Tata Cara dan Letak Tangan Ketika Iktidal

 

Oleh Abu Umar Abdul Ghani Wates, Takhasus

 

Setelah saya membaca buku tentang sifat salat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-‘Allamah al-Muhaddits al-‘Albani rahimahullahu Ta’ala, saya baru menyadari ternyata di sana masih banyak kesalahan pada salat saya.

Salah satunya adalah ketika Iktidal (berdiri setelah rukuk) yang terlalu cepat dan kurangnya thuma’ninah (ketenangan). Saya bersyukur diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bisa membenahi tata cara salat yang selama ini tidak saya sadari.

 

Penjelasan Tentang Tata Cara Iktidal

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperpanjang Iktidalnya hampir mirip dengan panjang rukuknya. Bahkan terkadang beliau berdiri saking lamanya, sampai ada yang mengira kalau beliau lupa (karena lamanya beliau berdiri). Hal ini sebagaimana diisyaratkan pada hadits riwayat al-Bukhari no. 800 dan Muslim, Ahmad dan dikeluarkan juga oleh al-‘Allamah al-Albani dalam al-Irwa’ no. 307.

 

Beliau juga memerintahkan untuk tuma’ninah (tenang). Beliau berkata pada hadits al-musi’ shalatuh (kisah sahabat yang kurang benar salatnya):

ثُمّ َارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا فَيَأْخُذُ كُلَّ عِظَمٍ مَأْخَذَهُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ: فَأَقِمْ صُلْبَكَ وَارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا

“Kemudian angkat kepalamu hingga berdiri lurus. Sampai tulang-tulang itu menempati posisinya masing-masing.” Dalam riwayat lain:Dan jika engkau mengangkat kepalamu, maka tegakkanlah punggungmu, angkat kepalamu hingga semua tulang kembali pada persendiannya.

Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dengan kalimat yang pertama saja, juga ad-Darimi, al-Hakim serta asy-Syafi’I dan Ahmad.

 

Maksud dari ‘izham (tulang-belulang) adalah rangkaian tulang punggung dan bagian-bagiannya. Adapun al-mafashil jamak dari mafshal yang artinya persendian.

Maka sungguh maksud dari hadits ini sangat jelas. Yaitu thuma’ninah ketika berdiri setelah rukuk (iktidal).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan kepada sahabat tadi (dalam lanjutan hadits di atas):

أَنَّهُ لَا تَتِمّ ُصَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ إَذَا لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ

Bahwa tidak sempurna salat seseorang apabila dia tidak melakukan hal itu (thuma’ninah).”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengatakan:

لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى صَلَاةِ رَجُلٍ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ

“Allah tidak akan melihat (menganggap) salat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya di antara rukuk dan sujud”. (HR. Ahmad 16284 dan ath-Athabrani dalam al-Kabir dengan sanad sahih)

 

Apakah Benar Bersedekap Saat Iktidal Adalah Sunnah?

Sedangkan sebagian saudara kami -ulama hijaz (at-Tuwaijiri[1]) dan yang lainnya-, yang berdalil dengan hadits ini[2] tentang syariat meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada saat iktidal, maka sungguh pendalilan ini sangat jauh sekali, jika melihat seluruh jalur periwayatan hadits ini (yang terkenal di kalangan ahli fikih dengan hadits al musi’ sholatuhu).

Bahkan pendalilan itu adalah batil. Karena tidak ada penyebutan letak tangan pada berdiri yang pertama ini dalam seluruh jalur-jalur hadits dan matan-matannya. Maka bagaimana boleh menafsirkan kata ‘ya’khudzu’ tersebut bahwa maksudnya adalah menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan setelah rukuk? Seandainya ada beberapa lafal hadits yang mendukung hal ini, lantas bagaimana padahal hadits ini jelas menunjukkan yang sebaliknya?!

 

Kemudian sesungguhnya, sama sekali tidak terbetik dari hadits ini (bahwa maksudnya adalah menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan). Karena maksud dari tulang-belulang dalam hadits ini adalah tulang punggung. Sebagaimana hal ini didukung pula oleh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumya, “Bahwa beliau berdiri tegak hingga semua tulang kembali pada posisinya.” Maka perhatikan hal ini dengan jujur.

Saya tidak ragu bahwa meletakkan tangan kanan di atas dada pada saat iktidal adalah bidah yang sesat, karena tidak ada penyebutannya sedikitpun dalam hadits tentang shalat yang demikian banyaknya secara mutlak.

 

Seandaikan hal ini ada landasannya, tentulah akan sampai kepada kita meskipun dari satu jalan. Demikian pula yang menguatkan hal ini adalah, bahwa tidak ada satu pun dari salaf yang melakukannya. Bahkan tidak satu pun Imam Ahli Hadits yang menyebutkannya, sebatas yang saya ketahui.

Dan ini tidak bertentangan dengan apa yang dinukil asy-Syaikh at-Tuwaijiri dalam risalahnya (hal 18-19) dari Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala, bahwa beliau berkata: “Kalau mau, dia lepaskan kedua tangannya sesudah rukuk, dan kalau mau dia letakkan (di dada).” (Sebagaimana yang disebutkan Shalih bin Ahmad bin Hanbal dalam ‘Masailnya pada hal. 90 dari ayahnya).

Karena beliau (Imam Ahmad) tidak menyandarkan (perbuatan ini) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi beliau mengatakan berdasarkan ijtihad dan pendapatnya.

 

Sedangkan ra’yu (pendapat), bisa jadi salah. Sehingga apabila ada dalil sahih yang menyatakan bidahnya suatu perkara –seperti masalah yang kita bahas ini-, maka perkataan imam yang berpendapat demikian tidaklah menafikan kebidahannya. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala dalam sebagian tulisannya.

Malah, dari ucapan imam Ahmad ini saya benar-benar menemukan satu hal, yang menunjukkan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika iktidal itu tidak ada dalilnya dalam Sunnah Nabi menurut beliau.

Karena itulah beliau memberi pilihan antara melakukan atau meninggalkannya. Lalu apakah Syaikh yang  mulia -at-Tuwaijiri- akan berpandangan bahwa Imam Ahmad juga memberi pilihan dengan dua hal tadi, dalam permasalahan letak tangan ketika sebelum rukuk?![3]

Dengan ini jelaslah bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika iktidal tersebut bukan dari sunnah, dan inilah yang beliau maksud.

-Selesai penukilan dari asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu Ta’ala-

 

Penutup

Demikianlah ulasan yang dapat kami paparkan pada kali ini. Harapannya salat kita menjadi lebih sempurna dan lebih baik dari sebelumnya, amin.

 

Sumber: Kitab Shifatu Shalatin-Nabi, karya Imam al-Albani rahimahullahu Ta’ala.

 

[1] Nama beliau asy-Syaikh Hamud bin Abdillah at-Tuwaijiri (w. 1413 H)

[2] Yaitu pada lafal hadits,

ثُمّ َارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا فَيَأْخُذُ كُلَّ عِظَمٍ مَأْخَذَهُ.

“Kemudian angkat kepalamu hingga berdiri lurus. Sampai tulang-tulang itu menempati posisinya masing-masing.”

[3] Karena dalam hadits disebutkan, “Kemudian angkat kepalamu hingga berdiri lurus. Sampai tulang-tulang itu kembali menempati posisinya masing-masing.” Yakni seperti ketika berdiri sebelum rukuk. -pent

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.