Warga: “Buh, Kalau Mobil Seperti Ini tak Bisa Sampai ke Pancur.”
Oleh Tim Jurnalistik Pesantren
“Assalamu’alaikum, Ta’ langkong, mon ka Pancor jeuh?”
“Wa’alaikussalam, aboh, mak jeuh cong!”
Petikan percakapan di atas adalah salah satu peristiwa yang terjadi di hari Ahad malam Senin (9/10) saat kami sedang survei lokasi PKL-SPN. Jalan yang kami lewati sedari tadi jalan berbatu, terjal dan menanjak. Sengaja kami menanyakan lokasi Kebun Pancur karena hujan semakin deras sedangkan tanda-tanda perkebunan belum terlihat. Malam pun semakin gelap.
Tak banyak orang yang kami jumpai di perjalanan kami. Jarak rumah yang berjauhan ditambah faktor malam dan cuaca hujan menambah sepinya suasana malam itu. Walau demikian, Tim Perintis tetap menikmati. Sesekali raut muka tegang tersirat di beberapa anggota kami. Maklum saja, bisa jadi ini adalah trip pertama mereka di medan seperti ini.
Hingga di tikungan yang menanjak, mobil mengalami selip. ‘Gerobak besi’ kami terlihat berat untuk naik. Semakin diinjak pedal gas, roda mobil semakin munyer di tempat. Suara mesin meraung-raung. Mobil pun tetap diam di tempat.
Mobil mengambil ancang-ancang. Mundur perlahan dan dengan penuh kehati-hatian. Semua mata awas. Pandangan waspada. Tidak ada satu pun di antara kami yang duduk tenang di joknya.
“Aung Aung Aung…”
“Hur hur hur… ”
Suaranya semakin keras. Bau karet terbakar tercium kuat. Kami pun turun, lalu menyingsingkan lengan baju dan ambil posisi mendorong.
Warga Merespon
Kondisi itu mengundang kedatangan warga. Anak muda yang ternyata diketahui sebagai salah satu perangkat Desa Sumber Canting bagian pemerintahan menghampiri.
“Mau ke mana?”
“Ke Kebun Pancur!” jawab kami.
“Buh, kalau mobil seperti ini tak bisa sampai ke Pancur. Kasihan orang dan mobilnya.” Ujar perangkat desa yang dikenal bernama Wawan itu.
“La memangnya mau ke rumah siapa sampean-sampean ini?”
Mendengar pertanyaan itu, salah satu dari kami menjawab, “Terus terang kami belum tahu mau ke rumah siapa. Hanya saja, niat kami ingin bersilaturahmi dan mencari saudara baru.”
Mendengar keseriusan kami, Pak Wawan meminta agar mobil diparkir saja di rumah salah seorang warga. Ternyata warga tersebut adalah kakak sepupu pak Wawan yang bernama, pak Yusuf dan biasa dipanggil dengan pak Ana. Kami diminta istirahat dulu. Duduk dan bercerita sembari terus berkenalan.
“Kami berangkat jam setengah tiga pagi,” Kata kami. “Perjalanan panjang membuat kami sampai di tempat ini hingga waktu magrib.”
Tak lama setelah itu, keluarga sederhana itu mengeluarkan jamuan kopi dan buah pisang. Sungguh, adab luar biasa yang ditunjukkan oleh seseorang kepada tamunya. Padahal, kami tidak dikenal oleh mereka.
Kami jadi tidak enak. Walaupun tak belajar ilmu agama secara intensif seperti kami, tapi mereka betul-betul paham adab menyambut tamu yang diajarkan dalam Islam. Yang kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)
Bersambung..
Baca Juga: Awal Perjuangan PKL-SPN 1444 H