Awas Bahaya Aqidah Khawarij

AWAS BAHAYA AQIDAH KHAWARIJ

(Menjawab ucapan Din Syamsuddin, bahwa Kemenag Korupsi Jadi Bukan Ulil Amri)

Suatu yang patut disyukuri, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama diberi taufiq setiap tahunnya untuk menerapkan rukyatul hilal di sekian pos observasi hilal yang tersebar di berbagai penjuru di nusantara, guna menetapkan awal dan akhir Ramadhan.

Untuk tahun ini, Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013. “Keputusan ini dibuat berdasarkan pengamatan hilal dan rukyat di seluruh Indonesia,” kata Menteri Agama, dalam sidang itsbat penetapan 1 Ramadan 1434 Hijriah di kantor Kementerian Agama, Senin, 8 Juli 2013

Keputusan tersebut, selaras dengan keputusan mayoritas negeri-negeri lainnya. Antara lain,

  • Qatar, Arab Saudi, dan Mesir
  • Umat Islam Afrika Utara dan Afrika Barat
  • Kuwait, Irak dan Yaman
  • Tunisia dan Libya
  • Singapura, Malaysia, Brunei Darus Salam dan Australia

Negeri-negeri tersebut memutuskan hari Rabu sebagai awal Ramadhan 1434 H. Keputusan itu diambil setelah hilal awal Ramadhan 1434 H tidak terlihat di masing-masing negara tersebut.

Namun sayang, salah satu Ormas Islam di negeri ini, menentang keputusan tersebut. Bahkan lebih dari itu, berani lancang menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin menyatakan Kementerian Agama tak pantas dianggap sebagai ulil amri lantaran melakukan korupsi.

“Kalau kementerian agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada kementerian yang korup, Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits; janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,” tegasnya. Senin, 08 Jul 2013.

Sungguh sangat kita sayangkan ucapan yang muncul dari Ketua Umum salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini tersebut. Ucapan yang mengarah kepada aqidah dan cara-cara Khawarij, yaitu menyatakan keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang dinilai telah banyak melakukan kezhaliman, kemaksiatan, dan berbagai kemungkaran lainnya. Jelas ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!

Memang kita tidak menutup mata adanya kezhaliman, kemungkaran, dan korup pada pemerintah kita. Namun dalam prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal tersebut tidak berarti kemudian merekomendasi untuk keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Tentu kita semua mengharapkan pemerintah yang adil. Kita senantiasa mendoakan pemerintah Indonesia agar berjalan di atas bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, menghilangkan berbagai korupsi, kezhaliman, dan kemungkaran yang terjadi. Termasuk dalam hal ini kementrian agama. Ketaatan kita kepada pemerintah yang zhalim dan korup tidak berarti kita ridho terhadap kezhaliman dan kekorupannya. Namun pengingkaran kita terhadap berbagai kemungkaran pada pemerintah tersebut tidak berarti kita keluar dari ketaatan kepadanya.

PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)

1. Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri. Berdasarkan :

Firman Allah Ta’ala :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]

Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)

– Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»

Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji anggur.” (HR. Al-Bukhari 693)

«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا»

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat (kepada ulil amri), meskipun (yang menjadi ulil amri) adalah seorang budak habasyi.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676)

2. Ketaatan Kepada ulil amri tersebut wajib, baik dalam perkara yang kita sukai ataupun dalam perkara yang kita benci, selama ulil amri tersebut masih muslim

«أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»

“Kami berbaiat (kepada Rasulullah) untuk mendengar dan mentaati (ulil amri), baik dalam kondisi kami senang atau benci, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan walaupun mereka menghalangi hak-hak kami. Dan kami berbaiat untuk tidak mencabut kepemimpinan tersebut dari orang yang memegangnya, kecuali jika kalian melihat (mendapati) kekufuran yang nyata (pada ulil amri tersebut) yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang kekufurannya.” (Al-Bukhari 7056, Muslim 1079)

3. Ketaatan kepada ulil amri tersebut wajib, baik ulil amri itu adil maupun zhalim/banyak melakukan kemungkaran.

«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ»

“Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku atsarah (yakni korup) dan berbagai perkara yang kalian mengingkarinya.” Wahai Rasulullah kalau begitu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah menjawab, “Tunaikanlah kepada mereka (ulil amri) hak mereka (yakni taatilah mereka), dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Al-Bukhari 7052, Muslim 1843).

Menjelaskan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

“berita ini merupakan salah satu mukjizat kenabian. Berita ini telah terjadi berulang-ulang, dan peristiwa tersebut didapati berkali-kali. Pada hadits tersebut terdapat dorongan untuk tetap mendengar dan mentaati (ulil amri) meskipun ulil amri-nya adalah seorang yang zhalim dan sangat lalim. Maka ulil amri tersebut tetap wajib ditunaikan haknya, yaitu ketaatan kepadanya, tidak memberontak terhadapnya dan tidak melepaskan (ketaatan) kepadanya. Namun (yang semestinya dilakukan adalah) memohon kepada Allah dalam menghilangkan gangguannya (kezhalimannya), mencegah kejelekannya, dan memperbaikinya.” (lihat Syarh Muslim no. 1843)

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggambarkan kezhaliman ulil amri, namun demikian tetap wajib mentaatinya, yaitu dalam hadits berikut,

«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»

 “Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati itu?” Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau mendengar dan mentaati pimpinan meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat!!” (Muslim 1847)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini terdapat dalil untuk senantiasa konsisten bersama pemerintah muslimin dan pimpinannya, serta kewajiban mentaati mereka meskipun mereka berbuat fasik dan melakukan kemaksiatan berupa merampas harta dan yang lainnya. Maka wajib mentaati mereka dalam perkara selain maksiat.”

