Tanya Jawab tentang Konflik Mesir

Apa Sikap Ahlus Sunnah terhadap Konflik Mesir

Benarkah Konflik Mesir adalah konflik antara Islam vs Kafir?

Tanya Jawab bersama asy-Syaikh Khalid bin ‘Abdirrahman al-Mishri hafizhahullah

Kuwait, 12 Syawwal 1434 H / 19 Agustus 2013 H

(dalam muhadharah berjudul Asbabun Najah minal Fitan – sebab-sebab selamat dari fitnah)

 PertanyaanMohon penjelasan tentang sikap terhadap konflik yang terjadi di Mesir

Jawab : Kami hidup di Mesir, dan aku adalah penduduk Mesir. Ketika kami masih pada zaman penguasa/presiden sebelumnya, kami katakan dan tunjukkan sesuai dengan aqidah kita (yaitu tetap mendengar dan mentaati pemerintah). Tatkala terjadi revolusi Mesir pertama, yaitu terhadap Presiden Husni Mubarak, maka kami tetap mengatakan sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah, yaitu tidak boleh memberontak, tidak mencabut ketaatan dari pemerintah, bersabar, tidak boleh melakukan demo, dst. dan inialhamdullilah terekam, semoga kami melakukannya karena mengharap wajah Allah

Kemudian ketika permasalahan ini mengantarkan kepada naiknya presiden baru yang berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin (yaitu DR. Muhammad Musri) sebagaimana diketahui, maka ketika kekuasaan berada ditangannya (presiden baru), kami pun mengatakan sebagaimana dikatakan oleh para ‘ulama kami (yakni para imam ahlus sunnah wal jama’ah). (Di antara prinsip tersebut) sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Ahmad dalam kitabnya Ushulus Sunnah, bahwa yang menjadi pimpinan kaum muslimin adalah orang yang diridhoi oleh rakyat, atau bisa juga orang yang menguasai rakyat dengan senjatanya, dan disebut sebagai Amirul Mukminin.

Ketika DR. Muhammad Mursi tampil sebagai presiden, maka kami menyatakan tidak boleh memberontak terhadapnya dan wajib mendengar dan mentaatinya.

Sesungguhnya lebih dari 50 imam – yang terdepan adalah al-Imam Ahmad – menyebutkan bahwa termasuk prinsip utama as-Sunnah adalah mentaati orang yang berhasil mengalahkan/mengkudeta (penguasa sebelumnya) apabila kekuasaan terwujud padanya.

Oleh karena itu aku heran ketika ada seseorang di negeri ini (Kuwait) mengatakan, “dari mana kalian mengatakan wajibnya mentaati pihak yang mengalahkan/mengkudeta penguasa sebelumnya, kalian berdusta atas nama Allah!” Sungguh aneh ucapan ini. Padahal lebih dari 50 imam Ahlus Sunnah menukil ijma’ (konsesus) ahlus sunnah dari semua madzhab – baik madzhab hanbali, maliki, hanafi, syafi’i  – dan itu termaktub dalam kitab-kitab aqidah, yang terdepan adalah al-Imam Ahmad.

Tatkala DR Muhammad Mursi naik sebagai presiden, kami pun mengatakan wajib mendengar dan mentaatinya, tidak boleh memberontak terhadapnya, dan kami mengingkari demontrasi-demontrasi dengan segala kemampuan kami. Alhamdulillah. Dan kami berada di tengah-tengah peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mesir.

Lalu ketika DR Muhammad Mursi lengser, dan kekuasaan terwujud pada pihak yang mengkudeta, yaitu penguasa yang baru sekarang. Maka kami tetap berjalan di atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah. Tidak ada kontradiksi pada sikap kami, Alhamdulillah.

Justru mereka (Ikhwanul Muslimin) yang tidak konsisten di atas prinsip-prinsip syari’at. Mereka justru menentang pemerintah/penguasa (yang baru). Alasan mereka, karena penguasa yang sekarang ini telah mengkudeta penguasa sebelumnya (Mursi). Aku tegaskan kepada mereka (IM) dalam beberapa kesempatan diskusi, “Apa yang dulu kalian perbuat terhadap Presiden Husni Mubarak? Apa bedanya? Kalian telah mencabut ketaatan dari Husni.” [1]

Maka sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri, bahwa tidak boleh bagi mereka – orang-orang yang mendemo penguasa baru di Mesir (IM, dll) – untuk mencabut/melepas ketaatan (terhadap pemerintah).

Itu semua (demonstrasi, pemberontakan, dan semisalnya) termasuk kejelekan dan fitnah.

* * *

PertanyaanSebagian pihak menggambarkan bahwa konflik yang terjadi di Mesir adalah perseteruan antara Islam dan Kekufuran.

