Gara-Gara Hasad, Hati Gelisah, Hidup Pun Tak Tenang

Bahaya hasad

 

Oleh Abdurrahim Lumaela Ambon, Takhasus

 

Kehidupannya selalu tidak tenang dan bahagia. Dia selalu jengkel, bersedih, gelisah, linglung. Lisan yang menjadi jendela hatinya, tak lagi bisa dikuasai, bagaikan telah dicabut penyaring mana yang baik dan mana yang buruk.

 

Saudaraku…

Demikianlah kondisi orang yang dalam hatinya tertanam penyakit hasad. Al Imam Abu Hatim  rahimahullah menjelaskan kondisi seorang yang terjangkit penyakit hasad. Sebagaimana yang dinukilkan dalam kitab Raudhatul Uqala wa Nuzhatul Fudhala:

وَالحَاسِدُ لاَ تَهْدَأُ رُوحُهُ وَلاَ يَسْتَرِيحُ بَدَنُهُ إِلاَّ عِندَ رُؤْيَةِ زَوَالِ النِّعْمَةِ عَنْ أَخِيهِ

“Seorang yang sedang hasad, ruhnya tidak akan bisa tenang serta badannya tak akan pernah merasakan santai. Sampai ia dapat melihat hilangnya kenikmatan dari saudara (yang ia hasad kepadanya) itu.”

Padahal tentunya, hilangnya kenikmatan ataupun bertambahnya kenikmatan, hanyalah wewenang Rabb semesta alam, bukan menjadi urusan kita. Maka pada hakikatnya seorang yang hasad terhadap saudaranya, pada akhirnya yang ia dapati hanyalah kesedihan yang berlanjut terus-menerus.


Baca Juga: Waspadai Ciri-Ciri Hasad Berikut Ini


Saudaraku

Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu pernah menasihati anaknya,

“Wahai Anakku, jauhilah sifat hasad, karena itu akan tampak pada jiwamu sebelum diketahui oleh musuhmu.”

Kemudian beliau melanjutkan,

ولَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الشَّرِّ أَضَرُّ مِنَ الْحَسَدِ، لِأَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْحَاسِدِ خَمْسَ عُقُوبَاتٍ، قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الْمَحْسُودِ مَكْرُوهٌ. أَوَّلُهَا: غَمٌّ لَا يَنْقَطِعُ. وَالثَّانِي: مُصِيبَةٌ لَا يُؤْجَرُ عَلَيْهَا. وَالثَّالِثُ: مَذَمَّةٌ لَا يُحْمَدُ بِهَا. وَالرَّابِعُ: يَسْخَطُ عَلَيْهِ الرَّبُّ. وَالْخَامِسُ: تُغْلَقُ عَلَيْهِ أَبْوَابُ التَّوْفِيقِ.

“Tidak ada kejelekan yang lebih berbahaya dari penyakit hasad. Karena hasad akan menimpakan lima efek negatif bagi pelakunya sebelum efek hasadnya itu sampai kepada yang ia hasadi.

Lima mudarat itu ialah:

  • Kesedihan yang tak berujung.
  • Musibah yang ia rasa, namun tidak membawa pahala.
  • Kerendahan yang tak terpuji.
  • Murka Allah
  • Tertutupnya pintu-pintu taufik.” (Tanbihul Ghafilin)

 

Saudaraku

Hasad juga yang menjadi salah satu faktor terbesar seorang sulit memaafkan kesalahan saudaranya. Kalau kita merenung bersama, apalah untungnya kita sebagai saudara yang telah Allah ikat hati–hati kita dengan iman, merasa puas ketika saudaranya mendapatkan bahaya dari ulah tangan kita?!

Siapa pun kita, sama-sama memiliki kekurangan. Maka sempurnakanlah kekurangannya itu, dan maafkanlah kesalahannya.

Inilah hakikat persaudaran yang di bangun di atas iman dan takwa. Allah Taala berfirman,

“Seorang mukmin yang satu merupakan saudara bagi mukmin yang lainnya. Mereka senantiasa memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. At-Taubah: 71)

 

Berikut ucapan seorang imam terkemuka di zaman tabiin, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, sebagai renungan untuk kita bersama:

مَنْ طَلَبَ أَخًا بِلا عَيْبٍ بَقِيَ بِلاَ أَخٌ.

 “Barang siapa yang ingin mencari teman yang tidak memiliki kekurangan sama sekali, maka ia akan hidup tanpa memiliki seorang teman pun.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nazhatul Fudhala: 169)

Akhir kata, semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi penulis sendiri, kemudian para pembaca sekalian. Amin.


Artikel Kami: Hasad, Penyakit Umat Terdahulu yang Menjangkiti Kaum Muslimin


 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.