4. Tidak Boleh Taat kepada ulil amri ketika diperintah kepada Kemaksiatan

«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»

“Wajib untuk mendengar dan mentaati (ulil amri) atas seorang muslim, baik dalam perkara yang ia sukai atau ia benci, selama ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Al-Bukhari 7144).

Yakni tidak mentaati perintah berbuat maksiat tersebut. Bukan berarti kemudian keluar dari ketaatan kepada ulil amri secara total, atau menentang dan memberontak kepadanya. Tidak demikian. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan,

«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

“Barangsiapa mendapat pada pimpinannya sesuatu (kemungkaran/kemungkaran) sehingga diapun membencinya, maka hendaknya dia bersabar (yakni tidak keluar dari ketaatan). Karena tidaklah seorangpun berpisah dari jama’ah (kaum muslimin) walaupun sejengkal saja, kemudian dia mati, kecuali matinya adalah kematian jahiliyyah.” (al-Bukhari 7143)

5. Apabila terjadi kemungkaran pada ulil amri, maka rakyat menasehatinya secara rahasia. Bukan menentangnya, atau memprotesnya di atas mimbar, atau berdemo, atau bahkan memberontaknya.

Hal ini sebagaimana bimbingan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“مَنْ أَرَاَد أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِن يَأْخُذُ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيهِ”

“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang yang memiliki kekuasaan, maka janganlah menyampaikannya secara terang-terangan. Namun hendaknya dia mengambil tangannya, dan menyendiri dengannya. Apabila ia (penguasa tersebut) mau menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan). Apabila tidak, maka dia telah melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati penguasa).” (Ibnu Abi ‘Ashim hal. 508).

MENGKRITISI UCAPAN PAK DIN SYAMSUDDIN

Setelah kita membaca keterangan di atas, maka kita bandingkan dengan ucapan pimpinan ormas Islam di atas,

“Kalau Kementerian Agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada Kementerian yang korup. Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits: ‘Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,”

  • Perhatikan ucapan di atas. [“masa kita harus taat pada Kementerian yang korup”] memang kita tidak menutup mata adanya korup dan kemungkaran pada pemerintah Indonesia. Maka kita wajib mengingkari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Karena selama pemerintah masih muslim, maka ketaatan kepada mereka tetap wajib.
  • [“Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri.”] Tidak demikian wahai Pak Din Syamsuddin. Memang benar korup merupakan tindak kemaksiatan. Namun kemaksiatan tersebut tidak berarti membuat status sebagai ulil amri gugur. Tidak demikian. Perhatikan sekali lagi hadits-hadits di atas.
  • Bahkan lebih para lagi, Din Syamsuddin mengatakan, [“Kalau ulil amri itu menurut pemahaman kami, ulil amri itu bukan pemerintah tetapi yang mempunyai otoritas masing-masing,”] maka ini merupakan pemahaman yang menyimpang dari prinsip Ahlus Sunnah.
  • [“Bahkan ada hadits: ‘Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah”.] Memang kita tidak boleh mentaati pemerintah yang memerintahkan kita untuk bermaksiat, namun tidak berarti menyatakan keluar dari ketaatan kepadanya secara total. Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untu menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.

Kemudian kita bertanya kepada bapak Din Syamsudin, “Kemaksiatan apakah yang diperintahkan kepadamu oleh ulil amri?”

Konteks permasalahan sehingga menyebabkan munculnya pernyataan Din di atas adalah permasalah polemik rukyah – hisab.

“Sidang isbat itu artinya penetapan, tapi dengan pendekatan sepihak, yang namanya rukyat, sementara yang menggunakan perhitungan (hisab) tidak dianggap, jadi tidak ada gunanya,” kata Din Syamsudin.

Ketika ulil amri meminta anda (dan ormas yang anda pimpin) untuk menghadiri sidang itsbat penetapan awal Ramadhan berdasarkan rukyah, apakah anda diperintah oleh ulil amri untuk bermaksiat? Ataukah itu adalah perintah untuk ketaatan, yaitu melaksanakan rukyatul hilal yang itu selaras dengan bimbingan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu saja jawabannya: perintah tersebut adalah perintah ketaatan.

Kemudian, bukankah cara hisab yang selama ini anda serukan dan pertahankan, itu merupakan kemungkaran dan bid’ah yang jelas-jelas bertentangan dengan perintah baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Permasalahan ini telah kami jelaskan dalam tulisan kami berjudul “Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Ru’yatul Hilal atau Hisab Falaki?”)

