Kapan Kembalimu? (Surat untuk Seorang Kawan)

Oleh Muhammad Iffi 3A Takhasus

 

Jika kau ingin menangis, menangislah di bawah derasnya hujan

Bulir airnya membasuh wajah

Agar tidak ada yang tahu, bahwa kau sedang menangis

###

Cepat sekali waktu berlalu, detik berganti hari, hari menyulam bulan, bulan berpilin tahun. Banyak hal terjadi di dalamnya. Antara suka dan duka. Dinamika kehidupan terus memberi warna. Ada harapan ada rasa kecewa. Ada cinta ada benci. Ada suka ada pula sakit hati. Ada pertemanan, pun ada perpisahan. Tapi yang jelas, semua itulah yang mengajari kita banyak hal.

Bukankan kita tak akan menjadi kuat jika tak diuji? Justru dari sakit hati, kekecewaan, dan kebencian itulah kita belajar. Belajar untuk memaafkan, belajar untuk saling mengalah, belajar untuk merelakan. Harapannya, kita semakin siap menghadapi hari-hari mendatang. Kita semakin kuat menerima badai ujian yang terus akan menggempur. Sekarang bolehlah sakit hati, tapi esok kan kita sudah belajar tentang memaafkan?! Biarlah sekarang kecewa, tapi esok kan kita sudah terbiasa melupakan?!

###

Sabtu malam, 21 November 2020, menjadi sebuah epilog dari sebuah kisah panjang yang telah terangkai hampir 13 tahun lamanya. Ya, malam itu menjadi sebuah momen perpisahan, mengakhiri mozaik kehidupan yang tersusun rapi antara aku dan teman belajarku. Dia yang telah hadir dalam banyak cerita perjalanan thalabul ilmi-ku. Sebut saja namanya Muhammad. Yah, semoga saja bukan perpisahan selamanya.

Malam yang sedikit dingin, angin malam berhembus tipis-tipis, tapi cukup membuat seorang kedinginan, lantas mendekapkan tangan ke dada, atau mengenakan pakaian hangat yang dapat mengurangi sedikit rasa dingin yang terasa. Langit gelap pekat, gugus gemintang tak tampak di atas sana. Ya, malam itu langit sedang dirundung mendung, semendung hati orang-orang yang hendak melepaskan kawannya. Sesekali cahaya kilat berkelabat, membuat langit terang sejenak. Menerangi butiran rinai hujan yang mencoba turun dengan malu-malu.

Aku dan beberapa teman lain, sedang berbincang ringan di sebelah timur gedung takhassus. Menunggu kepulangan Muhammad, agar bisa mengiringi kepergiannya sampai dia benar-benar meninggalkan mahad ini. Supir yang akan mengantarnya sedang istrahat sejenak, menyiapkan energi untuk perjalanan yang akan ditempuh.

Di detik-detik kepulangan Muhammad seperti ini, banyak orang berusaha membesarkan hatinya. Dengan sedikit memberi wasiat-wasiat perpisahan, atau dengan mencoba membuatnya tersenyum.

Adiknya (Abdullah) yang juga akan pulang, dia berbincang denganku. Tapi bukan aku yang menguatkannya, justru dialah yang menghiburku. Mengingatkan tentang masa-masa yang telah berlalu. Dia bercerita, “Ketika ana berpamitan dengan para asatidzah. Salah seorang ustadz mengatakan, ‘Abdullah, dulu antum masih kecil, sekarang sudah takmili ya.’ Ustadz yang lain menyahut, ‘Bukan cuman itu tadz, dia dulu ketika MTP  menambah hafalan di halaqahnya ana.’ Sambil tersenyum ringan. Ana (Abdullah) menjawab: ‘Oh iya tadz, waktu itu sampai antum ngasih hadiah buku kisah-kisah. Ana masih ingat tadz.’ Sang ustadz hanya bisa tertawa ringan mendengarnya.” Demikian cerita Abdullah.

Ya, malam itu aku baru ingat, bahwa Abdullah adalah temanku satu halaqah. Kami menghafal Quran pada ustadz yang sama. Sampai akhirnya masing-masing dari kami berhasil menghafal sekian juz Al-Quran. Kisah indah tentang masa lalu kembali terngiang-ngiang. Ya, dia yang mencungkil kisah-kisah itu, kisah tentang indahnya perjalanan thalabul ilmi yang kami lalui. Di malam itu, kami tersenyum mengingat kisah-kisah indah itu, yang mungkin telah terpendam selama kurang lebih 6 tahun.

