Belajar Sabar Menghadapi Gangguan Orang Lain
Berilmu, beramal, berdakwah, dan sabar adalah empat hal yang mesti ada pada seorang yang ingin terlepas dari kerugian dunia akhirat. Sebagaimana ilmu itu diperoleh dengan belajar, beramal itu butuh pembelajaran dan usaha yang kuat, berdakwah juga perlu latihan dan bekal yang cukup, maka tidak kalah pentingnya adalah bersabar. Untuk bisa menjadi seorang yang sabar, pun butuh belajar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar menghadapi gangguan orang lain adalah:
Pertama, bersaksi dan meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala adalah Pencipta perbuatan hamba, gerakan mereka, diamnya, maupun kehendak hamba tersebut. Setiap yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatupun yang bergerak (terjadi) di alam semesta ini -langit maupun bumi-, dan sekecil apapun kejadian tersebut kecuali pasti atas izin dan kehendak Allah. Hamba ini hanyalah sebagai alat, maka lihatlah kepada Dzat yang telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengganggumu, dan jangan melihat kepada perbuatan manusia tersebut, niscaya dirimu akan merasa ringan dari kesusahan dan kesempitan yang kamu alami.
Kedua, bersaksi dan mengakui dosa-dosanya. Ia merasa bahwa Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk menganggu dia disebabkan karena dosanya sendiri. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syura: 30)
Jika seorang hamba telah mengakui bahwa semua hal yang tidak disukainya yang menimpa dirinya itu adalah disebabkan dosa-dosanya, niscaya ia akan tersibukkan dengan taubat dan minta ampun atas dosa-dosa yang menjadi penyebab datangnya gangguan tersebut. Ia menyibukkan dirinya dengan taubat dan istighfar daripada mencela orang-orang yang mengganggunya tadi. Jika engkau melihat seorang hamba mencela orang lain yang mengganggu dia dan dia tidak mengkoreksi diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar, maka ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sebenarnya. Jika dia bertaubat dan beristighfar serta menyatakan, “Gangguan ini terjadi disebabkan dosa-dosaku.” Maka musibah tersebut menjadi nikmat baginya.
Sebuah kalimat mutiara pernah terucap oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah seorang hamba berharap kecuali hanya kepada Rabbnya, dan janganlah seorang hamba takut kecuali terhadap dosanya.”
Diriwayatkan pula perkataan dari beliau dan selainnya, “Tidaklah bencana datang itu kecuali disebabkan dosa, dan tidaklah bencana itu hilang kecuali karena taubat.”
Ketiga, bersaksi dan meyakini akan baik dan indahnya pahala yang Allah janjikan kepada seorang yang mau memaafkan dan bersabar, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Dalam menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga:
- Zhalim, yaitu membalas gangguan dengan balasan yang melampaui batas melebihi gangguan tadi.
- Muqtashid (pertengahan), yaitu membalasnya sesuai dengan gangguan yang ia rasakan.
- Muhsin, yaitu memaafkan dan membiarkan orang yang mengganggunya.
Allah sebutkan ketiga jenis manusia ini di dalam ayat 30 surat Asy-Syura tersebut. Yang pertama (وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا) adalah tentang muqtashid (pertengahan), yang kedua (فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ) adalah tentang orang yang berlomba-lomba memperoleh kebaikan, dan yang ketiga (إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ) adalah tentang orang yang zhalim.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
إِذَا وَقَفَ الْعِبَادُ لِلْحِسَابِ يُنَادِي مُنَادٍ لِيَقُمْ مَنْ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ فَلْيَدْخُلِ الْجَنَّةَ، ثُمَّ نَادَى الثَّانِيةَ لِيَقُمْ مَنْ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ قَالُوا: وَمَنْ ذَا الَّذِي أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الْعَافُونَ عَنِ النَّاسِ فَقَامَ كَذَا وَكَذَا أَلْفًا، فَدَخَلُوا الْجَنَّةَ بِغَيرِ حِسَابٍ
“Ketika para hamba dikumpulkan untuk perhitungan amalan pada hari kiamat nanti, ada pemanggil yang memanggil mereka agar orang-orang yang pahalanya atas (tanggungan) Allah bangkit untuk memasuki surga. Kemudian panggilan kedua juga memanggil agar orang-orang yang pahalanya atas (tanggungan) Allah bangkit. Para hamba tersebut bertanya, “Siapakah orang-orang yang pahalanya atas (tanggungan) Allah?” Ia berkata, “Yaitu orang-orang yang suka memaafkan manusia.” Maka bangkitlah sekian ribu hamba untuk memasuki surga tanpa hisab.” (HR. Ibnu Abi Hatim)
Bersambung Insya Allah.