Syarat-syarat Shalat 1
Sebagai ibadah yang mulia, shalat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum ditunaikan. Shalat yang tidak terpenuhi padanya syarat-syaratnya maka tidak sah.
Berikut ini syarat-syarat shalat yang harus dipenuhi:
1. Telah masuk waktu shalat
2. Suci dari hadats
3. Suci pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis
4. Menutup aurat
5. Menghadap kiblat
6. Niat
Termasuk syarat shalat adalah Islam, baligh/tamyiz, dan berakal. Syarat yang tiga ini harus ada dalam seluruh ibadah. (Ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, 1/98)
1. Telah Masuk Waktu
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
Dalam hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali dalil tentang permasalahan ini. Kaum muslimin pun sepakat bahwa shalat yang dikerjakan sebelum masuk waktunya tidak sah. Bila seseorang shalat sebelum waktunya dengan sengaja maka shalatnya batil dan ia berdosa. Namun bila tidak sengaja, dalam arti ia mengira telah masuk waktu shalat padahal belum, maka ia tidak berdosa. Shalatnya tersebut teranggap shalat nafilah (shalat sunnah), namun ia wajib mengulangi shalat tersebut setelah masuk waktunya. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/398)
2. Suci dari Hadats
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menegakkan shalat, basuhlah wajah kalian dan lengan kalian sampai siku, lalu usaplah kepala kalian dan cucilah kaki kalian sampai mata kaki. Dan jika kalian junub, bersucilah….” (Al-Ma`idah: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa dalam ayat yang agung ini terkandung banyak hukum. Di antaranya:
– Disyaratkan bersuci sebagai sahnya shalat, karena Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersuci ketika hendak menunaikan shalat. Sementara, hukum asal suatu perintah adalah wajib.
– Seluruh amalan yang dinamakan shalat, baik shalat itu wajib atau sunnah, maupun shalat yang fardhu kifayah seperti shalat jenazah, disyaratkan bersuci sebelumnya. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135 dan Muslim no. 536)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak diterima shalat tanpa bersuci…” (HR. Muslim no. 534)
Hadits di atas merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya bersuci bila hendak mengerjakan shalat ketika dalam keadaan berhadats. Para ulama sepakat bahwa bersuci ini merupakan syarat sahnya shalat. (Tharhut Tatsrib 2/400, 409, al-Minhaj 3/98)
Hadats yang dimaksudkan dalam pembahasan di sini mencakup hadats besar dan hadats kecil.
3. Suci Pakaian, Badan dan Tempat Shalat dari Najis
Dalil tentang sucinya pakaian adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya):
“Dan pakaianmu sucikanlah.” (Al-Mudatstsir: 4)
Sebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan: “Sucikanlah pakaianmu dari najis untuk mengerjakan shalat.” Adapun yang lainnya menafsirkan dengan selain makna ini. (Ma’alimut Tanzil 4/383, Adhwa`ul Bayan 8/619)
Dari As-Sunnah didapatkan banyak dalil, seperti hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ya Rasulullah, apa pendapatmu bila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus diperbuatnya?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi bimbingan:
“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah ia mengeriknya kemudian membasuhnya dengan air. Setelah itu, ia boleh mengenakannya untuk shalat.” (HR. al-Bukhari no. 307 danMuslim no. 673)
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah, dalam hadits ini terdapat isyarat dilarangnya shalat bila mengenakan pakaian yang terkena najis. (Fathul Bari, 1/532)
Mengenai kesucian badan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersucilah kalian dari kencing karena kebanyakan adzab kubur disebabkan kencing.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya hal. 7, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa` no. 280)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu menanyakannya langsung kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebabkan keberadaan putri beliau (sebagai istriku). Maka aku menyuruh al-Miqdad ibnul Aswad untuk menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau, maka beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu’.” (HR. al-Bukhari no. 132 dan Muslim no. 693)
Yakni bila hendak mengerjakan shalat, karena keluarnya madzi merupakan salah satu pembatal wudhu.
