PRINSIP DAN ADAB DALAM BERDAKWAH

بسم الله الرحمن الرحيم

MUHADHARAH  BERSAMA AL-USTADZ ABU ABDILLAH AFIFUDDIN AS-SIDAWI

(Pengasuh Ma’had Al-Bayyinah, Sidayu, Gresik)

(Dalam Kunjungannya ke Ma’had As Salafy Jember, 9 November 2008)

PRINSIP DAN ADAB DALAM BERDAKWAH

  • Salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah As-Salafiyyin adalah upaya amar ma’ruf nahi munkar yaitu memerintahkan kebaikan kepada segenap manusia dan melarang mereka dari segenap kemungkaran. Allah Tabaraka wa Ta’ala sebutkan hal ini dalam firman-Nya:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104) [آل عمران/104]

“Hendaklah ada dikalangan kalian (wahai kaum muslimin) sejumlah orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhubahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda:

« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ »

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim no. 49]

  • Bagian terpenting dari upaya amar ma’ruf nahi munkar ini adalah dengan berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah U. Hal ini juga sebagai ciri khas dari setiap nabi dan rasul yang Allah utus. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tugas utama para rasul sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” (An-Nahl: 36)

  • Upaya dakwah ini haruslah dibangun di atas bashirah (‘ilmu dan hujjah yang nyata). Hal ini sebagamana Allah tegaskan dalam kalam-Nya yang mulia:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (108) [يوسف/108]

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata), Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

Di antara ahli tafsir ada yang menafsirkan ayat ini, bahwa salah satu ciri pengikut rasul adalah : mereka berdakwah/menyeru kepada agama Allah di atas bashirah.

  • Fadhilah (keutamaan) berdakwah di jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala:

1.       Orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah (du’at), mereka adalah orang yang paling bagus ucapan, keterangan, dan perbicaraannya jika disertai amal shalih kepada Allah.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) [فصلت/33]

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat: 33)

2.       Dakwah yang menyebabkan hidayah dan taufik untuk satu orang, lebih baik dari pada dunia dan seisinya.

Hal ini ditegaskan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallamdalam haditsnya yang diriwayatkan dari shahabat Sahl bin Sa’d As-Sa‘idi radhiallahu ‘anhutentang kisah ‘Ali bin Abi Thalib yang diutus ke Khaibar. Pada akhir hadits tersebut Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda:

« … فَوَاللهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ » .

“….demi Allah kalau seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang lewat perantara kamu, maka itu lebih baik bagimu dari pada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaqun’alaihi) [1])

Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Para Da’i Ketika Berdakwah

1. Talaqqi Ilmi (menimba ilmu) sebelum dan ketika berdakwah

Sebagaimana hadits:

« طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ »

“Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi setiap pribadi muslim.” [HR. Ibnu Majah] [2])

2. Ushul Talaqqi (hal-hal yang harus diperhatikan oleh para penuntut ilmu ):

a)       Niat yang ikhlas karena mengharap ridha Allah

« إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، … »

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan masing-masing orang akan diberi pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [Muttafaqun ‘alaih] [3])

Menuntut ilmu dia niatkan untuk menolong agama Allah, menghilangkan kejahilan, dan untuk dia amalkan. Bukan hanya sekedar untuk dikatakan hafizh, da’i, ustadz, atau untuk berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, mendebat para ulama, atau untuk mendapatkan sedikit dari urusan dunia ini. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda :

« مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ »

“Barangsiapa yang menuntut ilmu karena hendak mendebat para ‘ulama, atau berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, atau ingin perhatian orang tertuju pada dirinya, maka Allah akan masukkan ia ke dalam an-nar (neraka).” [HR. At-Tirmidzi] [4])

b) Taqdimu al-ahammi fal aham (mendahulukan yang terpenting kemudian yang penting berikutnya) dalam menuntut ilmu. Artinya dalam menimba ilmu tidak bisa langsung loncat tangga. Perlu tahapan demi tahapan, karena ilmu agama ini -sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama- bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menguasai semua bidang ilmu. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلاً (85) [الإسراء/85]

“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

  • Tahapan-tahapan dalam menuntut ilmu yaitu:
  1. Hifzhul Qur’an khususnya di usia muda.
  2. Menggali ushulul fan (kaidah masing-masing bidang ilmu). Seperti kata para ulama;

مَنْ حُرِمَ الأُصُولُ حُرِمَ الوُصُولُ

“Barangsiapa yang meninggalkan ushulul ilmi (prinsip-prinsip dasar ilmu), maka dia  akan diharamkan untuk sampai pada ilmu tersebut.”

Ushul ilmu ini contohnya; ushul fiqh, ushul hadits, dan sebagainya.

  1. Berenang di lautan ilmu para ulama dengan pondasi ilmu yang sudah mapan.
  2. Sabar dan sungguh-sungguh dalam belajar.

–          Kata pepatah

مَنْ ثَبَتَ نَبَتَ

“Barangsiapa yang kokoh ilmunya, maka dia akan menghasilkan ilmu tersebut.”

Jangan sampai ilmu kita tadawwuq yaitu hanya sekedar mencicipi ilmu tersebut tanpa mau serius dan sabar. Misalnya, sering pindah-pindah pondok atau berpindah-pindah pelajaran sebelum dia faham benar. Orang  yang seperti tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat selamanya.

  1. Mengambil ilmu dari ahlinya.

–          Orang yang kamu ambil ilmunya harus shahibus sunnah (orang yang berpegang pada as-sunnah), bukan dari ahlul hawa (pengikut hawa nafsu). Karena ilmu ini adalah agama sebagaimana kata Ibnu Sirin

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ!

