Nama Allah ash-Shomad

Oleh Abu Abdillah Anton Purbalingga kelas 4B Takhasus
Di antara nama Allah adalah ash-Shamad yang mengandung sifat ash-Shamadiyah (Tempat bergantung segala sesuatu). Nama ash-Shamad hanya terdapat dalam surat al-Ikhlas. Allah ta’ala berkata,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِى وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي؛ وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّاىَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا، وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفْأً أَحَدٌ
Allah berkata, “Anak Adam telah berdusta terhadapku, padahal tidak boleh baginya berbuat seperti itu. Ia juga mencerca-Ku, padahal tidak boleh baginya berbuat seperti itu. Adapun kedustaannya terhadap Aku adalah ucapannya, ‘Allah tidak akan menghidupkan aku kembali seperti saat Dia mengawali kehidupanku.’ Padahal awal penciptaan tidaklah lebih mudah daripada membangkitkannya kembali.
Adapun cercaannya terhadap-Ku adalah ucapannya, ‘Allah telah menjadikan anak bagi diri-Nya.’ Padahal Akulah yang Maha Esa, tempat bergantungnya para makhluk. Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Aku tidak memiliki tandingan sesuatu pun.” (HR. Al-Bukhari no. 4974)
Makna ash-Shamad
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan makna ash-Shamad,
يَعْنِي الَّذِي يَصْمُدُ الْخَلَائِقُ إِلَيْهِ فِي حَوَائِجِهِمْ وَمَسَائِلِهِمْ.
“Ash-Shamad adalah Dzat yang menuju (atau bergantung) kepada-Nya semua makhluk dalam segala kebutuhan dan permohonan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Beliau radhiyallahu ‘anhuma juga menjelaskan,
هُوَ السَّيِّدُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي سُؤْدَدِهِ، وَالشَّرِيفُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي شَرَفِهِ، وَالْعَظِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي عَظْمَتِهِ، وَالْحَلِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِلْمِهِ، وَالْعَلِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي عِلْمِهِ، وَالْحَكِيمُ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي حِكْمَتِهِ وَهُوَ الَّذِي قَدْ كَمُلَ فِي أَنْوَاعِ الشَّرَفِ وَالسُّؤْدَدِ، وَهُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ، هَذِهِ صِفَتُهُ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لَهُ، لَيْسَ لَهُ كُفْءٌ، وليس كمثله شيء، سبحان الله الواحد القهار.
“Ash-Shamad adalah Penguasa yang sempurna keagungan-Nya, Yang Maha Mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, Yang Maha Agung yang sempurna keagungan-Nya, Yang Maha Penyantun yang sempurna kesantunan-Nya, Yang Maha Berilmu yang sempurna keilmuan-Nya, Yang Maha Bijaksana yang sempurna kebijaksanaan-Nya.
Dialah yang Maha Sempurna dalam segala kemuliaan dan keagungan-Nya. Dialah Allah yang Maha Suci. Inilah sifat-sifat-Nya. Sifat ini tidak pantas selain bagi-Nya, tiada tandingan bagi-Nya, tiada sesuatu pun yang seperti-Nya. Mahasuci Allah yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Faedah:
Makna ash-Shamad sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas di atas merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf.[1] Ibnul Anbari rahimahullah berkata: “Tidak ada perbedaan di antara ahli bahasa bahwa makna ash-Shamad adalah Yang Maha Sempurna yang tidak ada di atas-Nya sesuatupun. Tempat bergantung segala kebutuhan manusia.”[2]
Buah Mengimani Nama Allah ash-Shamad
Di antara buah mengimani nama Allah ash-Shamad adalah:
- Menetapkan sifat ash-Shamadiyah dengan seluruh maknanya mengandung penetapan seluruh rincian asmaul husna dan sifat Allah yang tinggi. Inilah tauhid penetapan.
- Tatkala mengimani nama Allah ash-Shamad, kita semakin bergantung hanya kepada-Nya. Karena hanya kepada Allah tempat bergantung segala kebutuhan manusia.
Mudah-mudahan Allah ta’ala menjadikan pembahasan ini sebagai ilmu yang bermanfaat dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bergantung hanya kepada-Nya. Amin
[1] Silahkan lihat kitab ash-Shawa’iq al-Mursalah 1020/3 karya Ibnul Qayyim rahimahullah.
[2] Al-Bada’i 154/1 karya Ibnul Qayyim rahimahullah.