Cara hisab yang anda serukan di samping merupakan kemungkaran dan bid’ah, juga merupakan sebab yang melanggengkan perpecahan umat, terkhusus dalam penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri.

Maka sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,

Pertama, meninggalkan hisab falaki

Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.

Demikian tulisan singkat ini. Semoga bisa menjadi nasehat.

وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه. وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Mungkin Anda juga menyukai

16 Respon

  1. umair berkata:

    jazaakallohu khoyron

  2. Abdul Aziz berkata:

    Bismillah Izin Share Akhi,artikel yang di nanti kaum muslimin,realitanya memang muhamadiyyah yang di pimpin Beliau selalu mendatngkan kebingungan pada Umat apabila datang awal Ramadhan dan akhir Ramadhan Nanti.Jazaakumullohu Khoiro wa Barokallohu Fiikum

  3. toton berkata:

    Meskipun saya sebenarnya cenderung Muhamaddiyah, tetapi pada penentuan awal Ramadhan Muhamaddiyah telah berpegang secara taqlid pada teori perhitungan yang secara empiris tidak terbukti. Hitungan yg menjadi rujukan Muhammadiyah menyatakan pada 8 Juli hilal berada pada 2 derajat padahal bukti empiris tanpa mendung atau asap yg menghalangi mayoritas pengamat tidak melihat hilal dan ahli astronomi menyatakan hilal masih di bawah 1 derajat. Muhammadpun sudah punya pendapat tegas tentang hal ini. Jadi mohon maaf saya beranggapan pendapat Muhammadiyah kali ini taqlid

  4. Abdullah berkata:

    ahlussunnah mengharamkan memberontak terhadap pemerintah,bukankah khilafah abasiyah hasil pemberontakan terhadap dinasti umayah?

    • mudir berkata:

      Dengan cara bagaimanapun seseorang meraih kekuasaan, walaupun dengan cara-cara yang batil seperti pemberontakan atau yang lainnya, hal itu tidak menggugurkan kewajiban rakyat untuk taat kepadanya. Dosa pemberontakan itu ditanggung oleh dirinya sendiri, kewajiban rakyat adalah tetap taat kepadanya. Wallahu a’lam.

  5. abdullah berkata:

    Ormas hizbiyah,memicu perpecahan umat.

  6. Ade Malsasa Akbar berkata:

    Ya ustadz, di manakah di web ini, informasi siapa saja ustadz yang mengajar di Mahad as-Salafy Jember ini beserta mudir-nya (tentu yang selain Ustadz Luqman Ba’abduh)? Jazakumullahu khairan.

  7. Ayana berkata:

    Kita taat kepada ulil amri di Indonesia dalam hal berbangsa dan bernegara, dalam hal agama kita patuh kepada ulil amri yang kita yakini memiliki otoritas dan menguasai ilmu agama.
    Wassalam.

    • mudir berkata:

      Adapun yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah mentaati ulil amri selama bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mengajarkan bahwa ketaatan kepada ulil amri dalam hal agama adalah manakala ulil amri tersebut memiliki otoritas dan menguasai ilmu agama.

  8. abu ibrahim berkata:

    Jazakalloh khoiron. Meskipun agak terlambat, alhamdulillah ada ustadz salafy ahlussunnah waljamaah yg respon terhadap ucapan tokoh ormas masyarakat yg sangat membingungkan muslimin awwam. Banyak tokoh ormas islam NKRI yg bicara dan gelagatnya mengarah amalan /simpatisan khowarij dan syiah.

  9. AKHMAD MUKHANIF berkata:

    Ijin Share ya Akhi, Barokallohufiikum

  10. abu tsaqif berkata:

    Bismillah…seandainya ulil amri memakai hisabpun dlm menentukan awal romadhon/ ‘id,,mk kitapun wajib menaati mereka,selama mereka masih muslim…meski banyak melakukan kemaksiatan kpd All,oh Ta’ala. itulah seorang AHLUSSUNNAH. wallohu’alamu bisshowab…..

  11. abu muhsin berkata:

    barokAlloh….jelaslah semua….kaum muslimin jadi tau…

  12. abu royhanah berkata:

    barakallahufikum,,

    sekedar menyampaikan usul, berharap semoga asatidz salafiyyin lebih banyak lagi menulis nasehat2 teruntuk saudara2 kita sesama muslim, semisal pak.din ini, dg ormas muhamm**iyahnya.
    Pak.ha*ib rizie* dg fpi nya.
    pak.ba’asyi* dg jat nya.
    Pak.gusdu* Dlsb dari tokoh2 yg ‘nyleneh’.

    Dan berharap juga tulisan2 nasehat tsb dapat lebih tersebar pada masyarakat luar, bukan hanya kalangan salafiyyin..

    #kayaknya pemerintah kita dalam hal ini kemenag memakai 2 metode dlm menentukan awal ramadhan, hisab+rukyat.. Wallahu a’lam, ini menurut lapan. Namun bgaemanapun keep ta’at pemerintah aslam.. Barakallahufikum

  13. Iwan berkata:

    Jangankan seorang ‘alim, orang awam pun kaget mengetahui ucapan pimpinan ormas tsb.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.