Sakit Hati Membuat Persaudaraan Tak Lagi Berarti

 

Oleh Mush’ab Klaten, Takhasus

 

Persatuan itu indah, mahal harganya, tak ternilai bahkan. Sehingga tak mudah mendapatkannya. Menjaganya pun juga tak gampang. Dengan persatuan kita akan menjadi kuat, berwibawa, kompak, dan akan terjaga nama baik kita. Karena itulah Islam sangat menghargai persatuan itu. Islam menghasung umat manusia ini untuk bersatu. Bersatu dia atas kebenaran. Saling tolong-menolong, membantu, dan bersama-sama dalam kebaikan.

 

Perintah untuk Bersatu di dalam al-Quran

Dalam banyak tempat di al-Quran, Allah memerintahkan kaum mukminin untuk bersatu. Perintahnya beragam, terkadang dalam bentuk hasungan, pujian untuk mereka yang bersatu, atau larangan dari berpecah-belah. Di antaranya adalah, ketika Allah menyifati kaum mukminin sebagai kaum yang bersaudara,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

 

Layaknya saudara, saling menolong, membela, menjaga, dan mengerti, begitulah kaum mukmin. Sifat asal mereka adalah kaum yang bersaudara.

Terkadang Allah dengan jelas memerintahkan kita untuk menjaga persatuan dan tidak berselisih,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, serta janganlah kamu bercerai berai,” (QS. Ali Imran: 103). Lalu pada kelanjutan ayat ini, Allah mengingatkan akan nikmat-Nya yang besar berupa dipersatukannya hati kaum muslimin, setelah sebelumnya mereka berpecah-belah.

 

Sehingga sepatutnya bagi kita umat Islam, untuk menjaga persatuan ini, dan menjaga persaudaraan ini dengan berbagai cara. Dengan menempuh sebab-sebab yang mengantarkan kepada persatuan, atau dengan menjauhi berbagai sebab yang akan menimbulkan perpecahan di antara kita. Dan Islam telah mengajarkan semua itu, semua sebab untuk bersatu dan bersaudara. Islam juga telah mewanti-wanti kita dari perpecahan, dan menjelaskan sebab-sebabnya untuk dijauhi.

 

Perpecahan yang Mesti Terjadi

Namun sunnatullah, Allah telah menetapkan bahwa akan ada perpecahan pada umat ini. Bahkan jauh-jauh hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan ada 73 kelompok yang terkotak-kotak di dalam agama ini. Semuanya akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan saja. Mereka itulah golongan yang benar.

Walaupun, dalam setiap perpecahan atau perselisihan kita tidak lantas boleh menilai, bahwa di antara mereka ini ada yang masuk surga, sedangkan yang lain akan masuk ke dalam neraka. Karena tidak semua perselisihan itu disebabkan suatu penyimpangan yang mengeluarkan dari agama. Tak jarang perselisihan terjadi karena urusan-urusan pribadi yang terbawa dalam laga dakwah ini. Lalu terjadilah perpecahan, padahal, alasan dan sebabnya adalah urusan pribadi.

 

Sangat disayangkan, akhir-akhir ini, alasan inilah yang acap kali muncul sebagai ‘dalang’ di balik perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam. Padahal tak sepatutnya urusan pribadi di bawa ke dalam persoalan manhaj atau dakwah.

Bahkan tak jarang hal ini malah menyebabkan perpecahan yang hebat di kalangan umat Islam. Mereka menjadi saling memusuhi, saling menuduh satu sama lain, dan saling menjatuhkan. Padahal ketika ditelusuri sebabnya, adalah karena urusan pribadi antara tokoh A dengan tokoh B. Tapi karena kebetulan masing-masing keduanya adalah orang besar yang diikuti, diteladani, dan ditaati oleh manusia, mereka pun mengikuti tokohnya. Hal ini pastilah sangat menyakitkan.

 

Sakit Hati, Bisa Membuat Kita tak Semanhaj Lagi

Padahal sudah pasti, setiap hal yang dibela dan dijunjung tinggi-tinggi oleh agama ini, pasti membawa nilai-nilai positif. Sebaliknya, setiap yang dilarang, pasti menggandeng berbagai dampak negatif. Pun demikian ketika perselisihan itu terjadi, seabrek hal buruk akan terjadi setelahnya. Di samping umat ini akan menjadi lemah, jatuh namanya di mata musuh-musuhnya, juga hal-hal buruk lain akan terjadi.

Apalagi jika perselisihan itu bukan karena perbedaan manhaj, perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, atau karena kerusakan akhlak dan keyakinan pada salah satu dari kedua kubu yang berselisih itu. Tapi semata-mata karena urusan-urusan pribadi yang kemudian dibawa-bawa ke medan dakwah.

 

Dasar perselisihannya saja sudah tidak benar. Jadi tentu, tujuan dari masing-masing keduanya bukan semata-mata kebenaran yang diyakini, melainkan ambisi untuk menang dan gengsi ketika melihat kemenangan berada di pihak yang berselisih dengan kita.

Lebih parahnya lagi -dan kerapkali hal ini terjadi- ketika ternyata tersingkap bahwa kebanaran dan al-Haq ada di pihak yang bersebarangan dengannya. Maka ia akan menolak mentah-mentah kebenaran itu, karena datang dari pihak yang ia musuhi, atau karena gengsi melihat dirinya kalah. Walaupun hati kecilnya sangat yakin bahwa itu adalah al-Haq, yang harus dia pegang. Karena memang bukan al-Haq yang membuat mereka rela bersilang pendapat. Yang mendorong mereka untuk berpecah adalah urusan pribadi, berupa iri, dengki, ketersinggungan, hasad atau penyakit hati lainnya.

 

Sakit Hati, Menghilangkan Keadilan dari Hati

Sepandai apa orangnya, sepintar apa ia berdebat, semutqin apa dia menghafal dalil-dalil, hadis-hadis Rasul, atauoun kalam para ulama, ketika sakit hati telah memakan hatinya, seakan matanya menjadi buta. Buta melihat kebenaran. Telinganya tuli, tuli untuk mendengarkan al-Haq. Kakinya juga lumpuh untuk mendatangi al-Haq yang berada di tangan ‘musuh’nya itu. Yang tersisa hanyalah hatinya yang berkobar, terbakar api marah dan dengki.

Dirinya yang dahulu kala adalah orang yang bijak, orang yang terkenal tawadhu’, ketika sakit hati telah membakar hatinya, semua itu berbalik. Sifat-sifat itu seolah-olah lenyap terbakar api emosi dalam hatinya. Ia bahkan akan menerima kabar-kabar yang menurutnya menyenangkan, karena memojokkan pihak yang ia musuhi itu, walaupun datang dari orang-orang yang tak bisa semudah itu dipercaya dan diterima kabarnya. Apalagi berita yang ia bawa, sangat bertolak belakang dari kenyataan yang selama ini ia ketahui. Semua itu karena sakit hati, yang telah membakar mata hatinya, dan setan yang terus mendukungnya.

 

Peringatan dari Ayat

Mari kita tutup nasehat ini dengan menyimak perkataan Allah subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 08)

Semestinya ayat ini sudah cukup sebagai peringatan bagi orang yang berakal sehat. Semoga bermanfaat.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.