Surga Tempat Tinggal Orang yang Bertakwa
Allah berfirman (artinya): “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
Kehidupan dunia merupakan ladang untuk bercocok tanam yang buahnya akan dipetik di kehidupan akhirat. Barangsiapa yang menabur benih amal shalih, niscaya ia akan memanen buahnya yang manis, lezat dan nikmat di akhirat. Namun sebaliknya, apabila di dunia ia menanam bibit maksiat, pasti ia juga akan menuai buah kesengsaraan yang dihasilkan dari keburukannya selama ini.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (az-Zalzalah: 7-8)
Bisa dipastikan bahwa setiap orang mengimpikan kehidupan akhirat yang bahagia, kekal selamanya. Surga, itulah harapan tempat tinggalnya kelak. Untuk menuju surga, ada jalan yang mesti ditempuh. Untuk bisa memasukinya, ada persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi. Pada ayat ke-133 surat Ali Imran ini, Allah memerintahkan kaum mukminin agar bersegera meraih ampunan-Nya dan menggapai surga-Nya. Allah telah menyediakan surga yang luasnya seluas langit dan bumi tersebut bagi orang yang bertakwa (muttaqin). Dari sini kita bisa mengetahui, orang-orang bertakwalah penghuni surga dan amalan yang mengandung nilai ketakwaanlah yang akan mengantarkan seseorang menuju surga. (Taisirul Karimir Rahman)
Empat Amalan Menuju Takwa
Pada ayat selanjutnya, Allah telah menyebutkan beberapa sifat muttaqin dan amaliah mereka, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Menginfakkan hartanya dalam kondisi bagaimanapun
Sebagaimana yang Allah firmankan (artinya),
“(yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (menginfakkan hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (Ali Imran: 134)
Kalau sedang lapang, berinfak barangkali bukan sesuatu yang memberatkan. Lantas bagaimana dengan berinfak dalam kondisi sedang sempit? Menurut asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang tetap berinfak dalam keadaan sulit (sempit) maupun mudah (lapang). Ketika sedang mudah dan lapang, ia berinfak sebanyak-banyaknya dan ketika sedang sulit (sempit), ia tidak meremehkan amal kebajikan apapun, walaupun sedikit. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Bukan banyak atau sedikitnya harta yang jadi tolok ukur kualitas infak seseorang. Namun keikhlasanlah yang menjadi tolok ukurnya. Berinfaklah dengan ikhlas. Bersedekahlah dengan tulus. Manusia memiliki tabiat amat senang terhadap harta. Ketika sudah berada dalam genggaman, rasa-rasanya ia tidak ingin harta itu lepas begitu saja. Apalagi kalau ia masih memerlukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itulah, Allah telah berjanji akan memberikan pahala yang besar bagi yang mau berinfak.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 274)
Infak yang ia lakukan tidak akan sia-sia. Allah berfirman (artinya),
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan (infakkan), maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Kedua: Mampu Menahan Amarah
Sebagaimana firman Allah (artinya),
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali Imran: 134)
Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa barangsiapa yang bisa menahan amarahnya, padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka ia akan dipanggil oleh Allah di hadapan makhluk pada hari kiamat nanti, lalu Allah pilihkan untuknya bidadari yang ia inginkan. (Lihat Sunan Abu Dawud hadits no. 4147 dan Sunan at-Tirmidzi hadits no. 1944)
Marah sebenarnya merupakan keadaan yang wajar dialami oleh setiap manusia. Namun manakala kemarahan itu dilampiaskan dengan sikap yang melampaui batas hingga menimbulkan mudarat, maka inilah yang tercela. Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa marah merupakan sumber segala kejelekan. Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak pernah diminta untuk mengumpulkan sekian definisi akhlak yang baik dalam satu kalimat, maka beliau menjawab, “(Akhlak yang baik itu adalah) meninggalkan sikap marah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Oleh karena itulah, agar sumber kejelekan ini tidak menimbulkan dampak buruk, Islam mendorong umatnya agar memiliki sifat mudah menahan amarah. Islam juga membimbing umatnya tentang bagaimana sikap yang tepat ketika emosi dan kemarahan itu muncul, yaitu hendaknya membaca ta’awwudz (memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk). (Lihat Shahih al-Bukhari hadits no. 3040 dan Shahih Muslim hadits no. 4725)