Setelah lama kami berbincang, Abdullah dan Muhammad dipanggil untuk segera masuk mobil. Ya, sang supir sudah siap menempuh perjalanan mengantarkan Muhammad dan adiknya. Rinai-rinai hujan berubah menjadi gerimis. Tapi tetes airnya tak membuat orang-orang beranjak atau berteduh. Justru mereka mendekati Muhammad. Tak bisa bersalaman apalagi berpelukan, mereka melakukan apa yang bisa dilakukan, yang penting menyimbolkan salam perpisahan. Sebagian dengan menepuk pundaknya, sebagian dengan mencolek badannya, dan lain sebaginya.

Muhammad berdiri di tengah kumpulan orang. Di samping kanan, kiri, dan belakangnya adalah teman-teman yang berusaha menyampaikan salam perpisahannya. Sambil mengiringkan doa dan harapan-harapan agar Muhammad dan adiknya bisa kembali lagi ke mahad tercinta ini. Sebagaimana itu merupakan harapan mereka berdua. Ya, sejatinya mereka tak ingin meninggalkan mahad ini, kalau bukan karena perintah orang tua, dan keinginan untuk berbuat baik kepada keduanya. Mereka telah mengikrarkan janji, akan melakukan upaya sekuat tenaga untuk bisa kembali lagi.

Sebagian dari harapan dan janji itu tertuang dalam untaian puisi yang ia tulis, dan kemudian dimuat di website mahad ini. Sebagiannya pula terekspresikan dari perbuatannya yang tidak mau membawa pulang seluruh barang pribadinya. Atau dari kelakuannya meminjam koper, jaket, dan sandalku untuk dibawanya pulang.

Ya,  dan pada malam hari itu, ia kembali menegaskan janji-janjinya, meluapkan harapannya, serta berterima kasih kepada orang-orang yang paling berjasa baginya di mahad ini. Di saat gerimis yang turun hampir menjadi hujan, dengan dikerumuni kawan-kawan seperjuangan, kata-katanya meluncur bersamaan tetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, “Ana tidak akan melupakan jasa-jasa asatidzah di sini.” Suaranya terdengar berat. Ya, kecamuk di dadanya lebih berat lagi. Ia terus menyebut nama asatidzah satu persatu.

Yang hadir hanya bisa mendengar takzim, hati mereka ikut bergetar, mata mereka ikut berair. “Astidzah di sini, mereka itu zhulimu (terzhalimi).” Kata-katanya terus meluncur deras. Ia tak pernah diminta untuk melontarkan kata-kata itu. Aku, sebagai salah satu yang hadir, pun tak menyangka bahwa dia akan mengucapkannya di detik-detik perpisahan seperti ini. “Dan orang-orang di luar, mereka itulah yang zalim.” Gerimis yang turun benar-benar berubah menjadi hujan, membasahi wajah-wajah, menyamarkan goresan air mata pilu, yang mengalir membasahi dagu.

“Iya, Muhammad! Kami menjadi saksi atas ucapan antum! Kami semua saksinya.” Salah satu yang hadir memberikan respon. Lengang sejenak. Muhammad menghentikan kata-katanya, tapi aku yakin, masih banyak sekali hal yang ingin ia lampiaskan, terutama di hari-hari terakhir ini. Jika ia meluapkan semuanya, mungkin itu lebih banyak dari derai hujan yang turun di malam itu.

Hujan yang turun semakin deras, membuat kami terpaksa bubar. Muhammad dan adiknya segera menaiki mobil. Sementara kami mencari tempat teduh, sambil menunggu mobilnya melintas. Aku berlindung di bawah kanopi bangunan yang ada di depan sakan takhossus. Bingung, tidak mengerti apa yang berkecamuk di hati ini.

Dan di saat mobilnya melintas di depan kami, ia melambaikan tangan. Diikuti lambaian tangan lainnya membalas. Yang jelas, kami semua satu harapan, semoga esok bisa berjumpa kembali. Jika memang tak bisa di tempat yang sama seperti sekarang, semoga di surga-Nya kita bertemu.

