Tinggalkan Majelis Sia-Sia
Oleh Hisyam Abdillah Toli-Toli 4B Takhasus
Menjadi seorang mukmin tidak cukup dengan klaim semata. Namun dituntut pembuktian diri. Ia juga harus menghiasi diri dengan sifat dan perangai seorang mukmin sejati.
Melalui tulisan kecil ini, kami akan menyebutkan salah satu sifat yang sepantasnya dimiliki oleh setiap mukmin. Semoga Allah ta’ala menganugrahkan sifat tersebut kepada kita semua. Amiin.
Sifat ini Allah ta’ala sebutkan sebagai salah satu sifat hambanya yang mendapatkan kemenangan serta kebahagian di akhirat kelak berupa al-jannah. Allah ta’ala berkata di dalam surat Al- mu’minuun,
((قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ))
“Sungguh telah beruntung orang-orang yag beriman.” [QS. Al-Mu’minuun: 1]
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan diantara sifat orang-orang yang beriman tersebut:
((وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ))
“dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) Al-laghwu.” [Al-Mu’minuun: 3]
Al-laghwu adalah perbuatan dan perkataan yang sia-sia dan tiada guna bagi dunia dan akhirat.
Imam al-mufassir Abdurrahman bin Nashir as-Si’dy rahimahullah tatkala menjelaskan ayat di atas berkata:
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْو
yaitu pembicaraan yang tidak mengandung kebaikan dan faedah di dalamnya, مُعْرِضُون (mereka berpaling darinya), karena mereka tidak suka terhadap perbuatan tersebut, dan sebagai bentuk mensucian diri dari hal tersebut serta menghilangkan hal semacam itu dari diri-diri mereka.
Dan apabila mereka melewati majlis yang berisi laghwu, mereka melewatinya saja dengan menjaga kehormatannya. Bilamana mereka berpaling dari perbuatan yang sia-sia tentu mereka lebih menjaga diri dari perbuatan yang haram.
Jika seorang hamba dapat mengendalikan lisannya dan mengontrolnya (kecuali untuk perkara yang baik) niscaya ia mampu untuk mengendalikan segala urusannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat Mu’adz bin Jabal radiallahu ‘anhu: “Maukah engkau aku beri tahu tentang itu kunci dari itu semua? Aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliaupun memengang lidahnya sembari berkata, “Jaga olehmu ini!”[1]
Maka diantara sifat terpuji seorang mukmin adalah menjaga lisannya dari perkara yang tidak berguna dan perkara-perkara yang haram.”
Di dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berkata ketika menjelaskan sifat-sifat hamba-hamba Ar-Rahman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” [QS. Al-Furqan: 72]
Dan di dalam surat Al-Qashash ayat ke: 55 Allah ‘azza wa jalla berkata:
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ
“Apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.”
Di dalam ayat-ayat di atas Allah ta’ala secara tidak langsung memerintahkan hamba-Nya yang mengaku beriman untuk berhati-hati dan berusaha menjahui sifat laghwu (sia-sia), baik berupa ucapan maupun perbuatan. Allah ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhkan pendengaran mereka dari majelis dan obrolan yang tidak berfaedah sebagai bentuk penjagaan diri dan menjaga harga diri mereka. Sebab, seorang mukmin sejati tidak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk perkara yang tidak bermanfaat bagi dunia maupun akhiratnya.
Bagi seorang mukmin yang cerdas, waktu adalah sesuatu yang amat mahal baginya. Oleh karena itu ia berusaha seoptimal mungkin untuk menggunakan waktu yang ia miliki dalam rangka amal shaleh dan melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat sebagai bekalnya menuju kampung halamannya yang hakiki.
Inilah salah satu sifat mulia yang seyogyanya dimiliki dan diupayakan setiap mukmin. Demi menjalankan perintah Allah ta’ala dan meneladani Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentu ini bukan perkara yang mudah oleh karena itu dibutuhkan usaha yang keras dan perjuangan yang panjang, serta banyak berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar menganugrahkan kepada kita sifat-sifat mulia.
Akhir kata, semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan tufiq kepada kira semua. Amiin.
[1] H.R Tirmidzi no.2616.