Jenang Sapar Wujud Syukur yang Salah

Merupakan tradisi masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat jawa), yaitu menyambut bulan shafar (bulan ke 2 dalam kalender hijriyah) dengan membuat berbagai makanan seperti kue apem, jenang sapar dan lainnya. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu adalah wujud rasa syukur kepada Allah subhanahu wata’ala di bulan Shafar.

Pembaca yang budiman, tidak diragukan bahwa bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala adalah hal yang mulia bahkan kewajiban bagi manusia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), Ingatlah kalian kepada-Ku (dengan mentaati-Ku), Aku akan mengingat kalian (membalas dengan kebaikan) dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur (akan nikmat-Ku)” (al-Baqarah: 152).

al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Madarijus Salikin (artinya), “Syukur termasuk tingkatan tauhid (إياك نعبد وإياك نستعين) yang tertinggi. Syukur berada di atas tingkatan ridha, sedangkan ridha adalah bagian dari syukur, hal ini karena syukur tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya ridha. Syukur juga merupakan setengah dari keimanan, sebab iman itu terbagi menjadi 2 bagian, setengahnya syukur dan setengah lainnya sabar.”

Allah subhanahu wata’ala  memuji syukur dan orang yang bersyukur di banyak tempat dalam al-Qur’an. Allah subhanahu wata’ala  berfirman (artinya), “Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (Saba’: 13).

Juga firman Allah subhanahu wata’ala (artinya), Sesungguhnya Nabi Ibrahim adalah “satu umat” (walaupun Ia seorang diri);senantiasa patuh kepada Allah, lagi berdiri teguh di atas dasar tauhid; dan ia tidak pernah menjadi dari orang-orang yang musyrik.(121) Ia sentiasa bersyukur akan nikmat-nikmat Allah. (an-Nahl: 120-121).

Lantas apakah benar membuat jenang sapar di bulan shafar termasuk bentuk syukur kepada Allah subhanahu wata’ala?

Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (artinya), “Hakikat syukur adalah menegakkan ketaatan kepada Yang memberi nikmat (Allah subhanahu wata’ala) baik dengan amalan hati, lisan atau anggota tubuh.”

Dari sini kita mengetahui bahwa syukur itu diaplikasikan dengan amalan ketaatan. Ketahuilah, suatu amalan tidak akan diterima kecuali jika amalan tersebut memenuhi 2 syarat; ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Sedangkan membuat jenang sapar kemudian membagi-bagikannya, meskipun mungkin pelakunya ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala, tapi amalan tersebut jelas tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga amalan itu pun tertolak sebagaimana sabda beliau (artinya), “Barang siapa beramal dengan amalan yang bukan berasal dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim).

Dengan ini jelaslah, bahwa membuat jenang sapar atau makanan tertentu lainnya dalam rangka bersyukur  kepada Allah subhanahu wata’ala adalah cara yang salah, hal tersebut tidak tergolong amalan ketaatan bahkan tergolong amalan kemaksiatan, karena sang pelaku mengamalkan amalan baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya), “Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Muslim: 867).

Mari kita bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dengan cara yang tepat sesuai ajaran Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam dengan memperbanyak amalan-amalan ketaatan yang disyariatkan seperti shalat, puasa, shadaqah dengan berbagai macam makanan dan harta tanpa mengkhususkan dengan makanan, harta atau waktu tertentu yang mana syariat ini tidak mengkhususkannya.

Wallahu a’lam

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.