Mobilnya berjalan pelan mendakati portal (pintu masuk pondok), makin lama ia semakin jauh dari kami. Lampu kuning utamanya menyorot, menampakkan butir hujan deras yang jatuh. Kami masih dapat melihat mobilnya, sampai cahaya lampu remnya hilang di tikungan portal. Menyisakan suara gemericik hujan yang turun bertubi-tubi.

###

Sudah hampir 13 tahun aku berkawan dengan Muhammad. Menjalani lika-liku thalabul ilmi di mahad ini. Menorehkan cerita indah, tentang santri yang berjuang sejak dini. Ya, sejak usia enam sampai tujuh tahun, di kelas satu MTP, kita memulai prolog perjalanan panjang, yang ketika itu aku tak tahu kapan akan ada epilognya.

Mungkin ketika itu aku tidak begitu akrab dengannya. Karena dia tinggal di asrama pondok, sementara aku bisa pulang pergi ke rumah setiap harinya. Wajar bila kami tidak begitu saling mengenal. Tapi setidaknya kami saling mengerti cerita satu sama lain.

Berlanjut di jenjang tahfizh selama tiga tahun. Suka duka dilalui bersama. Bukannya tak ada masalah, bukannya tak ada perselisihan. Tapi justru dari situlah kami semakin akrab, semakin mengenal satu sama lain. Banyak sekali cerita yang telah tertorehkan, antar kami dengan teman-teman yang lain, ataupun dengan musyrif. Ya, banyak sekali kisah kebersamaan kami dengan musyrif, terutama salah satu musyrif yang senang menghibur kami.

Mungkin Muhammad masih ingat, ketika kami satu kelas hendak mengadakan acara masak-masak. Salah satu dari kami ingin mencicipi santan yang sudah diperas. Namun ia ditegur oleh musyrif, “Eh, jangan dimakan. Nanti ususnya lambung.” Sontak sekelas tertawa mendengar ucapannya. Entah, dari mana dia mendapat kosa kata ‘usus lambung’. Yang kami tahu mungkin usus buntu, usus sakit maag, dan sebagainya. Tapi pada hari itu, kami mendapat kosa kata baru, ‘usus lambung’, yang akan terus kami ingat nantinya.

Mungkin dia juga masih ingat, ketika kami sebagian teman sekelasnya sengaja berbuat usil kepadanya, dengan meletakkan gulungan seng berwarna kuning isi meteran tukang di tempat pensilnya. Gulungan itu, karena ia merupakan lempengan panjang yang terbuat dari seng, jika setelah digulung ujungnya dilepaskan, maka ia akan semburat, gulungannya terurai dan melompat ke sana-sini, mengeluarkan bunyi kemerincing yang mengagetkan.

Setelah kami masukkan gulungan tadi di tempat pensilnya, dan ujungnya otomatis tertahan bila tempat pensil itu tertutup, kami menunggu Muhammad membuka pensilnya. Dan di saat ia membuka tempat pensilnya, “Krocak.. Krocak.” Gulungan itu semburat keluar, melompat liar, suaranya membuat Muhammad kaget tak tertahankan. Kami yang menonton hanya bisa tertawa puas melihat ekspresi wajahnya.

Pertemananku dengan Muhammad semakin akrab, ketika kami sama-sama diberangkatkan ke Perawang untuk belajar banyak hal di sana, bersama tiga teman lainnya. Belajar untuk dewasa, belajar tentang tarbiyah, bersosial, mengatasi problem, dan lain sebagainya. Banyak sekali warna yang kami goreskan, atau yang mewarnai perjalanan kami selama di sana. Kisah-kisah indah bersama para asatidzah dan ikhwan-ikhwan setempat, maupun bersama anak didik yang menyisakan banyak kenangan berharga. Sebagiannya telah ia tuangkan dalam artikelnya yang berjudul, ‘Indahnya Persaudaraan Seiman, Walau tak Saling Berdampingan’.

Mungkin dia masih ingat, tentang kebiasaannya di sana mencari bekicot, untuk kemudian dimasak dengan berbagai olahan. Anak-anak setempat merasa heran dengan kebiasaan tersebut. Pasalnya, hampir tidak ada orang sana yang mengolah bekicot untuk dijadikan makanan. Sampai suatu saat, ketika Muhammad sedang memasak bekicot, seorang anak berkomentar, “Apalah ustadz ini.. Ustadznya kelaparan.. Macam nggak ada makanan lain aja?!”