Jawab: Sungguh aku heran dari ucapan ini. Maka sebagaimana dikatakan, ‘Barangsiapa yang melihat apa yang kami lihat, maka dia akan tahu apa yang kami tahu.’

Ketika Ikhwanul Muslimin memegang tampuk kepemimpinan, maka kami membedakan siapa yang duduk sebagai waliyul amr (pemerintah), dengan siapa yang  anggota/pengikut Ikhwanul Muslimin. Adapun yang duduk sebagai waliyul amr maka mereka wajib didengar dan ditaati, dan kita tidak mencabut ketaatan darinya. Sampai-sampai ada diantara pengikut IM berterima kasih kepadaku atas sikap ini.

Maka aku jawab: Wahai saudaraku, aku tidak ada kaitan sama sekali dengan Ikhwanul Muslimin. Yang aku lakukan ini adalah sikap syar’i terhadap waliyul amr. Adapun kalian (IM) maka kalian menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah, termasuk kelompok sesat, sebagaimana difatwakan oleh asy-Syaikh Bin Baz dalam kasetnya Syarh al-Muntaqa/Nailul Author. Asy-Syaikh Bin Baz mengatakan, ‘Ikhwanul Muslimin dan Jama’a Tabligh termasuk dalam 72 kelompok sesat.’ Aku tidak ragu sama sekali dalam masalah ini. Adapun sikap kami mentaati Mursi merupakan sikap terhadap penguasa yang syar’i. Sebagaimana sikap al-Imam Ahmad ketika waliyul amri mengikuti madzhab kelompok sesat Jahmiyyah, maka beliau (al-Imam Ahmad) mendengar dan mentaati waliyyul amr dan tetap mentahdzir (memperingatkan) dari Jahmiyyah.

Ikhwanul Muslimin awal mula memegang tampuk kekuasaan, maka di antara pernyataan resminya yang tersebar di penjuru dunia, bahwa ‘Kami adalah negara demokrasi, negara madaniyah, dan rakyat adalah sumber aspirasi.’ Ini pernyataan mereka (IM).

Sejak awal IM memegang kekuasaan di beberapa negeri – dan di beberapa negeri masih dipegang IM – manakah dari syari’at ini yang mereka terapkan? Hukum apakah yang mereka dakwahkan? Tidak ada. Kecuali hukum demokrasi, negara madaniyah (sekuler), dan lainya. Bahkan, Mursi ketika ditanya tentang hukum potong tangan bagi pencuri, dia mengatakan bahwa ini adalah masalah fiqhiyyah, bukan termasuk permasalahan agama yang boleh ada perselisihan padanya. Ini hanyalah masalah ijtihadiyyah. Meskipun demikian kami menahan lisan dari kejelekan penguasa [2]. Kami menjelaskan al-Haq, namun kami tidak menentang penguasa. Tidak ada kontradiksi pada sikap Ahlus Sunnah.

Tatkala IM tergeser dari pemerintahan, sampai sekarang mereka terus mendengung-dengungkan demokrasi, negara madani, rakyat sumber aspirasi. Maka manakah pernyataan bahwa “Islam adalah solusi”? … ketika IM memegang pemerintahan, apa yang terjadi? Ketika IM memegang pemerintah Sudan, apa yang mereka terapkan dari syari’at? … [3]

Jadi sebenarnya pernyataan di atas [4] termasuk pembodohan terhadap umat. Dan ini pada hakekatnya salah satu pintu Khawarij. Yaitu ketika kamu mengatakan bahwa yang terjadi (di Mesir) sekarang adalah perseteruan antara Islam dengan kekafiran, maka ini sangat jelas sekali bahwa kamu sedang memprovokasi umat (untuk meyakini) bahwa pemerintah (yang berkuasa) adalah kafir, baik kamu ucapkan atau pun tidak. Maka ini termasuk mempermainkan akal manusia.

(bersambung, Insya Allah )


 


[1]  Yakni IM dulu mendemo Husni atas nama rakyat, bahwa rakyat menuntut Husni lengser. Demi kebebasan, demi membebaskan Mesir, … dst. Maka sekarang Mursi juga dilengserkan atas nama rakyat.

[2]  Yakni karena Mursi ketika itu sebagai waliyul amr, maka kami menahan lisan kami untuk tidak mencelanya.

[3]  Maksudnya, bahwa Ikhwanul Muslimin sebenarnya tidak mewakili Islam, tidak memperjuangkan Islam. Maka bagaimana bisa dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Mesir adalah perseteruan antara Islam dan Kekufuran?

[4]  Yaitu pernyataan bahwa konflik yang terjadi di Mesir adalah perseteruan antara Islam dan Kekufuran

Mungkin Anda juga menyukai

1 Respon

  1. Ibnu Amin Razip al-Bayani berkata:

    جزاك الله خيرا

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.