Adapun dalil tentang kesucian tempat shalat adalah perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyiram kencing A’rabi (Arab Badui) sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
“Ada seorang A’rabi bangkit menuju pojok masjid lalu kencing di tempat tersebut. Melihat hal itu, orang-orang berteriak menghardiknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menegur, “Biarkan ia menyelesaikan kencingnya.” Seusai si A’rabi kencing, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan agar mengambil air satu ember penuh, lalu dituangkan di atas kencingnya.” (HR. al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 658)
Bila seseorang melihat pada tubuh, pakaian atau tempat shalatnya ada najis setelah selesai shalatnya, apakah ia harus mengulangi shalatnya?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Namun pendapat yang rajih (kuat), wallahu a’lam, orang itu tidak wajib mengulangi shalatnya, baik keberadaan najis tersebut telah diketahuinya sebelum shalat tapi ia lupa, atau lupa mencucinya, ataupun ia tidak tahu bila najis itu terkena dirinya, atau ia tidak tahu kalau itu najis, atau ia tidak tahu hukumnya, atau ia tidak tahu apakah najis itu mengenainya sebelum shalat ataukah sesudah shalat. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, al-Majdu, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, dan selain mereka rahimahumullah. Dalilnya adalah kaidah umum yang Allah subhanahu wa ta’alaletakkan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu firman-Nya (yang artinya):
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau keliru….” (Al-Baqarah: 286)
Juga hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melepas sandal beliau dalam shalatnya setelah Jibril ‘alaihis salaam mengabarkan bahwa pada sandalnya ada kotoran/najis. Beliau tidaklah membatalkan shalatnya, namun melanjutkannya setelah melepas kedua sandalnya. (Al-Mughni, kitab ash-Shalah fashl Man Shalla Tsumma Ra`a ‘Alaihi Najasah fi Badanihi au Tsiyabihi, asy-Syarhul Mumti’ 1/485,al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/94, Taudhihul Ahkam 2/33)
4. Menutup Aurat
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang atinya):
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju masjid.” (Al-A’raf: 31)
Al-Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas menyatakan, “Yang dimaksud dengan zinah adalah pakaian. Mujahid berkata, ‘(Zinah adalah) apa yang menutupi auratmu walaupun berupa ‘aba’ah.’ Al-Kalbi berkata, ‘Zinah adalah apa yang menutupi aurat setiap kali ke masjid untuk thawaf dan shalat’.” (Ma’alimut Tanzil, 2/157)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid guna melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil yang menunjukkan kewajiban menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan, sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih.” (Fathul Qadir, 2/200)
Keterangan
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya, tidak peduli pakaian itu bau dan kotor misalnya. Namun perlu memerhatikan sisi keindahan dan kebersihan. Karena Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah, karena dia akan bermunajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. (Al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyyahrahimahullah hal. 43)
Karena itulah, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah bekata kepada maula-nya, Nafi’, yang shalat dalam keadaan tidak menutup kepala (dengan peci dan semisalnya), “Tutuplah kepalamu! Apakah engkau biasa keluar ke hadapan manusia dalam keadaan membuka kepalamu?” Nafi’ menjawab, “Tidak pernah.” “Allah adalah Dzat yang lebih pantas untuk engkau berhias bila hendak menghadap-Nya”, kata Abdullah bin ‘Umar h. (Syarh Ma’anil Atsar, 1/377)
Bedanya Menutup Aurat di dalam Shalat dengan di luar Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mengenakan zinah di dalam shalat merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun bersendiri di waktu malam. Tidak boleh pula ia shalat dalam keadaan telanjang walaupun sendirian. Maka mengenakan zinah dalam shalat bukanlah untuk berhijab (menutup tubuh) dari manusia tapi menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, menutup aurat di luar shalat dibedakan dari menutup aurat di dalam shalat. Kita dapatkan seseorang yang shalat menutup bagian tubuhnya yang justru boleh tampak bila ia sedang tidak shalat (di luar shalat). Sebaliknya ia menampakkan dalam shalatnya apa yang justru harus ditutupnya di luar shalat. (Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish Shalahhal. 23)
Pundak laki-laki misalnya, bukanlah aurat di luar shalat karena batas aurat laki-laki dengan sesama lelaki adalah antara pusar dan lutut. Namun di dalam shalat ada perintah untuk menutup pundak sebagaimana akan disebutkan haditsnya.
Bersambung Insya Allah..
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/2012/04/27/syarat-syarat-shalat-1/
Ijin untuk mengcopy tulisan diatas,Jazakumullohu khoiron
Silakan berbagi.. Wa antum jazaakumullaahu khairan..