Menjilat Jari Tangan setelah Makan
Maha benar Allah rabbul ‘alamin yang telah berfirman dalam sebuah ayat-Nya yang mulia:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Jika kalian berusaha menghitung nikmat Allah yang ada pada kalian, sungguh kalian tidak akan mampu untuk menghitungnya.” Ibrahim: 34
Para pembaca rahimakumullah, betapa banyak nikmat Allah yang telah Dia anugerahkan kepada kita, sungguh tidak terhingga dan tidak terhitung jumlahnya. Mulai dari nikmat yang bisa dirasakan oleh panca indera kita hingga nikmat yang tidak teraba. Alhamdulillah. Tentunya semua itu menuntut dari kita untuk bersyukur atasnya.
Salah satu dari nikmat yang ada adalah nikmat berupa makanan. Diantara bentuk syukur seseorang atas nikmat ini adalah menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah. Demikian pula dalam proses dan cara pemanfaatannya dari awal hingga akhir, wajib bagi dirinya untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan dan dibimbangkan oleh Allah dan rasulNya.
Maka diantara bimbingan syariat terkait proses dan cara pemanfaatan nikmat makanan ini adalah sebagaimana tersebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا
“ Jika salah seorang diantara kalian memakan suatu makanan (dengan tangannya secara langsung tanpa menggunakan alat bantu) maka janganlah dia mengusap (lap) tangannya (setelah makan dengan sapu tangan, tisue dan yang semisal) hingga dia menjilat tangan tersebut atau menyodorkannya kepada orang lain agar orang tersebut menjilatnya.” HR. al Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits ini terkandung salah satu dari sekian adab seorang mukmin ketika makan, yaitu menjilat tangan yang dia gunakan untuk makan atau menyodorkan kepada orang lain tangan tersebut untuk dijilat.
Para pembaca rahimakumullah, sebelum kita bahas lebih jauh, perlu kita tanamkan pada benak kita bahwa segala hal yang datang dari nabi adalah kebaikan. Kita harus yakin bahwa syariat yang beliau bahwa penuh dengan hikmah dan sesuatu yang mungkin serta pasti. Sudah semestinya bagi jiwa raga seseorang untuk menerima seluruh kabar yang dibawa oleh rasul. Beliau tidaklah mungkin berkata dan mengajarkan kepada umatnya suatu perkara yang tidak ada faidahnya, hampa begitu saja apalagi main-main sehingga jiwa ini tidak dapat menerimanya karena beliau tidaklah berucap melainkan kebenaran dan sesuai dengan jiwa dan fitrah manusia. Yang kita lakukan terhadap syariat beliau hanyalah sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat) tanpa perlu, bimbang apalagi mengingkari.
Maka demikian pula pembahasan kita kali ini. Adalah suatu hal yang mungkin bagi seseorang untuk menjilat tangannya yang dia gunakan untuk makan atau menyodorkannya kepada yang lainnya agar dijilat. Dijilat oleh orang lain, apa mungkin? Ya, sangat mungkin sekali dan pasti. Salah satu contohnya ketika hal ini dilakukan oleh pasutri atau seorang ayah kepada anaknya yang semuanya itu bukti nyata cinta dan kasih sayang sejati diantara mereka. Bukankah begitu?
Namun sungguh sangat disayangkan banyak dari kaum mukminin yang tidak mengerti sunnah yang satu ini. Yang lebih menohok hati ada sebagian pihak dari kalangan kaum muslimin sendiri yang tidak mau menerima hadist ini dengan alasan tidak masuk akal dan tidak cocok dengan hatinya, menilainya sebagai suatu yang “menjijikkan”. Ada pula sebagian pihak yang sebenarnya tidak menolak hadits ini dan semisalnya namun dalam praktek kesehariannya jauh dari apa yang diharapkan bahkan minder,malu dan phobi. Justru adat dan kebiasaan orang-orang barat (baca;kafir) yang mereka pamerkan dan bangga-banggakan. Padahal baginda nabi telah mewanti-wanti:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia terhitung sebagai kaum tersebut.” HR. Abu Daud.
Untaian Faidah
Para pembaca rahimakumullah, dari hadits di atas bisa kita petik beberapa untaian faidah berharga:
- Jika seseorang mengamalkan hadits ini maka pada hakikatnya dia telah bersyukur kepada Allah untuk nikmat ini. Bukankah jika tangan yang digunakan tersebut tidak dijilat namun langsung dilap atau dicuci menyebabkan sisa makanan yang sebelumnya masih menempel tidak berharga dan tidak memiliki harga serta kehormatan lagi? Terlebih jika telah tercampur dengan benda kotor lainnya. Maka yang demikian itu salah satu bentuk kufur atas nikmat makanan.
- Bahwa makan dengan menggunakan tangan lebih utama ketimbang dengan selainnya. Hal ini tersebutkan dari lafazh “janganlah dia mengusap tangannya”. Ini menunjukkan bahwa yang bersentuhan secara langsung dan menjadi alat ketika makan adalah tangan. Lalu bagaimana jika menggunakan sendok dan yang semisal? Sebagian ulama memperinci permasalahan ini. jika dia menggunakan sendok karena sifat sombong/gengsi atau sekedar bergaya maka yang demikian ini hukumnya makruh. Adapun jika memang ada uzur baginya misalkan jika tangannya sedang sakit atau hidangannya masih panas maka tidak mengapa baginya untuk menggunakan sendok. As syaikh ibn Utsaimin pernah bercerita bahwa ada seseorang yang ditanya oleh yang lain mengapa tidak menggunakan sendok ketika makan. Dia menjawab “Aku makan dengan menggunakan sendok yang tidak digunakan oleh orang lain (yakni tangannya). Aku tahu dengan pasti akan kebersihannya. Sementara kalian makan dengan sendok yang semua orang menggunakannya dan banyak mulut telah menyentuhnya.”
