Tradisi Jamasan Pusaka Dapat Menolak Malapetaka?

 

Oleh Tim Mading at-Tibyan

 

Muhaharram merupakan bulan yang mulia, terdapat di dalamnya berbagai keutamaan dan pahala, yang telah Allah siapkan bagi orang-orang yang menyambutnya dengan semangat menerapkan amalan-amalan yang telah disyariatkan oleh-Nya.

Namun sangat disayangkan, mayoritas manusia (khususnya masyarakat Jawa), menganggapnya sebagai bulan sial (bulan turunnya mala petaka dan terjadinya mara bahaya). Sehingga mereka tidak memiliki keberanian untuk mengadakan acara apapun di bulan tersebut. Maka jika kita perhatikan setiap tahunnya, bulan tersebut sepi dari berbagai acara.

Selain itu, mereka meyakini bahwa untuk memperoleh keselamatan dan berkah serta menolak bala,  maka harus diadakan berbagai kegiatan dan ritual yang sudah menjadi tradisi di bulan tersebut. Di antaranya adalah tradisi Jamasan Pusaka.

 

Jamasan Pusaka

Adalah sebuah upacara yang dilakukan melalui tahapan-tahapan. Dimulai dengan pengambilan pusaka dari tempat penyimpanannya, disusul dengan tirakatan (bersemedi), kemudian arak-arakan, sampai tahap jamasan (pemandian pusaka).

Pusaka yang dijamasi biasanya berbentuk keris, tombak dan yang sejenisnya. Tradisi ini merupakan kegiatan yang sangat identik dilakukan pada malam satu Suro dan sering digelar di berbagai tempat, khususnya di pulau Jawa.

Seperti yang terjadi di pulau Jawa bagian tengah tepatnya di Ungaran Semarang yang diprakarsai oleh para pamong budaya setempat, dengan memandikan sejumlah pusaka peninggalan bupati Semarang pertama yaitu Sunan Pandaranan. Pusaka itu bertempat di kediaman sang bupati.

 

Tujuan di Balik Tradisi Ini

Upacara semacam ini mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari mara bahaya serta ketentraman hidup. Karena mereka meyakini bahwa pusaka mereka akan mempunyai kesaktian dan kekuatan gaib yang dapat mendatangkan semua itu, bila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan.

 

Tinjauan Syariat

Islam sebagai agama yang dibina langsung oleh Allah dan rasul-Nya, mengajarkan kepada para pemeluknya untuk senantiasa memurnikan seluruh ibadah hanya untuk Allah dan tidak mempersembahkannya sedikitpun kepada selain-Nya. Sebagaimana hal ini telah Ia tegaskan di dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kalian kepada Allah [semata], dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.(QS. an-Nisa’: 36]

 

Diantara bentuk ibadah adalah, mengharap berkah dan keselamatan dari mara bahaya. Maka sangat tidak dibenarkan bagi siapa pun yang mengaku muslim ketika ia meyakini adanya adanya benda-benda tertentu yang dapat mendatangkan berkah dan keselamatan diiringi dengan melakukan tradisi-tradisi di tempat tertentu pada bulan tertentu.

Karena benda-benda tersebut pada hakikatnya sama sekali tidak memberikan pengaruh kepada siapa pun, apalagi sampai diyakini bisa mendatangkan berkah dan keselamatan.

Maka keyakinan tersebut beserta tradisi-tradisinya merupakan bentuk kesyirikan yang di haramkan di dalam syariat ini. Karena tidak ada yang berhak dimintai berkah dan keselamatan kecuali Dzat yang memilikinya.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.