maksimal di dalamnya?

Maka, sudahkah kita….

Berpuasa ramadhan lengkap sebulan penuh? Jika iya jawabannya, alhamdulillah. Namun puasa kita ini hanya sekedar ritualitas tahunan, ikutan-ikutan atau memang karena didasari iman? ini yang perlu dipertanyakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Sudahkah kita…….

Menjaga ibadah wajib lainnya tatkala kita berpuasa? Di antara ibadah wajib tersebut adalah shalat 5 waktu dan shalat berjamaah bagi kaum pria. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dari mereka yang hanya berpuasa Ramadhan tapi ibadah wajib lainnya ikut juga ‘dipuasakan’ (ditinggalkan). Padahal sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa seseorang tidak sah dan tidak bermanfaat jika dia tidak mengerjakan shalat wajib. (lihat Fatawa Ibnu ‘Utsaimin)

Sudahkah kita…….

Menjauhi segala hal yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa kita atau bahkan menghilangkan pahala puasa? Kenyataannya, memang sulit untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk semisal dusta, ghibah, adu domba, berucap kotor dan tidak pantas saat kita sedang berpuasa. Namun hendaknya kita harus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Karena Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah mengingatkan (artinya),

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dari dia untuk meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam mengingatkan pula (artinya),

“Puasa adalah tameng. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor (keji) dan janganlah bertengkar. Jika orang lain mencelanya atau menyakitinya maka katakanlah saya sedang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhuma berkata (artinya),

“Jika engkau sedang berpuasa maka puasakan pula pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari dusta dan perkara yang haram, janganlah mengganggu tetangga dan bersikaplah tenang. Jangan engkau jadikan hari puasamu sama dengan hari berbukamu (ketika tidak berpuasa).” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin).

Demikian pula sudahkah kita……

Mengamalkan penyempurna-penyempurna puasa kita atau selama ini kita masih kalah semangat saat berupaya meraih penyempurna-penyempurna manisnya dunia? Seberapa banyak amalan-amalan sunnah terkait puasa Ramadhan yang sudah kita kerjakan? Dimulai dari bersahur, tidak sedikit dari kita yang belum maksimal dalam mencontoh tata cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika bersahur. Ada yang sengaja tidak bersahur karena merasa tubuhnya kuat. Sejatinya sahur itu tidak hanya sekedar agar tubuh kita kuat dan tahan, tapi yang lebih penting dari itu adalah meneladani Nabi shallallahu alaihi wasallam yang juga bersahur. Bahkan beliau pernah bersabda (artinya),

“Bersahurlah kalian, walaupun hanya dengan seteguk air.” (Shahih at-Targhib dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma)

Dalam hadits yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan (artinya),

“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barokah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu).

Ada pula yang semangat sahurnya “berlebihan”. Tidak tanggung-tanggung, makan sahur di pertengahan malam jauh sebelum datang waktu shubuh. Akibatnya, tidak jarang terlewatkan shalat Shubuh tepat waktu apalagi berjamaah karena tidur lagi setelah makan sahur. Siapa sih yang kuat menahan kantuk dalam kondisi perut kenyang dan waktu shubuh masih lama datangnya? Bukankah begitu?

Perlu diketahui bersama bahwa di antara yang disunnahkan saat makan sahur adalah mengakhirkannya hingga menjelang waktu shalat Shubuh. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan dari shahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ia berkata,

“Kami makan sahur bersama Nabi kemudian beliau bangkit untuk melaksanakan shalat Shubuh. Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya (Zaid), “Berapa jarak antara adzan dengan sahur?” Zaid menjawab, “Kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.”(Muttafaqun ‘alaihi. Yakni ayat yang dibaca tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, dan membacanya tidak terlalu cepat dan tidak pula lambat. Lihat Fathul Bari)

Saat berbuka pula, banyak sunnah yang sering dilupakan. Menunda berbuka karena sibuk dengan kegiatan lain merupakan hal yang biasa. Akibatnya selain terlambat berbuka, akhirnya terburu-buru bahkan lupa untuk mengucapkan doa berbuka puasa atau mungkin juga karena tidak hafal.

Para pembaca rahimakumullah, menyegerakan berbuka merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda (artinya),

“Kaum muslimin akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka masih menyegerakan berbuka puasa.” (Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Sahl bin Sa’d shallallahu alaihi wasallam)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda (artinya),

“Umatku akan senantiasa di atas sunnahku selama mereka tidak menunda berbukanya sampai munculnya bintang-bintang.” (HR. Ibnu Hibban dari shahabat Sahl bin Sa’d shallallahu alaihi wasallam)

Di antara sunnah ketika berbuka adalah memulai berbuka dengan memakan ruthab (kurma setengah masak), kalau tidak mendapatkannya maka dengan tamr (kurma masak), kalau tidak ada maka dengan air. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata,

“Rasulullah dahulu berbuka sebelum shalat maghrib dengan beberapa ruthab, jika tidak mendapatinya maka dengan kurma yang sudah masak, jika tidak mendapatinya maka dengan meneguk air beberapa tegukan.” (HR. Abu Dawud). Beliau shallallahu alaihi wasallam lakukan hal itu seraya berdoa,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah pahalanya insya Allah.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma)

Penyempurna puasa yang berikutnya adalah bersedekah, qiyamul lail (shalat tarawih) dan membaca al-Qur`an. Sudahkah kita menjalankannya selama ini…..?

Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

“Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan saat Jibril menemuinya lalu membacakan (mengajarkan) padanya Al-Qur`an.” (HR. al-Bukhari)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),

“Barang siapa menegakkan Ramadhan (dengan shalat tarawih) karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”(Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Beliaupun pernah bersabda (artinya),

“Sesungguhnya apabila seseorang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (pahala shalat) satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud)

Para pembaca rahimakumullah, disamping itu semua, sudahkah kita…………. Benar-benar menjaga diri untuk bersih dari segala bentuk pelanggaran-pelanggaran syariat (baca;maksiat) saat kita berpuasa? Alangkah sedihnya tatkala tidak ada perubahan dan perbedaan pada diri kita saat di luar dan ketika berada di bulan Ramadhan. Yang lebih menyedihkan adanya sebagian orang yang menjadikan bulan mulia ini sebagai momen untuk “cuti” dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan di luar bulan Ramadhan. Namun, dibenaknya masih tersimpan niatan untuk mengulangi lagi perilaku buruk tersebut selepas Ramadhan. Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam majmu’ fatawa menyatakan

“Orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan dan di antara niatnya adalah akan mengulanginya lagi selepas bulan Ramadhan, maka dia terhitung orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu).”

Adapun orang-orang yang bertakwa di antara sifat mereka adalah,

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 135)

Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Kemudian dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan yang akan dilalui di masa mendatang.

Allahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah.

Buletin Al-Ilmu Edisi no. 35/VIII/XIV/1437 H

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.