Dianjurkan pula bagi orang yang marah untuk diam dan mengubah posisinya. Kalau sedang berdiri, hendaknya duduk dan kalau masih saja marah, hendaknya berbaring. (Lihat Sunan Abu Dawud hadits no. 4151 dan Adabul Mufrod)
Ketiga: Memaafkan Orang Lain
Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan memaafkan (kesalahan) orang.” (Ali Imran: 134)
Sikap memaafkan bukanlah sikap yang mendatangkan kerugian. Bahkan Allah telah berjanji akan menanggung pahala bagi siapa saja yang mau memaafkan orang lain. Allah berfirman (artinya),
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (asy-Syura: 40)
Selain itu, sikap berlapang dada dan memberikan maaf kepada orang lain merupakan salah satu sebab datangnya ampunan Allah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-Nya (artinya),
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nur: 22)
Ganjaran yang didapatkan seorang hamba sesuai dengan jenis amalan dia. Sebagaimana jika engkau memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah kepadamu, maka Allah pun akan memberikan maaf kepadamu manakala engkau berbuat salah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Berat rasanya memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah kepada kita. Tetapi memang demikianlah, surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak disukai. Barangsiapa yang ingin masuk surga, pasti ia akan melewati berbagai rintangan dan hal-hal yang tidak sejalan dengan kemauan hawa nafsu. Seorang yang mudah memaafkan dijamin tidak akan menjadi hina. Bahkan Allah akan menambah kemuliaan baginya disebabkan sifat dia yang gampang memberikan maaf. Rasulullah bersabda (artinya),
“Dan tidaklah Allah menambahkan untuk hamba disebabkan hamba itu memberi maaf, kecuali tambahan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 4689)
Keempat: Ingat Kepada Allah dan Bersegera Memohon Ampun Ketika Berbuat Dosa
Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan (artinya),
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Ali Imran: 135)
Bersegera memohon ampun apabila berbuat dosa merupakan salah satu sikap yang menunjukkan tanda kebahagiaan hidup seseorang. Tidak ada seorang pun yang bersih dan terjaga dari dosa (kecuali rasul-pen). Namun Alhamdulillah Allah telah membuka pintu taubat. Sehingga wajib atas setiap hamba untuk bersegera bertaubat tatkala terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Namun apabila ia tidak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka ini merupakan tanda kesengsaraan hidup. (Syarh al-Qawaid al-Arba’, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan)
Jika taubat itu dilakukan dengan benar, maka tidak hanya ampunan yang didapatkan, namun juga disediakan baginya surga, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (at-Tahrim: 8)
Bagaimanakah penerapan taubatan nasuhaa sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat tersebut? Dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin, bahwa taubat itu harus terpenuhi tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan maksiat yang pernah dilakukan, menyesalinya, dan bertekad tidak mengulanginya lagi selamanya. Apabila satu syarat tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah. Ini apabila jenis kemaksiatan tersebut berkaitan dengan hak Allah saja. Namun apabila dosa dan kemaksiatannya terkait dengan hak orang lain, seperti mencuri, menganiaya orang lain, menjatuhkan kehormatan orang lain, dan sebagainya, maka untuk bertaubat darinya harus terpenuhi ketiga syarat tadi, dan ditambah syarat keempat yaitu mengembalikan hak orang lain kepada pemiliknya, seperti mengembalikan uang/barang yang ia curi, meminta maaf atau kehalalan orang yang pernah ia jatuhkan kehormatannya, dan sebagainya. (lihat Bab At-Taubah dari kitab Riyadhush Shalihin)
Di akhir ayat ini, Allah berfirman (artinya),
“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)
Hal ini menunjukkan bahwa setelah memohon ampun kepada Allah, seorang yang bertakwa akan benar-benar menjauhi perbuatan maksiat yang pernah ia lakukan, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Ganjaran Yang Allah Sediakan Untuk Mereka
Setelah menyebutkan ciri-ciri muttaqin, Allah kembali menegaskan balasan yang akan diberikan untuk mereka, yaitu dalam firman-Nya (artinya),
“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 136)
Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita agar dimudahkan dalam menempuh usaha menuju takwa. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah