TOPIK UTAMA 1
Bagai Mengukir di Atas Batu
Oleh: Ahmad Muhandis Azzikra
Dalam bahasa Indonesia, disebutkan dalam peribahasa yang populer, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air.”
Sepenggal peribahasa ini ternyata memiliki makna yang memotivasi para pemuda untuk semangat dalam belajar sejak usia dini. Sebab, hasil dan pengaruhnya akan terlihat jelas. Seperti hasil ukiran dan pahatan yang ditorehkan di atas batu.
Sobat at-Tibyan barakallahufikum ternyata penggalan pertama dari peribahasa tersebut berasal dari ucapan seorang ulama besar lagi tersohor. Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, Imam al-Hasan al-Bashriv. Beliau berkata,
الْحِفْظُ-وَفِيْ رِوَايَةٍ: الْعِلْمُ- فِيْ الصُغْرِ كَالنَقْشِ فِي الْحَجَرِ.
“Menghafal —dalam riwayat lain: belajar ilmu— di usia dini itu bagaikan mengukir di atas batu.” [Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Al-Faqih wal Mutafaqqih II/91]
Seorang penyair lainnya menimpali:
مَا الْحِلْمُ إِلَّا بِالتَّحَلُّمِ فِي الْكِبَرِ
وَمَا الْعِلْمُ إِلَّا بِالتَّعَلُّمِ فِي الصِّغَرِ
وَلَوْ ثُقِبَ الْقَلْبُ الْمُعَلَّمُ فِي الصَّبَا
لَأَلْفَيْتَ فِيهِ الْعِلْمَ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ
“Tidaklah ketenangan dapat diraih kecuali dengan perjuangan di waktu besar
Dan tidaklah ilmu dapat diraih kecuali dengan belajar di masa muda.
Dan sekiranya hati seorang guru dilubangi ketika ia masih kanak-kanak
Niscaya engkau akan mendapatkan di dalamnya berupa ilmu bagaikan terukir di sebuah batu”
Pendidikan di usia muda bukan hanya tentang akademik atau bidang keilmuan saja. Akan tetapi lebih daripada itu. Pengamalan ilmu dalam akhlak dan sikap, membangun karakter islami, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati serta moralitas. Nilai-nilai ini -biiznillah– dapat membantu membentuk kepribadian yang baik. Dan inilah karakter yang dibutuhkan bangsa saat ini. Wallahul musta’an.
Pembaca, sekali lagi masa muda adalah masa yang sangat bagus dan baik untuk menghafal dan belajar. Tak heran, bila masa muda disebut sebagai masa keemasan.
Serupa dengan pernyataaan di atas, sahabat Urwah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu berpesan kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, pelajarilah ilmu agama dan tekunilah! Sesungguhnya jika sekarang kalian masih dianggap kecil tentu suatu saat nanti kalian akan dipandang sebagai orang tua. Oh celaka! Betapa menyedihkannya orang tua yang bodoh!” [Lihat al-Amali karya al-Baghdadi]
Sahabat Tibyan, marilah kita renungkan sebuah ikhtiar di masa muda dan thalabul ilmi dari seorang ulama besar, Imam Ibnul Jauzi. Beliau mengatakan, “Barangsiapa menghabiskan masa mudanya untuk thalabul ilmi, maka pada masa tuanya pasti bahagia. Sebab, ia menuai buah dari dari tanaman yang telah ia semai. Dan ia akan merasa puas terhadap karya tulis yang telah ia himpun.
Aku merenungi diriku sendiri lalu membandingkannya dengan seluruh keluarga besarku. Mereka menghabiskan kesempatan dan waktu untuk mengejar dunia sementara aku sejak kecil hingga masa muda menghabiskan waktu untuk thalabul ilmi. Aku temukan kesimpulan bahwa tidak ada satupun yang mereka peroleh kemudian tidak aku peroleh kecuali beberapa hal yang justru membuatku menyesal. Aku terus merenung tentang keadaanku. Ternyata, kehidupanku kini lebih baik dibanding kehidupan mereka. Kedudukanku di mata orang lebih baik dibandingkan kedudukan mereka. Namun, ilmu yang aku peroleh tidak mungkin dapat dinilai.
Iblis menggodaku, “Apakah engkau lupa dengan letih dan begadangmu saat thalabul ilmi?”
Aku jawab, “Wahai makhluk bodoh! Jari-jemari tangan tidak terasa sakit saat diris-iris karena memandang Yusuf! Perjalanan tidak terasa lama lagi membosankan saat hendak berjumpa seorang sahabat. Semoga Allah mengganti perjalanan ini dengan kebaikan, meski unta kuat ini telah berubah kurus tinggal kulit bagai qirbah[1].” [Lihat Shaidul Khathir II/329]
Sobat at-Tibyan, kejarlah waktu dan berlombalah ‘tuk meraih cita-cita. Tapakilah tangga demi tangga thalabul ilmi demi derajat tinggi! Wabillahit-taufiq.
[1] Qirbah adalah tempat air minum yang terbuat dari kulit binatang.