Tanda bahagia dan sengsara

Oleh Dawud Malang Takhasus
Tanda kebahagiaan dan kesengsaraan merupakan perkara penting yang perlu diketahui oleh seorang hamba. Sehingga dia tidak lalai dengan keadaannya, apakah ia termasuk golongan orang-orang yang bahagia atau justru -naudzubillah- dia termasuk golongan orang-orang yang sengsara.
Oleh karena itu, berikut ini kami bawakan ucapan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid, mudah-mudahan bermanfaat.
Tanda kebahagiaan
Di antara tanda kebahagiaan seorang adalah tatkala ia semakin banyak ilmunya, ia semakin bersikap tawadhu (rendah hati) dan bertambah kasih sayangnya. Begitu pula ia semakin banyak beramal sholih, semakin takut, dan khawatir pada dirinya.
Semakin bertambah umurnya, sifat tamaknyapun berkurang. Semakin banyak harta yang didapatkan, ia semakin banyak bersedekah. Semakin tinggi kedudukannya, ia semakin dekat dan berbaur dengan manusia serta menunaikan kebutuhan dan tawadhu kepada mereka.
Tanda kesengsaraan
Adapun tanda kesengsaraan, tatkala seorang memiliki ilmu yang banyak justru dia sombong. Semakin banyak beramal, semakin tinggi pula sikap angkuhnya, merendahkan manusia, dan berbaik sangka dengan dirinya. Semakin bertambah umurnya, sifat rakusnya semakin bergejolak. Semakin banyak hartanya, justru ia semakin bakhil dan kikir. Semakin tinggi kedudukannya, justru semakin bangga diri di hadapan manusia.
Nimat dan musibah adalah ujian
Berbagai nikmat merupakan ujian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-Nya, sehingga di antara mereka ada yang selamat dan ada pula yang merugi. Allah Ta`ala mengatakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala beliau melihat singgasana Balqis di hadapannya,
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Tatkala Sulaiman melihat singgasana terletak di hadapannya, iapun berkata: ‘Ini termasuk kurunia Rabbku untuk mengujiku. Apakah aku bersyukur atau mengingkari akan nikmat-Nya.” (QS. An-Naml: 40)
Nikmat yang Allah Ta`ala berikan merupakan ujian dari-Nya, sehingga akan tampak orang-orang yang benar-benar bersyukur dan orang-orang yang mengingkari. Sebagaimana pula musibah, merupakan ujian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah menguji dengan nikmat dan musibah, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Rabbnya menguji dan memuliakannya, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Apabila Allah menguji lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)
Kesimpulan
Tidaklah setiap yang diberi kelapangan rezeki dan kenikmatan, berarti Allah memuliakannya. Begitu pula rezeki yang sempit dan banyaknya cobaan, bukan berarti Allah menghinakannya. Hanyalah kemuliaan di sisi Allah bagi yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang paling mulia di sisi Allah adalah yang palig bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Sumber: Kitab al-Fawaid karya Ibnul Qoyyim rahimahullah halaman 155.