“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.” [5])

–          Orang yang berdakwah tetapi tidak disertai ilmu yang mapan, maka dia akan lebih banyak merusak dakwah dari pada memperbaikinya. Oleh karenanya bagi seseorang yang merasa belum mampu untuk berdakwah karena ilmunya belum mapan dan belum pas, maka hendaknya dia mengetahui kadar dirinya. “Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar dirinya.”

3. Harus menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi segenap kaum muslimin dan mad’u-nya (orang yang dia dakwahi)

–          Jangan sampai ucapan dia menyelisihi amalannya atau sebaliknya amalannya menyelisihi ucapannya. Allah subhanahu wata’ala mengancam orang-orang yang berkata tetapi dia tidak mengamalkan apa yang dia katakan itu, sebagaimana dalam kalam-Nya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ (3) [الصف/2، 3]

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash-Shaf : 2-3]

–          Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallamjuga telah mengabarkan bagaimana kesudahan orang-orang yang mengajak kepada kebaikan tetapi ternyata dia sendiri tidak mau mengerjakan kebaikan tersebut. Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari shahabat Abu Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhubahwa Rasulullah menceritakan bahwa nanti di An-Naar ada seseorang yang diadzab oleh Allah dalam keadaan terurai isi perutnya dan dia menarik-nariknya. Kemudian para penduduk An Naar mengerumuninya dan mengatakan; “Wahai fulan, bukankah engkau di dunia dahulu memerintahkan kepada kami perkara kebaikan dan melarang kami dari perkara kejelekan? Jawabnya; “saya dahulu memerintahkan kebaikan tetapi tidak saya kerjakan, dan saya dahulu melarang kalian dari perkara kejelekan, tetapi justru saya yang melaksanakan.”

–          Dalam hadits yang mulia di atas terkandung tanbih (peringatan) bagi orang-orang yang melanggar apa yang dia sampaikan sendiri. Oleh karenanya seorang da’i harus menjadi uswatun hasanah bagi kaum muslimin dalam segala aspek.

4. Harus benar-benar mengajari kaum muslimin dakwah yang sesungguhnya yaitu berdakwah kepada Allah, bukan berdakwah kepada kelompoknya atau golongannya.

Sebagaimana dalam firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ [يوسف/108]

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku berdakwah ke jalan Allah di atas bashirah (ilmu).” (Yusuf: 108)

Dan juga firman-Nya:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ [النحل/125]

“Berdakwahlah ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”(An-Nahl: 125)

Perhatikan, Allah memerintahkan untuk berdakwah ke jalan-Nya. Menunjukkan bahwa dakwah ini bukanlah untuk kepentingan dunia, dakwah mengajak kepada kelompok atau golongan, dsb. Dakwah, adalah mengajak orang ke jalan Allah.

5. Harus mendidik umat agar menjadi ummatul ittiba’ (umat yang selalu mengikuti jalannya Rasulullah), bukan menjadi ummatut taqlid wa ta’assub (umat yang hanya membebek tanpa hujjah yang jelas)

Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا [آل عمران/103]

“Dan berpegangteguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”(Ali Imran:103)

Dan juga firman Allah Azza wa Jalla:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ [الأنعام/153]

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al An’am: 153)

Sehingga seorang da’i haruslah mengajari umat untuk selalu berpegang kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah jika mendapati suatu masalah. Bukan mengajari mereka untuk taqlid dan ta’assub. Karena kita tidak boleh untuk mengikuti seseorang kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

6. Senantiasa menghubungkan dan mengenalkan umat dengan para ulama-nya.

Hal ini sebagai perwujudan dari perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) [النحل/43]

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (An Nahl: 43)

–          Para ulama adalah para pembawa ilmu yang merupakan warisan dari para anbiya’, sehingga jika umat dipisahkan dari para ulama-nya, maka berarti mereka juga dipisahkan dari ilmu agamanya dan tentunya ini adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kehancuran umat.

–          Kecintaan kepada para ulama adalah salah satu ciri khas dari Ahlus Sunnah, sedangkan kebencian dan permusuhan kepada para ulama adalah ciri dari para pengekor hawa nafsu.

–          Tetapi kecintaan Ahlus Sunnah kepada para ulamanya dibangun di atas tarbiyah ittiba’, bukan dibangun di atas tarbiyah taqlid.

7. Ikhlaskan niat dalam berdakwah hanya untuk mencari ridha Allah semata. Bukan untuk mengharapkan pujian dan balasan dari orang lain.

–          Allah Tabaraka wa Ta’ala ceritakan tentang dakwah para nabi dan rasul ketika mereka berkata kepada kaumnya:

وَيَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ [هود/29]

“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29)

–          Dakwah adalah ibadah dan amanah dari Allah, bukan untuk dijadikan alat mencari dunia.

8. Semua syarat-syarat di atas akan semakin indah jika dibungkus dengan sifat lyn wa rifq (lemah lembut) pada diri setiap da’i.

Allah I berfirman :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) [آل عمران/159]

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali ‘Imran : 159]

Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda :

« إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ »

Sesungguhnya Ar-Rifq (sikap lembut) tidaklah ia ada pada sesuatu kecuali ia akan membuatnya indah, dan tidaklah dicabut Ar-Rifq dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek. [HR. Muslim] [6])


[1] HR. Al-Bukhari no. 2942, 3009, 3710, 4210; Muslim no. 2406.

[2] HR. Ibnu Majah no. 224, dari shahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 224.

[3] HR. Al-Bukhari no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6953; Muslim no. 1907. dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab.

[4] HR. At-Tirmidzi no. 2654, dari shahabat Ka’b bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2654.

[5] Driwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah Shahih-nya.

[6] HR. Muslim no. 2594, dari shahabat ‘Aisyah h.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.