Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya
Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam pada keesokan harinya.
Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])
Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]
Artinya:
“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])
Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
…ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])
Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :
” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.
Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :
فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ c إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٍ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةُ أَصْبَحَ صَائِماً [رواه أبو داود وصححه الألباني]
Artinya :
“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin v) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :
1. Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])
2. Al-Imam Ahmad v ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.
Adapun riwayat Ibnu ‘Umar c di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.
[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.
[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.
[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.
[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.
[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.” (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).
Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.
[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.