Yang lain lagi mengatakan, “Eh, apa enak tadz?” Muhammad hanya bisa tersenyum, lantas setelah masakannya matang ia menjawab, “Nih, coba kamu rasain.” Anak tadi mengambil sepotong, memasukkannya ke dalam mulut. Lalu setelah makanan ‘aneh’ tadi ditelan, ia mengatakan, “Uh. Enak tadz.. Mau lagi tadz.”

Mungkin Muhammad juga masih ingat, tentang kebiasaan (bukan rutinitas) di pagi hari. Sambil menikmati udara sejuk, menunggu anak-anak datang ke sekolah, biasanya kami memunguti sampah-sampah sedapatnya, untuk kemudian dibakar. Ya, dinginnya pagi langsung menjadi hangat dengan berdiam diri di sekitar api, sambil mendengar lantunan adzan merdu dari speaker yang diputar.

Mungkin dia juga ingat, dengan kebiasaan mengambil buah kersen, setelah berhasil menidurkan anak-anak di siang hari. Atau kisah ketika tiba-tiba di pagi hari setelah bangun tidur, kami tidak lagi mendapati mesin cuci berada di tempatnya. Padahal sebelumnya di dalam mesin cuci itu terdapat beberapa helai baju yang rencananya akan dicuci ketika esok hari.

Di pagi harinya kami silang pendapat, kemanakah raibnya mesin cuci itu. Sebagian kami memberi kemungkinan-kemungkinan, “Oh, itu kemarin kan dipinjam sama banat, sudah kembali belum?” Sebagian lagi sok menjadi detektif, “Mesin cuci sebesar itu, gimana cara membawanya?! Kalau lewat pintu kecil di sini nggak mungkin. Lagian mesin cuci kan berat, apa pencurinya ada dua orang?!” Sebagian yang lain lagi malah sudah menemukan barang lainnya yang hilang, tabung gas dan kipas angin, beserta sandal eigerku yang baru beli seminggu lalu.

Setelah diskusi yang panjang dan menghabiskan waktu, akhirnya kami memutuskan saja untuk menyusuri setiap akses yang kira-kira bisa dilalui untuk mengambil mesin cuci. Salah satunya adalah kebun sawit di samping pondok, kami berjalan menyusuri jalan setapaknya. Tiba-tiba salah satu dari kami melihat sekitar 15 meter di depan matanya, sekilas seperti kain yang tergeletak. Setelah didekati, ternyata memang benar, itulah pakaian yang sebelumnya berada di dalam mesin cuci itu. Dibuang begitu saja di atas tumpukan pelepah sawit oleh pencurinya. Setelah itu, kami baru yakin, bahwa memang barang-barang itu dicuri.

Dan masih banyak lagi kenangan kami selama di sana, yang tak mungkin disebutkan satu persatu. Berat sebenarnya bagi kami untuk meninggalkan Perawang. Tapi perjalanan thalabul ilmi kami masih belum berakhir, kami harus balik ke Mahad Minhajul Atsar Jember, melengkapi rangkaian mozaik perjalanan thalabul ilmi di sana.

Dan di sini, di Mahad Minhajul Atsar ini, kami bersama memulai kembali giat thalabul ilmi. Pertemananku dengan Muhammad semakin akrab lagi, karena beberapa kali kami saling setor hafalan al-Quran, matan, berdiskusi tentang pelajaran, maupun bertaawun bersama. Tak terasa, hampir tiga tahun kami lewati bersama di jenjang Takhassus ini. Menyisakan banyak cerita dan kenangan, yang patut disimpan rapi dalam memori ingatan, semoga menjadi persaudaraan yang saling mencintai karena-Nya.

Diantara yang paling teringat adalah kisah kami ketika PKL di mahad dua. Suka duka selama di sana, nuansa kebersamaan yang terasa, di tengah kesibukan menanam dan merawat tanaman yang setiap hari kami lakukan. Sampai suatu ketika, di saat kami sedang berkumpul santai, sambil makan malam bersama teman satu rumah tinggal, berbagi kehangatan, bercengkarama ria sembari menunggu nasi di piring habis dimakan, Muhammad meluncurkan kata-kata dari lubuk hati terdalamnya, “Masya Allah, baru kali ini ana merasakan persaudaraan yang sebenarnya.”