- Hadits ini termasuk hadits yang berisi hasungan kepada seorang mukmin untuk menjaga kebersihan diri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keterangan pada masa rasulullah tentang mengusap tangan setelah makan. Bukan berarti setelah diusap tidak diperkenankan adanya pembersihan berikutnya karena terkadang ada makanan tertentu yang membutuhkan lebih dari sekedar mengusap, seperti makanan yang mengandung minyak yang membutuhkan air dan sabun dalam proses pembersihannya.
- Dijelaskan oleh para ulama bahwa seseorang yang mengamalkan amalan ini yaitu menjilat tangan yang digunakan untuk makan setelah selesai menyantap makanan menunjukkan akan ketawadhu’an dirinya.
- Dibolehkannya untuk menawarkan dan menyodorkan tangan yang telah digunakan makan kepada orang lain untuk dibersihkan dengan cara dijilat. Mungkin ada yang sebagian orang yang menyatakan bahwa amalan ini tidak pantas dan sesuai dengan kebudayaan bangsa atau daerah kita. Maka kita katakan bahwa kebudayaanlah yang harus mengikuti syariat bukan sebaliknya. Jika masing-masing dari kita mau mengamalkan amalan ini dalam kesehariannya maka amalan ini akan menjadi adat kebiasaan dan bukan suatu hal yang aneh apalagi tidak sesuai dengan kebudayaan dan tata krama. Tentunya praktek amalan ini perlu memperhatikan pula kondisi dan situasi, dilakukan jika memang tidak menimbulkan mudharat/kejelekan. Jika ternyata ditemukan adanya mudharat misalnya terdapat luka di tangan tersebut yang tidak memungkinkan untuk dijilat oleh orang lain atau mungkin pada mulut orang lain tersebut terdapat penyakit maka pada keadaan seperti ini amalan tersebut tidak seharusnya dilakukan agar tidak timbul mudharat, kerugian dan juga penyakit.
- Yang dimaksud dengan makanan dalam hadits ini yaitu makanan yang dapat menempel ke tangan ketika dimakan. Adapun makanan yang tidak menempel di tangan tidak perlu untuk dijilat seperti kurma kering atau yang lainnya.
- Hikmah amalan sunnah ini adalah harapan mendapatkan barakah dari makanan yang dimakan. Tidak ada seorangpun yang tahu dimana letak barakah dari makanan yang dia makan, sehingga bisa jadi pada sisa makanan yang dijilat itu letak barakah dan mengandung banyak manfaat dibandingkan makanan yang telah dimakan sebelumnya.
Rasulullah bersabda:
لَا يَمْسَحْ أَحَدُكُمْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ
“Janganlah salah seorang dari kalian mengusap tangannya kecuali setelah menjilatnya karena sesungguhnya dia tidak tahu dimana letak barakah makanan tersebut.” HR. Muslim, Ibn Majah dan yang lainnya.
Al imam an Nawawi dalam syarah shahih Muslim ketika menjelaskan hadits-hadits yang berkaitan dengan menjilat tangan beliau menyatakan; “ Pada hadits-hadits ini terdapat beberapa sunah ketika makan diantaranya yaitu diperbolehkannya (mustahab) menjilat tangan dalam rangka menjaga barakah makanan dan juga untuk kebersihan tangan.”
Bahkan dalam dunia kedokteran sendiri telah terbukti bahwa di ujung jari jemari tangan terkandung enzim yang membantu proses pencernaan makanan di dalam tubuh. Terlepas dari ini, yang terpenting bagi kita adalah meyakini kebenaran hadits ini dan mengamalkannnya dengan berharap pahala, baik ditemukan adanya hikmah secara medis ataukah tidak.
Para pembaca rahimakumullah, dari uraian di atas kita mengetahui bahwa menjilat tangan setelah makan atau dijilat oleh orang lain adalah bagian dari sunnah sehingga sudah seharusnya bagi kita mengamalkan sunnah tersebut. Terlebih disana ada dari kalangan para ulama yang berpendapat bahwa amalan ini bersifat wajib, tidak sekedar mustahab.
Maka amalkan hadits ini! Bisa jadi ada orang-orang disekitar kita mendapatkan taufik dari Allah untuk juga mengamalkannya dengan sebab melihat kita mengamalkannya dan kitapun menjadi pencetus kebaikan umat dan penghidup cahaya sunnah yang kian meredup. Mereka mendapatkan pahala dan kitapun mendapatkan pahala dari amalan kita dan amalan mereka. Allahu ta’ala a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.
Maraji’:
- Syarah Riyadhush shalihin ibn Utsaimin
- As silsilah ash shahihah no. 391
- Fathu dzil jalali wal ikram kitabul jami’
- Fatawa nur ‘ala ad darbi ibn ‘Utsaimin