Tanya Jawab tentang Konflik Mesir (2)

Benarkah Kewajiban Taat Hanya Kepada Pemerintah Yang Adil Saja?

Tanya Jawab bersama asy-Syaikh Khalid bin ‘Abdirrahman al-Mishri hafizhahullah

Kuwait, 12 Syawwal 1434 H / 19 Agustus 2013 H

(dalam muhadharah berjudul Asbabun Najah minal Fitan – sebab-sebab selamat dari fitnah)

 * Padanya terdapat bantahan terhadap Ja’far Umar Thalib hadahullah *

PertanyaanHadits tentang perintah mendengar dan mentaati pemerintah, itu dibatasi dalam riwayat lain, yaitu “apabila memimpin kalian dengan Kitabullah.” Apakah ini sesuai dengan kondisi pemerintah pada zaman kita yang berhukum dengan undang-undang (buatan manusia)? [1]

Jawab:

Pertama kali, tidak diragukan bahwa wajib menerima semua dalil-dalil syar’iyyah. Tidak boleh seseorang menolak sebagiannya dengan hawa nafsu. Bahkan wajib menerima semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, serta meletakkannya sesuai pada tempatnya.

Adapun terkait dengan yang ditanyakan, maksud si penanya adalah hadits,

«إ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا، مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ»

“Dengar dan taatilah selama dia memimpin kalian dengan Kitabullah.”

Penanya hendak mengatakan, “Berarti apabila pemerintah tidak memimpin kita dengan Kitabullah, maka tidak ada baiat (ketaatan) untuknya.” Ini yang dipahami dari pertanyaan.

Jawabannya, selayaknya seorang berilmu menafsirkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits) dengan sabda Nabi sendiri (hadits lainnya). Karena sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menjelaskan satu sama lain.

Oleh karena ini, dalam ash-Shahihain ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa akan terjadi pada kalian pemerintah yang kalian ketahui maka kalian pun mengingkarinya. Maka para shahabat bertanya kepada beliau, “Apakah kami menentangnya dengan pedang (senjata)?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.”

Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang berhukum dengan aturan yang (tercampur) antara hukum (aturan) yang sesuai dengan syari’at dengan hukum yang bertentangan dengan syari’at, maka ketaatan tidak dicabut darinya. Kecuali dengan kekufuran yang nyata.

Dalam riwayat lain,

«لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ »

“Jangan memberontak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.”

Juga di Sunan Ibni Majah dari shahabat Ibnu ‘Umar, – diriwayatkan juga oleh al-Hakim dari jalur lain, dishahihkan oleh al-Albani dan yang lainnya –   bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُم »

“Apabila para pemimpin (penguasa) kalian tidak berhukum dengan Kitabullah, dan tidak mengambil dari hukum yang Allah turunkan, kecuali Allah jadikan kejelekan mereka menimpa mereka sendiri.”

Perhatikan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa akan datang para penguasa kita tidak berhukum dengan Kitabullah. Maka ketika itu Allah menurunkan bencana kepada kaum muslimin. Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyebut mereka sebagai “para pemimpin (penguasa) kalian”, padahal mereka tidak berhukum dengan Kitabullah.

Bukan maknanya (sikap tidak memberontak) ini berarti ridho/setuju ketika hal itu (pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah) terjadi. Bahkan wajib menegakkan syari’at Allah dalam semua perkara, yang kecil maupun yang besar, sedikit ataupun banyak. Namun apabila kaum muslimin mendapat musibah berupa terjadinya hal tersebut (pemerintah yang zhalim atau tidak berhukum dengan hukum Allah), maka tidak ada bagi kita selain bersabar dan tidak boleh mencabut ketaatan, kecuali apabila terjadi kekufuran yang nyata atau meninggalkan shalat.

Sehingga, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

«إ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا، مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ»

“Dengar dan taatilah selama dia memimpin kalian dengan Kitabullah.”

Maknanya jelas, yaitu apabila pemerintah memimpin kita dengan selain Kitabullah, dan memerintahkan kita dengan kemaksiatan maka tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Tapi bukan berarti kita mencabut tangan ketaatan (secara total) terhadap pemerintah, tidak pula gugur bai’at terhadapnya, tatkala pemerintah memerintahkan dan memimpin kita tidak dengan Kitabullah. Ketika itu pemerintah itu tidak didengar dan tidak ditaati dalam kemaksiatan yang ia perintahkan itu saja. Adapun baiat (ketaatan) terhadapnya tetap berlaku selama pemerintah tidak melakukan kekufuran yang nyata atau meninggalkan shalat.

Berpegang pada satu hadits tertentu saja, kemudian menegakkan hukum di atasnya, dengan meninggalkan hadits-hadits lainnya yang banyak, maka ini bukan sikap ahlus sunnah.



[1] Ini merupakan salah satu syubhat para hizbiyyin pengikut kelompok-kelompok sesat berpaham khawarij. Yaitu yang wajib ditaati dan tidak boleh memberontak adalah apabila penguasa/pemerintah itu adil. Syubhat ini pula yang dilontarkan oleh Ja’far Umar Thalib, sebagaimana dalam ceramahnya di Malang tahun 1433/2012 lalu. Maka dalam jawaban asy-Syaikh Khalid al-Mishri ini terdapat bantahan terhadap para hizbiyyin tersebut, termasuk bantahan terhadap Ja’far Umar Thalib!!

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.