Bersyukur bisa menjadi santri
Oleh Tim Mading Takhasus
Angin sejuk berhembus melewati dedaunan pohon rindang ditambah kicauan burung di atasnya yang saling brsahutan. Suara lantunan al-Qur’an santri-santri tahfidz bergemuruh dari masjid. Cahaya matahari yang menembus rindangnya pohon tersebut menandakan suasana hari yang cerah. Yah, itulah suasana kamar 8 Takhosus di pagi hari.
Dua pelajaran telah berakhir dan kami dapat kabar bahwa ustadz pada pelajaran berikutnya berhalangan untuk hadir, maka aku sempatkan untuk mencatat ulang kembali rangkaian kata-kata yang telah aku susun, yaitu goresan tinta dari penggalan sejarah hidup yang pernah aku alami.
Aku berharap ini bagian dari ibadah, mengingat nikmat-nikmat Allah.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Adapun dengan nikmat Rabbmu, maka sebutlah.” (QS. Ad-Duha: 11)
Syukur atas nikmat
Syukur, itulah hal yang wajib aku lakukan. Di mana betapa banyak limpahan nikmat yang Allah berikan kepadaku, baik berupa nikmat yang tampak maupun yang tidak tampak. Di antara nikmat tersebut adalah nikmat tholabul ‘ilmi dan kenikmatan-kenikmatan lainnya yang kurasakan.
Di sini aku dapat bertemu dan tinggal bersama saudara-saudara salafiyyin, saling ta’awun dalam hal kebajikan dan saling amar ma’ruf nahi mungkar. Bukan hanya materi pelajaran yang kudapati, namun lebih dari itu, bimbingan akhlak, adab, dan berbagai muamalah lainnya secara nyata dapat kupetik.
Bagaimana tidak, mulai dari asatidzahnya sampai para santrinya semua berlomba-lomba menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Lingkungan islami, benar-benar aku rasakan di sini. Tebar salam, lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an, ta’lim, nasehat ta’awun selalu menghiasi hari-hariku di pondok.
Sungguh ini merupakan kenikmatan yang agung, kenikmatan yang belum tentu diberikan kepada setiap orang. Bahkan tidak semua pemuda salafiyiin merasakannya. Alhamdulillah, Allah mengizinkanku untuk menjadi salah satu santri pondok ini, meski dengan berbagai kekurangan yang ada pada diriku.
Nikmat diberi hidayah
Itulah yang harus aku jaga, masih hangat dalam ingatan benak ini, bagaimana dahulu aku hidup tanpa bimbingan agama yang benar. Masih melakukan yang halal dan yang haram. Shalat wajib masih sering dilalaikan karena kesibukan-kesibukan yang tak berarti.
Masa kanak-kanakku dhabiskan untuk bermain, tidak seperti anak-anak yang ada di sini. Di usia mereka yang masih belia, sudah memiliki hafalan al-Qur’an yang banyak, bahkan tak jarang dari mereka yang sudah selesai. Malu rasanya ketika diminta nasmi’ anak-anak tahfidz saat mereka ujian. Di antara mereka ada yang bertanya, “Mi, hafalannya sudah sampai mana?” Aku terdiam sejenak kemudian kujawab, “Masih sedikit.” jawabku.
Walaupun aku sudah lama mondok, tapi aku belum bisa seperti mereka yang hafalannya banyak dan mutqin. Hal itu mungkin karena faktor usia dan jenjang yang berbeda. Pernah juga aku bertanya kepada salah satu santri yang aku tasmi’, ”Dalam sehari, kamu bisa nambah berapa halaman?” “Kalau lagi semangat, bisa dua lembar mi.” Katanya -masya Allah-.
Menghafal dua lembar dalam sehari, itu memang hal biasa dikalangan santri tahfidz. Mereka dengan cepatnya menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Semoga Allah memberkahi ilmu kami dan mereka. Wallahu ‘alam