Sebenarnya merupakan kata-kata mengharukan, yang akan terus teringat dalam kenangan. Tapi karena memang yang mendengar tidak ingin suasana santainya mendadak berubah menjadi serius, akhirnya malah menjadi candaan, “Terus, selama 12 tahun antum di sini, apa itu bukan kebersamaan?”

Muhammad juga merupakan teman satu timku ketika ronda malam. Kami biasa membuat aneka masakan, untuk dijadikan sebagai teman bergadang sampai subuh. Di situlah kami sering bertukar cerita, mencurahkan isi hati, atau sekedar membuka kembali album-album kenangan yang telah di lalui selama sekian tahun.

Bahkan terkadang, tidak cukup kami berbincang pada waktu ronda tersebut, namun berlanjut setelah subuh, di sebuah bangunan yang agak tinggi, tempat tandor air yang ada di salah satu rumah tinggal. Dari situ kami dapat memandang hamparan sawah yang terbentang di kanan-kiri, menikmati udara dingin sambil menantikan kehangatan semburat mentari dari arah timur di belakang kami.

###

Ini sudah hampir masuk tahun ketiga belas aku berkawan dengannya. Kami saling mengenal satu sama lain, dia adalah teman baik sekaligus teladan bagiku, juga bagi teman-teman yang lain. Semangat ibadahnya menjadi motivasi bagi orang untuk menirunya. Dan yang paling kukagumi darinya adalah, karena dia adalah orang yang sangat mudah bergaul. Cara dia mengakrabi orang yang belum dikenal, membuat orang tersebut begitu menaruh simpati padanya. Aku menjadi saksi hidup atas sifatnya yang satu ini.

Bayangkan saja, dahulu saat kami masih sama-sama di Perawang, ketika itu pondok mengadakan kegiatan daurah, mengundang salah satu asatidzah dari Jawa. Para ikhwah berdatangan dari berbagai daerah, yang dekat maupun yang jauh. Muhammad-lah yang paling aktif menyambut tamu-tamu itu, berbincang dan menyapa meraka.

Sampai suatu pagi, sebelum kegiatan daurah dimulai, ia berkenalan dengan seorang ikhwan, yang entah aku lupa dari mana asalnya. Dia mengajak ngobrol sang ikhwan di sudut selasar masjid bagian timur, mulai bakda shubuh sampai hampir mendekati pukul delapan. Dari pertemuan yang singkat tersebut, sang ikhwan bersimpati kepadanya, dan langsung memberinya sebuah pemberian yang sangat besar nilainya. Hanya dari sebuah pertemuan singkat, yang entah kapan lagi bisa bertemu, jika bukan di surga nanti, InsyaAllah.

Ya, aku menjadi saksi atas sifat-sifatnya selama ia menjalani thalabul ilmi bersamaku. Dan kini, ia telah membuat epilog dari semua perjalanan panjang yang telah disebutkan di atas. Aku tahu, bahwa dia mungkin tak sampai hati ketika meletakkan epilog kisah nya, dan itu bukan kemauan yang betul-betul merupakan pilihannya. Kalau bukan karena maslahat yang sangat banyak, mungkin ia betul-betul tak akan membuat epilog tersebut.

Tapi tak mengapalah, janjinya untuk kembali masih tergadaikan di tanganku. Aku hanya bisa mendoakan, semoga ia diberi keistiqamahan diatas kebenaran, sampai akhir hayatnya. Semoga ia diberi kekuatan menghadapi badai fitnah yang menggempurnya.

Aku tahu dia itu keras kepala dan kokoh di atas pendirian, semoga tabiat tersebut berguna baginya, dalam menghadapi ujian yang menghujaninya, untuk bisa kokoh di atas al-haq, Amin.

Mungkin Anda juga menyukai

6 Respon

  1. Rijalun ghodan berkata:

    Bismillah
    Semngat kawan !
    Salam dari metro lampung

    • Admin 2 berkata:

      Jazakumullahukhairan

      Semoga Antum juga tetap semangat belajar walaupun di rumah.

      Semoga Allah menjaga kita semua, salafiyyin dan putra-putri salafiyyin, di atas istiqamah.

      Amiin

  2. Sentralracket berkata:

    Istiqomah di atas al-haq… dibawah bimbingan para ‘ulama… & tidak terbelenggu dalam fanatisme & berita sefihak…

  3. Tsabit berkata:

    Pmbawa al haq pasti ditolong..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.