Hukum Senang Mendapat Nilai Tinggi, Apakah Mengurangi Keikhlasan?
Terjemah fatwa oleh M.N. Zaky Fanani Jember, Takmili
Tentu kita telah mengetahui bahwa keikhlasan dalam menuntut ilmu hukumnya wajib. Seorang harus mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam thalabul ilminya. Ikhlas berarti tidak menginginkan tujuan-tujuan duniawi dalam belajarnya, murni hanya karena Allah. Lalu bagaimana hukum seorang yang senang mendapat nilai tinggi dan bagus ketika belajar, apakah dia terhitung tidak ikhlas? Simak jawabannya dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berikut.
Pertanyaan
Aku adalah pelajar yang ingin mendapat nilai tinggi dan predikat cumlaude, tapi niatanku baik. Maka apa pendapat Anda tentang keinginanku mendapat nilai yang bagus dan ketidaksukaanku dengan nilai yang jelek, apakah ini merusak keikhlasan?
Jawaban
Secara lahir Insya Allah tidak menodai keikhlasan Anda. Karena merupakan hal yang wajar seseorang senang dengan sesuatu yang baik dan benci terhadap perkara yang jelek. Allah Taala telah menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak diinginkan oleh seorang mukmin, dinamakan kejelekan. Dan seharusnya bagi seorang mukmin untuk membencinya. Demikian juga kebaikan, sudah semestinya dia menyukainya.
Hal ini tidak berpengaruh pada keikhlasan Anda jika memang niatan Anda baik -sebagaimana yang Anda katakan-. Namun, apabila niat Anda adalah semata-mata prestasi atau ijazah, maka ini adalah perkara lain.
Baca Juga: Ikhlaskan Hati Terhadap Apa yang Terjadi
Sebagai contoh adalah kisah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan pertanyaan kepada para sahabatnya radhiyallahu anhum. Beliau bertanya: “Bahwasanya di antara pohon-pohon yang ada, terdapat satu pohon yang menyerupai seorang mukmin.”
Maka para shahabat radhiyallahu anhum mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon-pohon di pedalaman. Berkata Ibnu Umar, “Sebenarnya terbetik dalam hatiku bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Akan tetapi ketika itu aku masih kecil sehingga aku tidak ingin ikut-ikutan berbicara.
Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu pun berkata kepada anaknya tersebut, “Sungguh aku sangat senang apabila engkau berbicara.” Maka hal ini menunjukkan bahwa kegembiraan seseorang dengan kesuksesan dan yang semisalnya tidak memudaratkan (niatnya, -pent).
Sumber: Kitabul Ilmi karya syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, fatwa no. 32 hal. 133.
Artikel Kami: Memetik Buah Keikhlasan