HILANGNYA ILMU DENGAN DIWAFATKANNYA ‘ULAMA + PDF
Sungguh para ‘ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah subhanahu wata’ala. Sangat banyak pujian dan sanjungan terhadap mereka dalam Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah :
((إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ)) فاطر: ٢٨
“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [Fathir : 28]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya.”
Asy-Syaikh Al-Mufassir ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya : “Maka setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka dia akan semakin besar sifat khasy-yah (takut) terhadap-Nya. Maka sifat khasy-yah tersebut mendorongnya untuk menjauh dari segala kemaksiatan, dan sebaliknya mendorongnya untuk bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan Dzat yang ia takut terhadap-Nya. Ini merupakan dalil atas keutamaan ilmu. Sesungguhnya ilmu mengantarkan untuk khasy-yah (takut) terhadap Allah. Seorang yang memiliki sifat khasy-yah terhadap-Nya adalah orang yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya. Sebagaimana firman-Nya : “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang khasy-yah (takut) kepada Rabbnya.” [Al-Bayyinah : 8]
Sungguh para ‘ulama merupakan pelita bagi umat. Keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan umat ini ke jalan hidayah, dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para generasi as-salafush shalih. Mereka adalah orang-orang terpercaya, pewaris para Nabi, yang mengemban tugas besar menjaga agama ini dari berbagai penyelewengan dan penyimpangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sungguh kepergian mereka merupakan musibah besar bagi umat ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]
Innalillah wa inna ilaihi raji’un. Setelah beberapa waktu lalu, kaum muslimin kehilangan tiga ‘ulama besar -dalam waktu yang tidak begitu lama- yaitu : Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, kemudian Samahatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, menyusul kemudian Fadhilatusy Syaikh Faqihul ‘Ashr Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Sungguh umat ini terpukul berat dan sangat merasa kehilangan atas meninggalnya para ‘ulama tersebut. Karena meninggalnya mereka berarti hilangnya ilmu. Belum hilang kesedihan mereka, tak lama kemudian menyusul meninggal pula ‘Allamatul Yaman Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah. Berikutnya kaum muslimin kembali kehilangan seorang ‘alim besar pada masa ini, wafat pula seorang ‘ulama besar, seorang mujahid pembawa bendera as-sunnah pada masa ini, Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ahmad Bin Yahya An-Najmi rahimahullah rahmatan wasi’atan, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, merahmati beliau, dan meninggikan kedudukan beliau, serta memasukkan beliau ke jannah-Nya. Allahul Musta’an wa ilaihil Musytaka.
INNALILLAH WA INNA ILAIHI RAJI’UN …
((الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ))البقرة: ١٥٦
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn” [Al-Baqarah : 156]
((قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ)) التوبة: ٥١
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” [At-Taubah : 56]
Maka kita mengatakan seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ketika wafatnya putra beliau :
تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَاللهِ يَا إِبْرَاهِيمُ إِنَّا بِكَ لَمَحْزُونُونَ
” AIR MATA BERLINANG,
HATI PUN BERSEDIH,
NAMUN KAMI TIDAK AKAN MENGATAKAN KECUALI APA YANG DIRIDHAI OLEH RABB KAMI
DEMI ALLAH, WAHAI IBRAHIM, KAMI SANGAT BERSEDIH DENGAN (KEPERGIAN)MU “
[HR. Al-Bukhari (1303) Muslim (2315) ]
Ya Allah, … Rahmatilah para ‘ulama ahlus sunnah. Tempatkanlah mereka di jannah-Mu yang tinggi, bersama para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan para shalihin.
Al-Imam ‘Aun bin ‘Abdillah berkata : “Barangsiapa yang meninggal di atas Islam dan Sunnah, sungguh baginya berita gembira dengan segala kebaikan.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (60)).
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh juga mengatakan : “Sungguh beruntung bagi barangsiapa yang meninggal di atas Islam dan Sunnah.”
Al-Imam Ayyub As-Sakhtiyani mengatakan : “Sungguh ketika sampai kepadaku (berita) kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan hilanglah satu anggota tubuhku.”
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata : “Tidak akan datang suatu masa atas kalian melainkan masa yang akan datang tersebut lebih buruk daripada masa sebelumnya hingga datangnya Hari Kiamat. Maksud saya bukanlah kelapangan hidup yang diterimanya atau harta yang didapatnya (lebih sedikit). Akan tetapi maksud saya adalah masa yang akan datang itu lebih sedikit ilmunya daripada masa yang telah berlalu. Apabila ‘ulama telah pergi dan semua manusia merasa sama rata, akibatnya tidak ada lagi yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari munkar. Saat itulah mereka binasa.”
Diriwayatkan dari jalur Asy-Sya’bi, dari Masruq dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau berkata : “Tidaklah datang suatu masa melainkan pasti lebih buruk daripada masa sebelumnya. Maksud saya bukanlah seorang amir lebih baik daripada amir lainnya, bukan pula suatu tahun lebih baik daripada tahun lainnya. Namun maksud saya adalah perginya para ‘ulama dan ahli fiqh, kemudian kalian tidak menemukan penggantinya. Lalu datanglah suatu kaum yang berfatwa atas dasar logika mereka.” [Fathul Bari, syarh hadits no. 7068]
Diriwayatkan dari Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, beliau berkata : “Para ‘ulama Salaf mengatakan : “Kematian seorang ‘ulama adalah cela dalam tubuh Islam. Tidak mungkin ditambal dengan apapun sepanjang zaman.” [Ad-Darimi (324)]
Diriwayatkan dari Hilal bin Khabbab rahimahullah, dia berkata : Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair : “Wahai Abu Abdillah, apakah tanda kehancuran manusia?” Beliau menjawab : “Apabila ‘ulama-‘ulama mereka telah wafat.” [Ad-Darimi (251)]
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar.” [lihat Al-‘Imu Ibnu Qayyim, no. 94].